BAB II
PEMBAHASAN
A. Situasi Sosial-Politik
Republik Indonesia Sepanjang tahun 1948
1.
Tarik Ulur Penguasaan
Ekonomi RI
Tiga
tahun usai Indonesia merdeka,nampaknya Indonesia dan Belanda sama-sama
mempertaruhkan posisi ekonomi Indonesia untuk mendapatkan sokongan bagi politik
luar negerinya yakni Amerika Serikat. RI melakukan Kontrak Fox, sementara
Belanda mencari pinjaman pada Bank Internasional. Akan tetapi meskipun Bank
Internasional bersikap simpatik akan pembangunan ekonomi Belanda, beberapa
pembesar Bank Internasional yang melakukan penelitian sementara terhadap
keadaan di Indonesia menyatakan bahwa keadaan politik Indonesia masih keruh
sehingga penanaman modal tidak bisa dipertanggungjawabkan. Belanda juga
meminjam kurang lebih 400 juta dolar dari berbagai lembaga di Amerika Serikat
untuk memperbaiki produksi komoditi ekspor Indonesia[1].
Akan tetapi pemberian pinjaman pada waktu itu dianggap tidak tepat karena Uni
Soviet dan anggota Dewan Keamanan lainnya pasti akan menuduh Amerika telah
“membiayai imperialisme Belanda”. Sementara itu di lain pihak, Indonesia yang
melakukan kontrak Fox -demi melahirkan perserikatan dagang Amerika-Indonesia-
menghadapi kesulitan karena Belanda masih memblokade daerah RI dengan ketat[2].
Kedua negara, Indonesia dan Belanda, melakukan perjanjian dagangnya masing-masing
disebabkan oleh kesukaran-kesukaran yang ditimbulkan oleh konflik antara
Indonesia dan Belanda dan berpengaruh juga terhadap kalangan Amerika yang
memiliki kepentingan di Indonesia. Kontrak Fox yang disebut sebagai “bantuan
Marshall partikelir” ini berdampak pada pembangunan Indonesia yang pada
akhirnya terhambat dan banyak negara di dunia tidak dapat lagi membeli
hasil-hasil Indonesia[3].
2.
Kekacauan Ekonomi Uang RI
Di tengah carut marutnya
kondisi perekonomian Indonesia yang tarik ulur dengan pihak Belanda masih harus
ditambah lagi dengan peredaran Oeang Republik Indonesia (ORI) palsu oleh
Belanda dalam jumlah yang tak sedikit. Pedagang Cina sangat berperan dalam pengedaran
ORI palsu ini, terbukti pada Mei 1948 polisi Penang dua kali menemukan usaha
pemalsuan ORI dengan tujuan memerosotkan nilai ORI sendiri. Untuk
memberantasnya, diciptakanlah peraturan-peraturan yang mewajibkan masyarakat
menggunakan jasa bank pemerintah dalam peredaran uang. Peraturan ini
dimaksudkan untuk memperbaiki kualitas alat pembayaran RI sekaligus mengawasi
peredaran uang di masyarakat. Dalam kata lain, pemerintah benar-benar bisa
memastikan bahwa uang yang diterima masyarakat ialah uang yang benar-benar
dikeluarkan oleh pemerintah.[4]
Akan tetapi kesulita-kesulitan perekonomian tetap dihadapi pemerintah RI. Hal
ini disebabkan campur tangan tentara dan buruh serta kegiatan SOBSI yang hampir
selalu menggunakan aksi pemogokan dalam aksi oposisinya.[5]
Setelah
agresi militer Belanda 1 (Juli 1947), kontrol blokade ekonomi Belanda memang
berjalan dengan semakin ketat, terutama di Jawa. Akibatnya pun ikut dirasakan
oleh cabang-cabang BTC. Dalam hal ini ada dua pola perubahan penting yang perlu
dicatat. Pertama, banyak pengusaha bumiputera dan Cina yang sebelumnya
beroperasi di jawa memindahkan kegiatan mereka ke Sumatera. Kedua, jaringan
epdagangan antarpulau ini, pada gilirannya, semakin mengintegrasikan pranata
ekonomi lokal ke dalam jaringan berskala nasional, termasuk dalam hal ini
perdagangan gelap. Penyelundupan emas dan candu semakin menjadi-jadi mengingat
pengangkutannya relatif lebih aman daripada komoditi pertanian atau barang
bervolume besar.[6]
3.
