1. Peranan Tentara Pelajar Dalam Agresi
Militer Belanda II
Pada saat menghadapi Agresi Militer Belanda pertama ini, Tentara Pelajar
Batalyon 300 (Yogyakarta dan Kedu) telah membentuk pasukan khusus yang bertugas
sebagai intelijen, yang disebut Tentara Pelajar Combat. Dalam prakteknya
pasukan ini bertugas mengadakan hubungan dengan pos-pos pertahanan tentara
pelajar lainnya, supaya saling mengetahui perkembangan dan saling memberi
informasi.[1]
595.
Surat Panglima Tentara dan Teritorium Djawa (PTTD) tertanggal 7 Januari
1949 yang ditandatangani Kolonel A.H. Nasution, berlaku pada amsa Agresi
Militer Belanda II. Isi surat itu menyangkut keamanan perhubungan (security),
yang berbunyi:
1.
Tiap pos bukanlah satu markas biasa, tetapi adalah pos
yang rahasia bagi umum. Pos berpindah-pindah sendiri dlam rayon menurut keadaan
pertempuran, tetapi tetap berhubungan dengan pos lain dan kesatuan atau
instansi-instansi yang di dekatnya. Biasanya pos terdiri atas beberapa buah
rumah yang terpencar, tempat menerima tamu, tempat bekerja, tempat tidur,
tempat reserve. Sementara itu sudah ada reserve di utara, selatan, barat dan
timur untuk keperluan jika nantinya perlu berpindah.Pos ini menyamar sebagai
rakyat.
2.
Surat-surat biasa dibakar setelah diketahui isinya dan
dicatat dalam satu buku yang secara kode dipegang oleh kepala pos. Hanya
surat-surat yang penting, sebagai instruksi pokok dan sebagainya dan
surat-surat yang untuk diteruskan yang tetap ada di pos dan ini disimpan dengan
sembunyi pula. Komandan-komandan berusaha mengurangi persuratan dan
menyampaikan berita-berita dan order-order dengan lisan oleh perwira-perwira.
Tetapi untuk dokumentasi perlu pos tersebut mempunyai buku seperti tersebut di
atas dimana tercatat semua peristiwa penting dengan cara kode sendiri dari kepala
pos, sehingga kelak olehnya bisa disusun Verslag yang lengkap, kalau perang
telah selesai. kelak akan terbukti, betapa pentingnya dokumentasi dari
perjuangan kita ini.
3.
Kurir: Pos-pos ini dan juga komandan-komandan mempunyai
kurir-kurir sendiri yang telah dilatih sendiri buat hubungan mingguan antara
pos dengan pos, selanjutnya dilaksanakan dengan perwira (pelajar).
4.
Kecepatan: Mesti diusahakan terus mempercepat
perhubungan (PHB), karena sangat mutlak bagi tiap PHB ialah cepat dan tepat.
Dengan menyempurnakan cara-cara berjalan, maka bisa diperpendek waktu berjalan.
5.
Terus bersiap. Tiap pos mesti selalu bersiap untuk
menghadapi kemungkinan pembersihan, kalau perlu untuk segera pindah. Pakaian,
barang-barang dan surat-surat mesti selalu tersedia untuk disembunyikan atau
dipindahkan.
6.
Kode. Anggota-anggota pos dengan kurir mesti memakai
nama-nama lain dan kode di jalan yang diatur oleh kepala pos untuk bawahannya.
7.
Menyamar. Sesuaikanlah diri dengan suasana desa, inilah
cara menyamar yang sebaik-baiknya.[2]
Sejak agresi bulan Desember 1948
sampai bulan Juni 1949 di daerah Sleman, Belanda menempatkan pos-posnya di
Kaliurang, Kledokan, Tempel, Medari, Beran, Cebongan, sedangkan pos yang hanya
dijaga pada siang hari berada di dekat jembatan Jombor yakni di Sinduadi,
Sendangdadi dan Mlati, sehingga tempat-tempat tersebut sebagai palagan yang
ramai. Para pejuang Indonesia bersama-sama Tentara Pelajar (TP) dan para pemuda
Militer Akademi (MA) maju melawan Belanda. Di Kaliurang Belanda memiliki dua
gedung yang menjadi pos utama. Gedung bagian barat adalah villa kepunyaan Dr.
Sukiman, sedangkan di bagian timur yakni Villa Argopeni kepunyaan Sri Paku Alam
VIII. Dua gedung pos utama Belanda tersebut pada tanggal 11 Maret 1949
dijadikan sasaran serangan gerilya oleh para pemuda MA.[3]
Selama pendudukan Belanda di
Yogyakarta, banyak korban menimpa rakyat. Sejak tanggal 19 Desember 1948 hingga
30 Juni 1949, kerugian yang diderita rakyat meliputi korban jiwa, menderita
luka-luka, orang hilang dan kerugian benda. Seluruh daeeah Istimewa Yogyakarta
meliputi Haminte Kota Yogyakarta, Kabupaten Bantul, Sleman, Gunungkidul,
Kulonprogo dan Adikarto. Sementara itu orang yang meninggal semasa revolusi
jumlahnya mencapai 2718 jiwa, yang menderita luka-luka 736 orang, yang hilang
tidak ditemukan lagi ada 539 orang dan kerugian benda milik rakyat sejumlah Rp
252.684.430,00.[4]
2.
Pemerintah Darurat Republik Indonesia (PDRI)
Pada tanggal 19
Desember 1948, bersamaan dengan serangannya ke ibukota republik, Yogyakarta,
Belanda melancarkan serangan “Police Action” (Aksi Polisional) di Sumatera
Barat. Mereka Mengepung garis pertahanan utama Indonesia di lembah Anai, yang
terletak antara Kayutanam dan padangpanjang, dengan mendaratkan empat pesawat
Catalina di Danau Singkarak. Terhitung dari waktu itulah pantai timur danau
menjadi basis pasukan belanda maju ke utara menuju Padang Panjang dan
Bukittinggi, serta ke selatan ke Solok melalui daerah yang relatif datar.[5]
Pada
saat mendengar penyerangan Belanda atas Yogyakarta, Sjafruddin bersama dengan
para pemimpin pemerintahan provinsi Sumatera dan komandan militer Sumatera yang
baru, kolonel Hidayat, meninggalkan Bukittinggi dan mundur ke Halaban,
kira-kira 16 kilometer di tenggara Payakumbuh. Mereka sampai di sana 21
Desember dan diikuti oleh Residen Sumatera Barat, Rasjid. Di Halaban itulah
mereka mulai menyusun strategi untuk menjawab serangan Belanda. Oleh karena
para pemimpin republik di Jawa telah ditahan Belanda, maka pada tanggal 22
Desember, Sjafruddin mengumumkan berdirinya Pemerintah Darurat RI (PDRI) dengan
ia sebagai ketua, gubernur Sumatera Mr. Tengku Mohd. Hassan sebagai Wakil
Ketua, dan Mr. Rasjid sebagai Menteri Keamanan. Kabinet mengangkat panglima Angkatan
Darat, Laut dan Udara, dan menunjuk perwakilan Indonesia di India, Mr. Maramis,
sebagai menteri Luar Negeri dan menugaskannya agar membawa masalah Indonesia ke
PBB. Mereka kemudian menunjuk perwakilan PDRI di Jawa, yang dipimpin oleh
Sukiman, Kasimo dan Mr. Susanto yang luput dari serangan Belanda di Yogyakarta.[6]
Sejak itulah PDRI memainkan
peranan penting dan menjamin bahwa perjuangan melawan Belanda tetap dipimpin
oleh pemerintahan yang sah yang diakui oleh kaum Republik di seluruh Indonesia.
PDRI menjadi simbol nasional dan faktor pemersatu, khususnya bagi pasukan
gerilya yang terpencar di seluruh Jawa dan Sumatera, karena pemerintahan
Sjafruddin diakui oleh pasukan Republik (di bawah Panglima Besar Sudirman)
sebagai pengganti yang sah dari pemerintahan Soekarno/Hatta. Pemimpin Republik
kemudian memencar. Sjafruddin dan kebanyakan menterinya berangkat ke selatan
untuk mendirikan pemerintahan mobil di Bidar Alam, di perbatasan Sumatera Barat
dengan Jambi. Kolonel Hidayat dan komandemen militer Sumatera berangkat ke
utara, berhenti untuk beberapa minggu di Rao, di bagian utara Sumatera Barat,
dan melanjutkan longmarch ke Aceh. Di
sanalah kemudian dibentuk markas komando militer Sumatera di daerah yang tidak
pernah terjamah oleh Belanda. Mr. Rasjid dan anggota pemerintahan Sumatera
Barat pindah ke Kototinggi, suatu nagari di
pegunungan di luar Suliki, sebelah utara Payakumbuh. Ia ditemani oleh Chatib
Suleiman dan Anwar Sutan Saidi, sampai di sana 24 Desember dan membentuk
pemerintahan militer Sumatera barat di kantor perwakilan nagari.[7]
Sementara itu, misi Hatta dalam bidang pemerintahan dan politik yang
bermuara pada gagasan pembentukan PDRI ddijelaskan oleh Sjafruddin
Prawiranegara pada tanggal 29 Mei 1979, seperti berikut.
“pada bulan Nopember 1948 itu saya diperbantukan
kepada Bung Hatta (dengan) beberapa pembesar lainnya untuk datang ke Sumatera.
Jadi waktu itu saya hanya pengikut Bung Hatta; yang akan menjalankan peranan
utama tentu Bung Hatta sebagai Wakil Presiden dan sebagai Perdana Menteri. Tapi
belum lama kami sampai di Bukittinggi, saya tidak tahu berapa lama, Bung Hatta
sudah dipanggil kembali ke Jawa, karena KTN telah berhasil membujuk Belanda
untuk berbicara lagi dengan republik Indonesia yang dilangsungkan di Kaliurang.
jadi Bung Hatta berangkat lagi (ke Yogyakarta). Kami yang tadinya dibawa
sebagai pengikut tinggal di Bukittinggi. Saya tidak ingat lagi siapa saja yang
ditinggal; yang saya ingat ada nama Mr. Lukman Hakim, Mr. Abdul Karim, Soejono.
Kami ditinggal di Bukittinggi sambil menunggu beliau kembali atau dikembalikan
lagi ke Jawa. Tapi tiba-tiba kami mendengar 19 Desember 1948 Yogyakarta sudah
diserbu belanda.”[8]
Dalam pemerintahan yang dijalankan
PDRI, rombongan yang terpisah-pisah, bagaimanapun juga, mempersulit konsolidasi
perjuangan PDRI. Diperlukan sistem dan peralatan, sehingga koordinasi dan
instruksi mampu mencapai komando-komando paling bawah. Sebelum itu kita ikuti
dulu pengalaman Kolonel Soejono yang minta kembali ke Payakumbuh. Menurut M.
Yacoeb Lubis yang menjadi pimpinan salah satu radio tersebut mengungkapkan
bahwa alat-alat yang dimiliki saat itu di Bukittinggi adalah sebuah sender yang
antenenya memanfaatkan menara Fort de Cock (benteng Cock). Peralatan radio yang
masih ala kadarnya tersebut kemudian diselundupkan ke Kototinggi. Alat-alat tersebut
kemudian dipasang dan dicoba dihubungkan dengan Piobang dan Medan.[9]
Pemancar yang dapat dipergunakan untuk hubungan konsolidasi politik ketika itu
adalah pemancar AURI yang saling berhubungan antara Jawa-Sumatera-Rangoon; PTT
Bukittinggi yang pernah mengudara di daerah gerilya dengan Call sign YBJ 6; dan
pemancar berfrekuensi rendah dan berjangkauan terbatas milik Corpas PHB
Komandemen dan Divisi Angkatan Darat di Bukittinggi.[10]
Selain pemerintahan darurat di
Bukittinggi, Sultan Hamengkubuwono IX ternyata sudah mempersiapkan suatu daerah
yang tak jauh dari Yogyakarta sebagai pusat pemerintahan apabila sewaktu-waktu
Yogya diserang. Untuk mencari alternatif baru agar pemerintahan dapat
berlangsung, dipilihlah tempat yang terisolasi, yaitu Wonosari sebagai pusat
pemerintahan RI. Untuk menjaga kemungkinan itu Sultan Hamengkubuwono IX
memerintahkan pada KRT. Honggowongso untuk menyiapkan kemungkinan pindahnya
Pamong Praja di Wonosari. Dengan demikian, Sultan sudah jauh mengantisipasi
kelangsungan pemerintahan sipil.[11]
C. Rum Royen,
Akhir dari Agresi Militer Belanda II
Belanda menerima himbauan PBB
supaya mengadakan gencatan senjata pada tanggal 31 Desember 1948 di Jawa dan
tanggal 5 Januari 1949 di Sumatera, sementara perang gerilya masih terus
berlangsung.[12] PBB dan
Amerika Serikat mulai mengambil sikap yang lebih tegas terhadap Belanda.
Tekanan ini bersamaan dengan tekanan militer Republik akhirnya memaksa Belanda
suipaya memutuskan upayanya yang terakhir untuk membentuk imperium Indonesia.
Akhir bulan Januari 1949 Dewan Keamanan PBB menuntut pembebasan kabinet
Republik, pembentukan suatu pemerintahan sementara, dan penyerahan kedaulatan
segera penuh sebelum 1 Juli 1950. Amerika Serikat secara terang-terangan
mencela Belanda di dalam PBB dan mengancam akan menghentikan bantuan pembangunan
yang menjadi tumpuan utama perekonomian dalam negeri Belanda.[13]
Reaksi dalam bidang politik yang kemudian mendapat tanggapan dunia
dilancarkan oleh India dan Birma. Di New Delhi pada tanggal 20 hingga 23
Januari 1949, atas prakarsa India dan Birma, diselenggarakanlah Konferensi Asia
yang dihadiri oleh utusan dari beberapa negara Asia, Afrika dan juga Australia.
Konferensi menghasilkan suatu resolusi mengenai masalah Indonesia yang kemudian
akan disampaikan kepada Dewan Keamanan PBB. Resolusi tersebut berisi antara
lain :
1.
Pengembalian Pemerintah Republik Indonesia ke
Yogyakarta.
2.
Pembentukan Pemerintahan ad interim yang mempunyai
kemerdekaan dalam politik luar negeri sebelum tanggal 15 Maret 1949.
3.
Penarikan tentara Belanda dari seluruh Indonesia.
4.
Penyerahan kedaulatan kepada Pemerintah Republik
Indonesia Serikat paling lambat pada tanggal 1 Januari 1949.[14]
Pada tanggal 28 Januari
1949 Dewan Keamanan PBB mengeluarkan resolusi yang isinya mengambil alih
Resolusi New Delhi tanggal 23 Januari 1949. Resolusi tersebut berisi antara
lain:
1.
Penghentian semua operasi militer dengan segera oleh
Belanda dan penghentian semua aktivitas gerilya oleh Republik Indonesia. Kedua
pihak harus bekerjasama untuk mengadakan perdamaian kembali.
2.
Pembebasan dengan segera dan tidak bersyarat semua
tahanan politik di dalam daerah Republik Indonesia oleh Belanda semenjak
tanggal 19 Desember 1948.
3.
Belanda harus memberikan kesempatan kepada
pembesar-pembesar Pemerintah Republik Indonesia untuk kembali ke Yogyakarta.
KTN diganti namanya menjadi Komisi
Perserikatan Bangsa-Bangsa untuk Indonesia (United Nations Commission for
Indonesia / UNCI) yang tugasnya menjadi perantara perundingan Indonesia-Belanda
dan mempersiapkan terselenggaranya perundingan.[15]
3 Maret 1949 Presiden Soekarno mengadakan pembicaraan dengan penghubung
BFO, dan menegaskan akan perlunya kedudukan pemerintah RI dipulihkan sebagai
syarat dilangsungkannya perundingan selaras dengan resolusi Dewan Keamanan PBB.
Selesai pertemuan itu pada keesokan harinya, tanggal 4 Maret 1949 Presiden
Soekarno membalas undangan Wakil Tinggi Mahkota yang berisi penolakan
menghadiri KMB kecuali dengan syarat yaitu:
1.
Pengembalian kekuasaan RI adalah syarat mutlak untuk
memulai perundingan.
2.
Kedudukan dan kewajiban Komisi PBB untuk Indonesia
dalam membantu melaksanakan resolusi PBB tidak akan terganggu.
Dari pihak BFO dikeluarkan pernyataan yang berisi pemberitahuan bahwa BFO
tetap pada pendirian semula, yakni :
1.
Supaya pemerintah RI dikembalikan ke Yogyakarta.
2.
Komisi PBB untuk Indonesia agar membantu melaksanakan
resolusi.
3.
RI memerintahkan gencatan senjata.[16]
Setelah melalui perundingan yang berlarut-laruit, akhirnya pada tanggal 7
Mei 1949 tercapai persetujuan yang dikenal dengan nama Roem-Royen Statements
atau Persetujuan Roem-Royen. Pernyataan peemerintah Republik Indonesia
dibacakan oleh ketua delegasi Indonesia Mr. Moh, Roem yang antara lain berisi :
1.
Pemerintah Republik Indonesia akan menghasilkan
perintah penghentian Perang Gerilya.
2.
Turut serta dalam Konferensi Meja Bundar (KMB) yang
bertujuan untuk mempercayai penyerahan kedaulatan yang lengkap dan tidak
bersyarat kepada negara Republik Indonesia Serikat.
3.
Bekerjasama dalam mengembalikan perdamaian dan menjaga
keamanan dan ketertiban.
Kemudian Dr. JH Van Royen, ketua delegasi Belanda,
membacakan pernyataan yang berisi antara lain:
1.
Pemerintah Belanda setuju bahwa peemrintah republik
Indonesia harus bebas dan leluasa melaksanakan kewajiban dalam satu daerah yang
meliputi Karesidenan Yogyakarta.
2.
Pemerintah Belanda membebaskan secara tidak bersyarat para pemimpin Republik Indonesia
dan tahanan politik yang ditawan sejak tanggal 19 Desember 1948.
3.
Pemerintah Belanda setuju Republik Indonesia akan
menjadi bagian dari pada Republik Indoensia Serikat.
4.
KMB akan diadakan secepatnya di Den Haag sesudah
pemerintah Republik Indonesia kembali ke Yogyakarta.[17]
Sebagai tindak lanjut
dari persetujuan Roem-Royen pada tanggal 22 Juni 1949, diadakan perundingan
segitiga antara Republik Indonesia, BFO dan Belanda di bawah pimpinan Critchley
dari UNCI. Adapun hasil perundingan tersebut antara lain:
1.
Pengembalian Pemerintah Republik Indonesia akan
dilaksanakan pada tanggal 1 Juli 1949. Setelah tanggal 24 Juni 1949 Karesidenan
Yogyakarta dikosongkan oleh tentara Belanda dan TNI dapat menguasai keadaan
sepenuhnya di daerah itu.
2.
Mengenai penghentian permusuhan akan diberikan setelah
Pemerintah Republik Indonesia kembali ke Yogyakarta.
3.
KMB akan dilaksanakan di Den Haag.[18]
Pada tanggal 6
Juli 1949 pemerintah Republik kembali ke Yogyakarta, yang sudah ditinggalkan
oleh pasukan-pasukan Belanda pada akhir bulan Juni. Pada tanggal 1 Agustus
diumumkanlah suatu gencatan senjata yang akan mulai berlaku di Jawa pada
tanggal 11 Agustus dan di Sumatera pada tanggal 15 Agustus. Pasukan-pasukan
republik berhasil merebut kembali sebagian besar Surakarta dan
mempertahankannya selama dua hari. Akan tetapi di wilayah RI lainnya seperti
Sulawesi Selatan, Sumatera Timur, Kalimantan Selatan, dan Jawa Barat, masih
berlangsung berbagai pergolakan, dimana proses-proses ini menghadapi perlawanan
dari pasukan-pasukan liar setempat.[19]
[1] Hisbaron
Muryantoro, “Aktivitas Tentara Pelajar dalam PHB Pada
Masa Perang Kemerdekaan Tahun 1945-1949”, Jurnal Patrawidya: Seri Sejarah dan
Budaya
Vol. 8 No.3 (Balai Pelestarian Sejarah dan Nilai
Tradisional Yogyakarta), hlm. 595.
[3]
Tri Tugas Wahyono, dkk, Rute Perjuangan
Gerilya A.H. Nasution Pada Masa Agresi Militer Belanda II, (Yogyakarta:
Balai Pelestarian Sejarah dan Nilai Tradisional, 2011), hlm. 28.
[5] Audrey
Kahin, Dari
Pemberontakan ke Integrasi: Sumatera Barat dan Politik Indonesia 1926-1998, (Jakarta:
Yayasan Obor Indonesia, 2005), Penerjemah Drs. Azmi, MA, Ph.D, Drs.
Zulfahmi, Dipl. I.I, hlm. 209.
[8] JR Chaniago (sunt), PDRI
(Pemerintah Darurat Republik Indonesia) Dalam Khasanah Kearsipan, (Jakarta: Arsip Nasional RI, 1989), hlm. 3.
[11] Suhartono, dkk., Yogyakarta
Ibukota Republik Indonesia 1946-1949, (Yogyakarta: Yayasan Sudjatmoko,
2002), hlm. 105.
[17] Tri Tugas Wahyono, op.cit.,
hlm. 68.
terimakasih untuk postingnya ini sangat membantu tugas sejarah saya
BalasHapusSama-sama mbak Dian Lestari :) semoga bermanfaat :)
BalasHapus