Rabu, 04 September 2013

INDONESIA DI TITIK GERILYA : Peristiwa Agresi Militer Belanda II - Perjanjian Roem Royen 1948-1949 (Pembahasan - 2)



BAB II
PEMBAHASAN


A. Situasi Sosial-Politik Republik Indonesia Sepanjang tahun 1948
1.      Tarik Ulur Penguasaan Ekonomi RI
            Tiga tahun usai Indonesia merdeka,nampaknya Indonesia dan Belanda sama-sama mempertaruhkan posisi ekonomi Indonesia untuk mendapatkan sokongan bagi politik luar negerinya yakni Amerika Serikat. RI melakukan Kontrak Fox, sementara Belanda mencari pinjaman pada Bank Internasional. Akan tetapi meskipun Bank Internasional bersikap simpatik akan pembangunan ekonomi Belanda, beberapa pembesar Bank Internasional yang melakukan penelitian sementara terhadap keadaan di Indonesia menyatakan bahwa keadaan politik Indonesia masih keruh sehingga penanaman modal tidak bisa dipertanggungjawabkan. Belanda juga meminjam kurang lebih 400 juta dolar dari berbagai lembaga di Amerika Serikat untuk memperbaiki produksi komoditi ekspor Indonesia[1]. Akan tetapi pemberian pinjaman pada waktu itu dianggap tidak tepat karena Uni Soviet dan anggota Dewan Keamanan lainnya pasti akan menuduh Amerika telah “membiayai imperialisme Belanda”. Sementara itu di lain pihak, Indonesia yang melakukan kontrak Fox -demi melahirkan perserikatan dagang Amerika-Indonesia- menghadapi kesulitan karena Belanda masih memblokade daerah RI dengan ketat[2]. Kedua negara, Indonesia dan Belanda, melakukan perjanjian dagangnya masing-masing disebabkan oleh kesukaran-kesukaran yang ditimbulkan oleh konflik antara Indonesia dan Belanda dan berpengaruh juga terhadap kalangan Amerika yang memiliki kepentingan di Indonesia. Kontrak Fox yang disebut sebagai “bantuan Marshall partikelir” ini berdampak pada pembangunan Indonesia yang pada akhirnya terhambat dan banyak negara di dunia tidak dapat lagi membeli hasil-hasil Indonesia[3].
2.      Kekacauan Ekonomi Uang RI
Di tengah carut marutnya kondisi perekonomian Indonesia yang tarik ulur dengan pihak Belanda masih harus ditambah lagi dengan peredaran Oeang Republik Indonesia (ORI) palsu oleh Belanda dalam jumlah yang tak sedikit. Pedagang Cina sangat berperan dalam pengedaran ORI palsu ini, terbukti pada Mei 1948 polisi Penang dua kali menemukan usaha pemalsuan ORI dengan tujuan memerosotkan nilai ORI sendiri. Untuk memberantasnya, diciptakanlah peraturan-peraturan yang mewajibkan masyarakat menggunakan jasa bank pemerintah dalam peredaran uang. Peraturan ini dimaksudkan untuk memperbaiki kualitas alat pembayaran RI sekaligus mengawasi peredaran uang di masyarakat. Dalam kata lain, pemerintah benar-benar bisa memastikan bahwa uang yang diterima masyarakat ialah uang yang benar-benar dikeluarkan oleh pemerintah.[4] Akan tetapi kesulita-kesulitan perekonomian tetap dihadapi pemerintah RI. Hal ini disebabkan campur tangan tentara dan buruh serta kegiatan SOBSI yang hampir selalu menggunakan aksi pemogokan dalam aksi oposisinya.[5]
Setelah agresi militer Belanda 1 (Juli 1947), kontrol blokade ekonomi Belanda memang berjalan dengan semakin ketat, terutama di Jawa. Akibatnya pun ikut dirasakan oleh cabang-cabang BTC. Dalam hal ini ada dua pola perubahan penting yang perlu dicatat. Pertama, banyak pengusaha bumiputera dan Cina yang sebelumnya beroperasi di jawa memindahkan kegiatan mereka ke Sumatera. Kedua, jaringan epdagangan antarpulau ini, pada gilirannya, semakin mengintegrasikan pranata ekonomi lokal ke dalam jaringan berskala nasional, termasuk dalam hal ini perdagangan gelap. Penyelundupan emas dan candu semakin menjadi-jadi mengingat pengangkutannya relatif lebih aman daripada komoditi pertanian atau barang bervolume besar.[6]
3.      Kekacauan Politik RI