Kekacauan Politik RI
Selama tengah tahun terakhir
1947, berkembanglah suatu perpecahan yang makin membesar di dalam partai
Sosialis antara kelompok yang dipimpin Sjarifuddin dan kelompok lebih kecil di
bawah pimpinan Sjahrir. Kelompok Sjahrir menjadi makin dimusuhi oleh meningkatnya
tekanan kelompok yang lebih besar dengan adanya peperangan antarkelas dan mulai
dibinanya persekutuan dengan Rusia.[7]
Perpecahan antara kedua
kelompok ini jadi menghebat pada buan Januari 1948, ketika kelompok Sjahrir
menentang persetujuan Renville yang disponsori dan disetujui oleh Perdana
Menteri Sjarifuddin, kebanyakan anggota kabinetnya, maupun Partai Buruh dan
Partai Komunis Indonesia. Perpecahan itu semakin menjadi segera setelah kabinet
Presidensiil Hatta terbentuk.[8]
Permasalahan antara kabinet dengan oposisi FDR menjadi
pembicaraan yang hangat saat itu. FDR dibentuk pada tanggal 28 Juni 1948 oleh
kelompok Amir Sjariffudin yang pada waktu itu menempatkan diri sebagai oposisi
terhadap kabinet yang dipimpin Bung Hatta. Kabinet tersebut dibentuk Bung Hatta
setelah Kabinet Amir Sjariffudin jatuh karena tidak adanya lagi dukungan
setelah penandatanganan perjanjian Renville, dan setelah upaya membentuk
kabinet menurut tata cara yang lazim menemui kegagalan.
FDR terdiri dari Partai Sosialis (kelompok Amir),
Pesindo, Partai Buruh, PKI, dan Sobsi. FDR memiliki dua dasar kekuatan yang
prinsip; di dalam angkatan perang, dan di kalangan tingkatan-tingkatan buruh.
Rencana perebutan kekuasaan mulai disusun sejak waktu itu, baik melalui
acara-cara politik (parlementer) maupun melalui cara-cara non parlementer.
Rencana perebutan kekuasaan diawali dengan persiapan berupa situasi,
demonstrasi, dan tindakan-tindakan pengacauan lainnya di kota Solo, antara lain
penculikan dan pembunuhan tokoh-tokoh yang dianggap musuh.[9]
FDR mengawali gerakannya dengan gerakan agresi di kota
Solo dengan melakukan hasutan, penculikan, pembunuhan, pemogokan buruh, insiden
bersenjata dan adu domba. Antara lain yang menjadi korban pembunuhan adalah
tokoh Dr. Muwardi dan yang menjadi korban sasaran hasutan dan insiden adalah
satuan Divisi Siliwangi yang datang hijrah dari Jawa Barat. Dalam menghasut rakyat
untuk memusuhi Siliwangi, simbol SLW yang dipakai Siliwangi diisukan sebagai Stoot Leger Wilhelmina yang
penerjemahannya berarti tentara penyerang dari Ratu Belanda, Wilhelmina.[10]
FDR punya dua dasar kekuatan yang prinsip; di dalam
angkatan perang, dan di kalangan tingkatan-tingkatan buruh. Dalam tugasnya
sebagai Menteri Pertahanan sejak tanggal 3 Juli 1947 hingga 28 Januari 1948,
Sjarifuddin telah berhasil membina suatu kedudukan pribadi yang kuat dalam
angkatan perang. Ia memiliki kekuasaan untuk menunjuk dan mengeluarkan
dana-dana telah membuat sejumlah besar perwira angkatan perang TNI tetap setia
kepadanya. Dia dan sejumlah pengikutnya yang lebih bisa dipercaya, menjadi
satu-satunya kelompok yang tahu tentang lokasi banyak tempat penyembunyian
senjata dan bahan peledak yang ditempatkan di daerah-daerah pegunungan dalam
rangka menghadapi aksi militer Belanda lebih jauh.[11]
Usaha-usaha FDR tersebut sesungguhnya adalah kehendak
mereka untuk melakukan perubahan politik dalam negeri, mempertahankan tentara,
dan mengadakan perubahan di bidang ekonomi. Politik dalam dan luar negeripun
menjadi objek keberatan FDR, di antaranya ketika pemerintah melakukan
perjanjian Renville. Menurut asumsi Amir Syarifuddin, keadaan perundingan itu
dapat disamakan dengan keadaan perundingan pada bulan Desember 1947 atau dalam
arti harus menerima atau menolak tuntutan-tuntutan Belanda. FDR yang makin
terdesak lantas mengajukan calon formatur di luar kalngan mereka, dan mereka
memilih Muso.[12]
Sejak kedatangan kembali Musso, seorang tokoh komunas yang sejak lama berada di
Moskow dan kemudian menganjurkan jalan baru bagi PKI, teror semakin
ditingkatkan, bahkan kesatuan-kesatuan Tentara Nasional Indonesia saling diadu,
seperti kesatuan Siliwangi dengan kesatuan-kesatuan setempat.[13]
Demi menandingi Kabinet Hatta, FDR kemudian menyusun program naisonal yang juga
terdiri atas empat pasal, yakni:
a. pembatalan persetujuan
Renville
b. penghentian
perundingan-perundingan dengan Belanda sampai mereka menarik diri dari bumi
Indonesia
c. nasionalisasi semua kekayaan
Belanda tanpa pemberian ganti rugi
d. pembubaran Kabinet
Presidensiil Hatta dan pembentukan kabinet parlementer dimana wakil-wakil FDR
diikutsertakan dengan menduduki kursi-kursi penting.[14]
Sebenarnya permasalahan yang timbul tersebut didasarkan
atas perpecahan antara Amir dan Syahrir yang meruncing pada 13 Februari 1948
ketika Syahrir memutuskan untuk keluar dari Partai Sosialis dan mendirikan PSI
(Partai Sosialis Indonesia) dan secara pasti pembentukan partai tersebut
melemahkan kedudukan Amir, karena anggota-anggota KNIP dan BP-KNIP banyak yang
memihak Syahrir, meskipun sebagian besar massa anggotanya banyak yang masih
setia kepada Amir, salah satunya Pasindo.[15]
Pertentangan
politik yang hebat pada saat itu merupakan sumber terjadinya permasalahan
keamanan dalam negeri ini. Dalam keadaan demikian dengan sendirinya tidak akan
mungkin TNI menjadi alat kepolisian dalam tangan pemerintah, kecuali jika
memang kedaulatan negara yang terserang. Maka demikianlah keadaan intern negara
saat itu. Di satu pihak terdapat partai-partai yang terus bersengketa dan
mencegah adanya pemerintah yang kuat, sedangkan di pihak lain, rakyat justru
berteriak-teriak minta “tangan besi”.[16]
4.
Perkembangan di Bidang Pers Indonesia
Menjelang
tahun 1948 di Yogyakarta terbit harian “Massa” dari golongan Tan Malaka, “Suara
Ibukota” dari Sayap kiri, “Suara Ummat” dari Masyumi. Bukan saja koran-koran
itu saling menghantam dalam berita dan tulisan, melainkan dengan menggunakan
pasukan bersenjata dari lasykar rakyat melaksanakan perebutan percetakan
seperti antara harian “Murba” dan “Bekerja”. Sungguh ramai sekali keadaan di
kalangan pers pedalaman yang melaksanakan kemerdekaan pers dengan penuh
semangat, yang tidak pernah dikenal sebelumnya dalam sejarah Indonesia. Apapun
juga penilaian orang, pada masa revolusi itu pers mengenal dan melaksanakan
kemerdekaan pers.[17]
[1] A.H.
Nasution, Sekitar Perang Kemerdekaan
Indonesia Jilid 8, (Bandung: Penerbit Angkasa, 1979), hlm.7.
[2] ibid., hlm. 8.
[3] ibid., hlm. 11.
[5] ibid., hlm. 12.
[6] Panitia
Konferensi Internasional “Revolusi Nasional: Kajian, Kenangan, dan Renungan”, Denyut
Nadi Revolusi Indonesia, (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 1997), hlm. 256.
[7]George
Mc. Tuman Kahin, Nasionalisme
dan Revolusi di Indonesia, penerjemah Nin Bakdi Soemanto (Jakarta: Pustaka
Sinar Harapan & Sebelas Maret University Press, 1995), hlm.
325.
[9]
Ginandjar Kartasasmita, et.al., 30 Tahun
Indonesia Merdeka Jilid 1, (Jakarta: PT. Tira Pustaka, 1981), hlm. 184.
[10] Tuk
Setyohadi, Sejarah Perjalanan Bangsa
Indonesia Dari Masa ke Masa, (Jakarta, 2002), hlm. 76.
[12] A.H.
Nasution, op.cit., hlm. 14.
[13]
Ginandjar Kartasasmita et.al., loc.cit.
[16] A.H.
Nasution, op.cit., hlm. 76.
[17] Panitia
Konferensi Internasional “Revolusi Nasional: Kajian, Kenangan, dan Renungan”, op.cit., hlm. 63.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar