Rabu, 04 September 2013

INDONESIA DI TITIK GERILYA : Peristiwa Agresi Militer Belanda II - Perjanjian Roem Royen 1948-1949 (Pembahasan - 4)



1. Peranan Tentara Pelajar Dalam Agresi Militer Belanda II
Pada saat menghadapi Agresi Militer Belanda pertama ini, Tentara Pelajar Batalyon 300 (Yogyakarta dan Kedu) telah membentuk pasukan khusus yang bertugas sebagai intelijen, yang disebut Tentara Pelajar Combat. Dalam prakteknya pasukan ini bertugas mengadakan hubungan dengan pos-pos pertahanan tentara pelajar lainnya, supaya saling mengetahui perkembangan dan saling memberi informasi.[1] 595.
Surat Panglima Tentara dan Teritorium Djawa (PTTD) tertanggal 7 Januari 1949 yang ditandatangani Kolonel A.H. Nasution, berlaku pada amsa Agresi Militer Belanda II. Isi surat itu menyangkut keamanan perhubungan (security), yang berbunyi:
1.      Tiap pos bukanlah satu markas biasa, tetapi adalah pos yang rahasia bagi umum. Pos berpindah-pindah sendiri dlam rayon menurut keadaan pertempuran, tetapi tetap berhubungan dengan pos lain dan kesatuan atau instansi-instansi yang di dekatnya. Biasanya pos terdiri atas beberapa buah rumah yang terpencar, tempat menerima tamu, tempat bekerja, tempat tidur, tempat reserve. Sementara itu sudah ada reserve di utara, selatan, barat dan timur untuk keperluan jika nantinya perlu berpindah.Pos ini menyamar sebagai rakyat.
2.      Surat-surat biasa dibakar setelah diketahui isinya dan dicatat dalam satu buku yang secara kode dipegang oleh kepala pos. Hanya surat-surat yang penting, sebagai instruksi pokok dan sebagainya dan surat-surat yang untuk diteruskan yang tetap ada di pos dan ini disimpan dengan sembunyi pula. Komandan-komandan berusaha mengurangi persuratan dan menyampaikan berita-berita dan order-order dengan lisan oleh perwira-perwira. Tetapi untuk dokumentasi perlu pos tersebut mempunyai buku seperti tersebut di atas dimana tercatat semua peristiwa penting dengan cara kode sendiri dari kepala pos, sehingga kelak olehnya bisa disusun Verslag yang lengkap, kalau perang telah selesai. kelak akan terbukti, betapa pentingnya dokumentasi dari perjuangan kita ini.
3.      Kurir: Pos-pos ini dan juga komandan-komandan mempunyai kurir-kurir sendiri yang telah dilatih sendiri buat hubungan mingguan antara pos dengan pos, selanjutnya dilaksanakan dengan perwira (pelajar).
4.      Kecepatan: Mesti diusahakan terus mempercepat perhubungan (PHB), karena sangat mutlak bagi tiap PHB ialah cepat dan tepat. Dengan menyempurnakan cara-cara berjalan, maka bisa diperpendek waktu berjalan.
5.      Terus bersiap. Tiap pos mesti selalu bersiap untuk menghadapi kemungkinan pembersihan, kalau perlu untuk segera pindah. Pakaian, barang-barang dan surat-surat mesti selalu tersedia untuk disembunyikan atau dipindahkan.
6.      Kode. Anggota-anggota pos dengan kurir mesti memakai nama-nama lain dan kode di jalan yang diatur oleh kepala pos untuk bawahannya.
7.      Menyamar. Sesuaikanlah diri dengan suasana desa, inilah cara menyamar yang sebaik-baiknya.[2]
Sejak agresi bulan Desember 1948 sampai bulan Juni 1949 di daerah Sleman, Belanda menempatkan pos-posnya di Kaliurang, Kledokan, Tempel, Medari, Beran, Cebongan, sedangkan pos yang hanya dijaga pada siang hari berada di dekat jembatan Jombor yakni di Sinduadi, Sendangdadi dan Mlati, sehingga tempat-tempat tersebut sebagai palagan yang ramai. Para pejuang Indonesia bersama-sama Tentara Pelajar (TP) dan para pemuda Militer Akademi (MA) maju melawan Belanda. Di Kaliurang Belanda memiliki dua gedung yang menjadi pos utama. Gedung bagian barat adalah villa kepunyaan Dr. Sukiman, sedangkan di bagian timur yakni Villa Argopeni kepunyaan Sri Paku Alam VIII. Dua gedung pos utama Belanda tersebut pada tanggal 11 Maret 1949 dijadikan sasaran serangan gerilya oleh para pemuda MA.[3]
Selama pendudukan Belanda di Yogyakarta, banyak korban menimpa rakyat. Sejak tanggal 19 Desember 1948 hingga 30 Juni 1949, kerugian yang diderita rakyat meliputi korban jiwa, menderita luka-luka, orang hilang dan kerugian benda. Seluruh daeeah Istimewa Yogyakarta meliputi Haminte Kota Yogyakarta, Kabupaten Bantul, Sleman, Gunungkidul, Kulonprogo dan Adikarto. Sementara itu orang yang meninggal semasa revolusi jumlahnya mencapai 2718 jiwa, yang menderita luka-luka 736 orang, yang hilang tidak ditemukan lagi ada 539 orang dan kerugian benda milik rakyat sejumlah Rp 252.684.430,00.[4]

2. Pemerintah Darurat Republik Indonesia (PDRI)
Pada tanggal 19 Desember 1948, bersamaan dengan serangannya ke ibukota republik, Yogyakarta, Belanda melancarkan serangan “Police Action” (Aksi Polisional) di Sumatera Barat. Mereka Mengepung garis pertahanan utama Indonesia di lembah Anai, yang terletak antara Kayutanam dan padangpanjang, dengan mendaratkan empat pesawat Catalina di Danau Singkarak. Terhitung dari waktu itulah pantai timur danau menjadi basis pasukan belanda maju ke utara menuju Padang Panjang dan Bukittinggi, serta ke selatan ke Solok melalui daerah yang relatif datar.[5]
Pada saat mendengar penyerangan Belanda atas Yogyakarta, Sjafruddin bersama dengan para pemimpin pemerintahan provinsi Sumatera dan komandan militer Sumatera yang baru, kolonel Hidayat, meninggalkan Bukittinggi dan mundur ke Halaban, kira-kira 16 kilometer di tenggara Payakumbuh. Mereka sampai di sana 21 Desember dan diikuti oleh Residen Sumatera Barat, Rasjid. Di Halaban itulah mereka mulai menyusun strategi untuk menjawab serangan Belanda. Oleh karena para pemimpin republik di Jawa telah ditahan Belanda, maka pada tanggal 22 Desember, Sjafruddin mengumumkan berdirinya Pemerintah Darurat RI (PDRI) dengan ia sebagai ketua, gubernur Sumatera Mr. Tengku Mohd. Hassan sebagai Wakil Ketua, dan Mr. Rasjid sebagai Menteri Keamanan. Kabinet mengangkat panglima Angkatan Darat, Laut dan Udara, dan menunjuk perwakilan Indonesia di India, Mr. Maramis, sebagai menteri Luar Negeri dan menugaskannya agar membawa masalah Indonesia ke PBB. Mereka kemudian menunjuk perwakilan PDRI di Jawa, yang dipimpin oleh Sukiman, Kasimo dan Mr. Susanto yang luput dari serangan Belanda di Yogyakarta.[6]
Sejak itulah PDRI memainkan peranan penting dan menjamin bahwa perjuangan melawan Belanda tetap dipimpin oleh pemerintahan yang sah yang diakui oleh kaum Republik di seluruh Indonesia. PDRI menjadi simbol nasional dan faktor pemersatu, khususnya bagi pasukan gerilya yang terpencar di seluruh Jawa dan Sumatera, karena pemerintahan Sjafruddin diakui oleh pasukan Republik (di bawah Panglima Besar Sudirman) sebagai pengganti yang sah dari pemerintahan Soekarno/Hatta. Pemimpin Republik kemudian memencar. Sjafruddin dan kebanyakan menterinya berangkat ke selatan untuk mendirikan pemerintahan mobil di Bidar Alam, di perbatasan Sumatera Barat dengan Jambi. Kolonel Hidayat dan komandemen militer Sumatera berangkat ke utara, berhenti untuk beberapa minggu di Rao, di bagian utara Sumatera Barat, dan melanjutkan longmarch ke Aceh. Di sanalah kemudian dibentuk markas komando militer Sumatera di daerah yang tidak pernah terjamah oleh Belanda. Mr. Rasjid dan anggota pemerintahan Sumatera Barat pindah ke Kototinggi, suatu nagari di pegunungan di luar Suliki, sebelah utara Payakumbuh. Ia ditemani oleh Chatib Suleiman dan Anwar Sutan Saidi, sampai di sana 24 Desember dan membentuk pemerintahan militer Sumatera barat di kantor perwakilan nagari.[7]
Sementara itu, misi Hatta dalam bidang pemerintahan dan politik yang bermuara pada gagasan pembentukan PDRI ddijelaskan oleh Sjafruddin Prawiranegara pada tanggal 29 Mei 1979, seperti berikut.
“pada bulan Nopember 1948 itu saya diperbantukan kepada Bung Hatta (dengan) beberapa pembesar lainnya untuk datang ke Sumatera. Jadi waktu itu saya hanya pengikut Bung Hatta; yang akan menjalankan peranan utama tentu Bung Hatta sebagai Wakil Presiden dan sebagai Perdana Menteri. Tapi belum lama kami sampai di Bukittinggi, saya tidak tahu berapa lama, Bung Hatta sudah dipanggil kembali ke Jawa, karena KTN telah berhasil membujuk Belanda untuk berbicara lagi dengan republik Indonesia yang dilangsungkan di Kaliurang. jadi Bung Hatta berangkat lagi (ke Yogyakarta). Kami yang tadinya dibawa sebagai pengikut tinggal di Bukittinggi. Saya tidak ingat lagi siapa saja yang ditinggal; yang saya ingat ada nama Mr. Lukman Hakim, Mr. Abdul Karim, Soejono. Kami ditinggal di Bukittinggi sambil menunggu beliau kembali atau dikembalikan lagi ke Jawa. Tapi tiba-tiba kami mendengar 19 Desember 1948 Yogyakarta sudah diserbu belanda.”[8]

Dalam pemerintahan yang dijalankan PDRI, rombongan yang terpisah-pisah, bagaimanapun juga, mempersulit konsolidasi perjuangan PDRI. Diperlukan sistem dan peralatan, sehingga koordinasi dan instruksi mampu mencapai komando-komando paling bawah. Sebelum itu kita ikuti dulu pengalaman Kolonel Soejono yang minta kembali ke Payakumbuh. Menurut M. Yacoeb Lubis yang menjadi pimpinan salah satu radio tersebut mengungkapkan bahwa alat-alat yang dimiliki saat itu di Bukittinggi adalah sebuah sender yang antenenya memanfaatkan menara Fort de Cock (benteng Cock). Peralatan radio yang masih ala kadarnya tersebut kemudian diselundupkan ke Kototinggi. Alat-alat tersebut kemudian dipasang dan dicoba dihubungkan dengan Piobang dan Medan.[9] Pemancar yang dapat dipergunakan untuk hubungan konsolidasi politik ketika itu adalah pemancar AURI yang saling berhubungan antara Jawa-Sumatera-Rangoon; PTT Bukittinggi yang pernah mengudara di daerah gerilya dengan Call sign YBJ 6; dan pemancar berfrekuensi rendah dan berjangkauan terbatas milik Corpas PHB Komandemen dan Divisi Angkatan Darat di Bukittinggi.[10]
Selain pemerintahan darurat di Bukittinggi, Sultan Hamengkubuwono IX ternyata sudah mempersiapkan suatu daerah yang tak jauh dari Yogyakarta sebagai pusat pemerintahan apabila sewaktu-waktu Yogya diserang. Untuk mencari alternatif baru agar pemerintahan dapat berlangsung, dipilihlah tempat yang terisolasi, yaitu Wonosari sebagai pusat pemerintahan RI. Untuk menjaga kemungkinan itu Sultan Hamengkubuwono IX memerintahkan pada KRT. Honggowongso untuk menyiapkan kemungkinan pindahnya Pamong Praja di Wonosari. Dengan demikian, Sultan sudah jauh mengantisipasi kelangsungan pemerintahan sipil.[11]

C. Rum Royen, Akhir dari Agresi Militer Belanda II
Belanda menerima himbauan PBB supaya mengadakan gencatan senjata pada tanggal 31 Desember 1948 di Jawa dan tanggal 5 Januari 1949 di Sumatera, sementara perang gerilya masih terus berlangsung.[12] PBB dan Amerika Serikat mulai mengambil sikap yang lebih tegas terhadap Belanda. Tekanan ini bersamaan dengan tekanan militer Republik akhirnya memaksa Belanda suipaya memutuskan upayanya yang terakhir untuk membentuk imperium Indonesia. Akhir bulan Januari 1949 Dewan Keamanan PBB menuntut pembebasan kabinet Republik, pembentukan suatu pemerintahan sementara, dan penyerahan kedaulatan segera penuh sebelum 1 Juli 1950. Amerika Serikat secara terang-terangan mencela Belanda di dalam PBB dan mengancam akan menghentikan bantuan pembangunan yang menjadi tumpuan utama perekonomian dalam negeri Belanda.[13]
Reaksi dalam bidang politik yang kemudian mendapat tanggapan dunia dilancarkan oleh India dan Birma. Di New Delhi pada tanggal 20 hingga 23 Januari 1949, atas prakarsa India dan Birma, diselenggarakanlah Konferensi Asia yang dihadiri oleh utusan dari beberapa negara Asia, Afrika dan juga Australia. Konferensi menghasilkan suatu resolusi mengenai masalah Indonesia yang kemudian akan disampaikan kepada Dewan Keamanan PBB. Resolusi tersebut berisi antara lain :
1.      Pengembalian Pemerintah Republik Indonesia ke Yogyakarta.
2.      Pembentukan Pemerintahan ad interim yang mempunyai kemerdekaan dalam politik luar negeri sebelum tanggal 15 Maret 1949.
3.      Penarikan tentara Belanda dari seluruh Indonesia.
4.      Penyerahan kedaulatan kepada Pemerintah Republik Indonesia Serikat paling lambat pada tanggal 1 Januari 1949.[14]

Pada tanggal 28 Januari 1949 Dewan Keamanan PBB mengeluarkan resolusi yang isinya mengambil alih Resolusi New Delhi tanggal 23 Januari 1949. Resolusi tersebut berisi antara lain:
1.      Penghentian semua operasi militer dengan segera oleh Belanda dan penghentian semua aktivitas gerilya oleh Republik Indonesia. Kedua pihak harus bekerjasama untuk mengadakan perdamaian kembali.
2.      Pembebasan dengan segera dan tidak bersyarat semua tahanan politik di dalam daerah Republik Indonesia oleh Belanda semenjak tanggal 19 Desember 1948.
3.      Belanda harus memberikan kesempatan kepada pembesar-pembesar Pemerintah Republik Indonesia untuk kembali ke Yogyakarta.
KTN diganti namanya menjadi Komisi Perserikatan Bangsa-Bangsa untuk Indonesia (United Nations Commission for Indonesia / UNCI) yang tugasnya menjadi perantara perundingan Indonesia-Belanda dan mempersiapkan terselenggaranya perundingan.[15]
3 Maret 1949 Presiden Soekarno mengadakan pembicaraan dengan penghubung BFO, dan menegaskan akan perlunya kedudukan pemerintah RI dipulihkan sebagai syarat dilangsungkannya perundingan selaras dengan resolusi Dewan Keamanan PBB. Selesai pertemuan itu pada keesokan harinya, tanggal 4 Maret 1949 Presiden Soekarno membalas undangan Wakil Tinggi Mahkota yang berisi penolakan menghadiri KMB kecuali dengan syarat yaitu:
1.      Pengembalian kekuasaan RI adalah syarat mutlak untuk memulai perundingan.
2.      Kedudukan dan kewajiban Komisi PBB untuk Indonesia dalam membantu melaksanakan resolusi PBB tidak akan terganggu.
Dari pihak BFO dikeluarkan pernyataan yang berisi pemberitahuan bahwa BFO tetap pada pendirian semula, yakni :
1.      Supaya pemerintah RI dikembalikan ke Yogyakarta.
2.      Komisi PBB untuk Indonesia agar membantu melaksanakan resolusi.
3.      RI memerintahkan gencatan senjata.[16]
Setelah melalui perundingan yang berlarut-laruit, akhirnya pada tanggal 7 Mei 1949 tercapai persetujuan yang dikenal dengan nama Roem-Royen Statements atau Persetujuan Roem-Royen. Pernyataan peemerintah Republik Indonesia dibacakan oleh ketua delegasi Indonesia Mr. Moh, Roem yang antara lain berisi :
1.      Pemerintah Republik Indonesia akan menghasilkan perintah penghentian Perang Gerilya.
2.      Turut serta dalam Konferensi Meja Bundar (KMB) yang bertujuan untuk mempercayai penyerahan kedaulatan yang lengkap dan tidak bersyarat kepada negara Republik Indonesia Serikat.
3.      Bekerjasama dalam mengembalikan perdamaian dan menjaga keamanan dan ketertiban.

Kemudian Dr. JH Van Royen, ketua delegasi Belanda, membacakan pernyataan yang berisi antara lain:
1.      Pemerintah Belanda setuju bahwa peemrintah republik Indonesia harus bebas dan leluasa melaksanakan kewajiban dalam satu daerah yang meliputi Karesidenan Yogyakarta.
2.      Pemerintah Belanda membebaskan secara tidak  bersyarat para pemimpin Republik Indonesia dan tahanan politik yang ditawan sejak tanggal 19 Desember 1948.
3.      Pemerintah Belanda setuju Republik Indonesia akan menjadi bagian dari pada Republik Indoensia Serikat.
4.      KMB akan diadakan secepatnya di Den Haag sesudah pemerintah Republik Indonesia kembali ke Yogyakarta.[17]
Sebagai tindak lanjut dari persetujuan Roem-Royen pada tanggal 22 Juni 1949, diadakan perundingan segitiga antara Republik Indonesia, BFO dan Belanda di bawah pimpinan Critchley dari UNCI. Adapun hasil perundingan tersebut antara lain:
1.      Pengembalian Pemerintah Republik Indonesia akan dilaksanakan pada tanggal 1 Juli 1949. Setelah tanggal 24 Juni 1949 Karesidenan Yogyakarta dikosongkan oleh tentara Belanda dan TNI dapat menguasai keadaan sepenuhnya di daerah itu.
2.      Mengenai penghentian permusuhan akan diberikan setelah Pemerintah Republik Indonesia kembali ke Yogyakarta.
3.      KMB akan dilaksanakan di Den Haag.[18]

Pada tanggal 6 Juli 1949 pemerintah Republik kembali ke Yogyakarta, yang sudah ditinggalkan oleh pasukan-pasukan Belanda pada akhir bulan Juni. Pada tanggal 1 Agustus diumumkanlah suatu gencatan senjata yang akan mulai berlaku di Jawa pada tanggal 11 Agustus dan di Sumatera pada tanggal 15 Agustus. Pasukan-pasukan republik berhasil merebut kembali sebagian besar Surakarta dan mempertahankannya selama dua hari. Akan tetapi di wilayah RI lainnya seperti Sulawesi Selatan, Sumatera Timur, Kalimantan Selatan, dan Jawa Barat, masih berlangsung berbagai pergolakan, dimana proses-proses ini menghadapi perlawanan dari pasukan-pasukan liar setempat.[19]



[1] Hisbaron Muryantoro, “Aktivitas Tentara Pelajar dalam PHB Pada Masa Perang Kemerdekaan Tahun 1945-1949”, Jurnal Patrawidya: Seri Sejarah dan Budaya Vol. 8 No.3 (Balai Pelestarian Sejarah dan Nilai Tradisional Yogyakarta), hlm. 595.
[2] Hisbaron Muryantoro, op.cit., hlm. 596.
[3] Tri Tugas Wahyono, dkk, Rute Perjuangan Gerilya A.H. Nasution Pada Masa Agresi Militer Belanda II, (Yogyakarta: Balai Pelestarian Sejarah dan Nilai Tradisional, 2011), hlm. 28.
[4] Tri Tugas Wahyono, dkk, op.cit., hlm. 29.
[5] Audrey Kahin, Dari Pemberontakan ke Integrasi: Sumatera Barat dan Politik Indonesia 1926-1998, (Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 2005), Penerjemah Drs. Azmi, MA, Ph.D, Drs. Zulfahmi, Dipl. I.I, hlm. 209.
[6] Audrey Kahin, op.cit., hlm. 213.
[7] ibid., hlm. 214.
[8] JR Chaniago (sunt), PDRI (Pemerintah Darurat Republik Indonesia) Dalam Khasanah Kearsipan, (Jakarta: Arsip Nasional RI, 1989), hlm. 3.
[9] ibid., hlm. 12.
[10] ibid., hlm. 16.
[11] Suhartono, dkk., Yogyakarta Ibukota Republik Indonesia 1946-1949, (Yogyakarta: Yayasan Sudjatmoko, 2002), hlm. 105.
[12] Mc. Ricklefs, op.cit., hlm. 348.
[13] ibid., hlm. 349.
[14] Tri Tugas Wahyono, op.cit., hlm. 66.
[15] Tri Tugas Wahyono, loc.cit.
[16] Marwati Djoened, Nugroho Notosusanto, op.cit., hlm. 164.
[17] Tri Tugas Wahyono, op.cit., hlm. 68.
[18] ibid., hlm. 69.
[19] Mc. Ricklefs, op.cit., hlm. 57.

2 komentar:

  1. terimakasih untuk postingnya ini sangat membantu tugas sejarah saya

    BalasHapus
  2. Sama-sama mbak Dian Lestari :) semoga bermanfaat :)

    BalasHapus