Selama tengah tahun terakhir 1947, berkembanglah suatu perpecahan yang makin membesar di dalam partai Sosialis antara kelompok yang dipimpin Sjarifuddin dan kelompok lebih kecil di bawah pimpinan Sjahrir. Kelompok Sjahrir menjadi makin dimusuhi oleh meningkatnya tekanan kelompok yang lebih besar dengan adanya peperangan antarkelas dan mulai dibinanya persekutuan dengan Rusia.[7]
Perpecahan antara kedua kelompok ini jadi menghebat pada buan Januari 1948, ketika kelompok Sjahrir menentang persetujuan Renville yang disponsori dan disetujui oleh Perdana Menteri Sjarifuddin, kebanyakan anggota kabinetnya, maupun Partai Buruh dan Partai Komunis Indonesia. Perpecahan itu semakin menjadi segera setelah kabinet Presidensiil Hatta terbentuk.[8]
Permasalahan antara kabinet dengan oposisi FDR menjadi pembicaraan yang hangat saat itu. FDR dibentuk pada tanggal 28 Juni 1948 oleh kelompok Amir Sjariffudin yang pada waktu itu menempatkan diri sebagai oposisi terhadap kabinet yang dipimpin Bung Hatta. Kabinet tersebut dibentuk Bung Hatta setelah Kabinet Amir Sjariffudin jatuh karena tidak adanya lagi dukungan setelah penandatanganan perjanjian Renville, dan setelah upaya membentuk kabinet menurut tata cara yang lazim menemui kegagalan.
FDR terdiri dari Partai Sosialis (kelompok Amir), Pesindo, Partai Buruh, PKI, dan Sobsi. FDR memiliki dua dasar kekuatan yang prinsip; di dalam angkatan perang, dan di kalangan tingkatan-tingkatan buruh. Rencana perebutan kekuasaan mulai disusun sejak waktu itu, baik melalui acara-cara politik (parlementer) maupun melalui cara-cara non parlementer. Rencana perebutan kekuasaan diawali dengan persiapan berupa situasi, demonstrasi, dan tindakan-tindakan pengacauan lainnya di kota Solo, antara lain penculikan dan pembunuhan tokoh-tokoh yang dianggap musuh.[9]
FDR mengawali gerakannya dengan gerakan agresi di kota Solo dengan melakukan hasutan, penculikan, pembunuhan, pemogokan buruh, insiden bersenjata dan adu domba. Antara lain yang menjadi korban pembunuhan adalah tokoh Dr. Muwardi dan yang menjadi korban sasaran hasutan dan insiden adalah satuan Divisi Siliwangi yang datang hijrah dari Jawa Barat. Dalam menghasut rakyat untuk memusuhi Siliwangi, simbol SLW yang dipakai Siliwangi diisukan sebagai Stoot Leger Wilhelmina yang penerjemahannya berarti tentara penyerang dari Ratu Belanda, Wilhelmina.[10]
FDR punya dua dasar kekuatan yang prinsip; di dalam angkatan perang, dan di kalangan tingkatan-tingkatan buruh. Dalam tugasnya sebagai Menteri Pertahanan sejak tanggal 3 Juli 1947 hingga 28 Januari 1948, Sjarifuddin telah berhasil membina suatu kedudukan pribadi yang kuat dalam angkatan perang. Ia memiliki kekuasaan untuk menunjuk dan mengeluarkan dana-dana telah membuat sejumlah besar perwira angkatan perang TNI tetap setia kepadanya. Dia dan sejumlah pengikutnya yang lebih bisa dipercaya, menjadi satu-satunya kelompok yang tahu tentang lokasi banyak tempat penyembunyian senjata dan bahan peledak yang ditempatkan di daerah-daerah pegunungan dalam rangka menghadapi aksi militer Belanda lebih jauh.[11] 
Usaha-usaha FDR tersebut sesungguhnya adalah kehendak mereka untuk melakukan perubahan politik dalam negeri, mempertahankan tentara, dan mengadakan perubahan di bidang ekonomi. Politik dalam dan luar negeripun menjadi objek keberatan FDR, di antaranya ketika pemerintah melakukan perjanjian Renville. Menurut asumsi Amir Syarifuddin, keadaan perundingan itu dapat disamakan dengan keadaan perundingan pada bulan Desember 1947 atau dalam arti harus menerima atau menolak tuntutan-tuntutan Belanda. FDR yang makin terdesak lantas mengajukan calon formatur di luar kalngan mereka, dan mereka memilih Muso.[12] Sejak kedatangan kembali Musso, seorang tokoh komunas yang sejak lama berada di Moskow dan kemudian menganjurkan jalan baru bagi PKI, teror semakin ditingkatkan, bahkan kesatuan-kesatuan Tentara Nasional Indonesia saling diadu, seperti kesatuan Siliwangi dengan kesatuan-kesatuan setempat.[13] Demi menandingi Kabinet Hatta, FDR kemudian menyusun program naisonal yang juga terdiri atas empat pasal, yakni:
a.       pembatalan persetujuan Renville
b.      penghentian perundingan-perundingan dengan Belanda sampai mereka menarik diri dari bumi Indonesia
c.       nasionalisasi semua kekayaan Belanda tanpa pemberian ganti rugi
d.      pembubaran Kabinet Presidensiil Hatta dan pembentukan kabinet parlementer dimana wakil-wakil FDR diikutsertakan dengan menduduki kursi-kursi penting.[14]
Sebenarnya permasalahan yang timbul tersebut didasarkan atas perpecahan antara Amir dan Syahrir yang meruncing pada 13 Februari 1948 ketika Syahrir memutuskan untuk keluar dari Partai Sosialis dan mendirikan PSI (Partai Sosialis Indonesia) dan secara pasti pembentukan partai tersebut melemahkan kedudukan Amir, karena anggota-anggota KNIP dan BP-KNIP banyak yang memihak Syahrir, meskipun sebagian besar massa anggotanya banyak yang masih setia kepada Amir, salah satunya Pasindo.[15]
            Pertentangan politik yang hebat pada saat itu merupakan sumber terjadinya permasalahan keamanan dalam negeri ini. Dalam keadaan demikian dengan sendirinya tidak akan mungkin TNI menjadi alat kepolisian dalam tangan pemerintah, kecuali jika memang kedaulatan negara yang terserang. Maka demikianlah keadaan intern negara saat itu. Di satu pihak terdapat partai-partai yang terus bersengketa dan mencegah adanya pemerintah yang kuat, sedangkan di pihak lain, rakyat justru berteriak-teriak minta “tangan besi”.[16]
4. Perkembangan di Bidang Pers Indonesia
Menjelang tahun 1948 di Yogyakarta terbit harian “Massa” dari golongan Tan Malaka, “Suara Ibukota” dari Sayap kiri, “Suara Ummat” dari Masyumi. Bukan saja koran-koran itu saling menghantam dalam berita dan tulisan, melainkan dengan menggunakan pasukan bersenjata dari lasykar rakyat melaksanakan perebutan percetakan seperti antara harian “Murba” dan “Bekerja”. Sungguh ramai sekali keadaan di kalangan pers pedalaman yang melaksanakan kemerdekaan pers dengan penuh semangat, yang tidak pernah dikenal sebelumnya dalam sejarah Indonesia. Apapun juga penilaian orang, pada masa revolusi itu pers mengenal dan melaksanakan kemerdekaan pers.[17]



[1] A.H. Nasution, Sekitar Perang Kemerdekaan Indonesia Jilid 8, (Bandung: Penerbit Angkasa, 1979), hlm.7.
[2] ibid., hlm. 8.
[3] ibid., hlm. 11.
[4] A.H. Nasution, loc.cit.
[5] ibid., hlm. 12.
[6] Panitia Konferensi Internasional “Revolusi Nasional: Kajian, Kenangan, dan Renungan”, Denyut Nadi Revolusi Indonesia, (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 1997), hlm. 256.
[7]George Mc. Tuman Kahin, Nasionalisme dan Revolusi di Indonesia, penerjemah Nin Bakdi Soemanto (Jakarta: Pustaka Sinar Harapan & Sebelas Maret University Press, 1995), hlm. 325.
[8] ibid., hlm. 326.
[9] Ginandjar Kartasasmita, et.al., 30 Tahun Indonesia Merdeka Jilid 1, (Jakarta: PT. Tira Pustaka, 1981), hlm. 184.
[10] Tuk Setyohadi, Sejarah Perjalanan Bangsa Indonesia Dari Masa ke Masa, (Jakarta, 2002), hlm. 76.
[11] George Mc. Tuman Kahin, op.cit., hlm. 329.
[12] A.H. Nasution, op.cit., hlm. 14.
[13] Ginandjar Kartasasmita et.al., loc.cit.
[14]G. Moedjanto, op.cit., hlm. 31.
[15] ibid.
[16] A.H. Nasution, op.cit., hlm. 76.
[17] Panitia Konferensi Internasional “Revolusi Nasional: Kajian, Kenangan, dan Renungan”, op.cit., hlm. 63.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar