Rabu, 04 September 2013

INDONESIA DI TITIK GERILYA : Peristiwa Agresi Militer Belanda II - Perjanjian Roem Royen 1948-1949 (Pembahasan - 3)



B. Kronologi Aksi Agresi Militer Belanda II
Perundingan diplomatik antara Indonesia-Belanda sejak Juni 1948 menemui jalan buntu. Ketua Komisi Tiga Negara yang dibentuk oleh PBB Merle Cochran (Amerika) pada tanggal 10 September 1948, tanpa mengadakan pembicaraan terlebih dahulu dengan delegasi Belanda, mengusulkan pada kedua pihak suatu rencana lanjutan perundingan diplomatik. Cochran pada waktu itu mengambil sikap pro Republik dengan harapan mendukung pemerintah Hatta yang menghadapi ancaman komunisme yang cukup besar. Pada realitanya, pemberontakan PKI di Madiun dapat ditumpas dengan kekuatan TNI dalam kurun waktu September-Oktober 1948. Kecepatan TNI dalam menumpas pemberontakan PKI menyebabkan Belanda mengurungkan Operasi Pelikaan, sebagai percepatan Rencana Operasi Kraai yang bertujuan  untuk menumpas kekuatan komunis dan menuntaskan penguasaan atas wilayah RI yang masih tersisa di Jawa.[1] Benarlah bahwa tahun 1948 merupakan tahun yang sulit bagi pemerintah dan rakyat Indonesia. Hal ini disebabkan penumpasan pemberontakan PKI Madiun secara menyeluruh yang tidak dapat diselesaikan dalam waktu dua bulan, terhitung semenjak meletusnya pemberontakan pada 18 September 1948. Pasukan-pasukan TNI dari Divisi 1 tengah diorganisasi, demikian pula dengan Divisi II yang musti disusun kembali setelah peristiwa Solo. Begitupun dengan 25% tentara-tentara yang terlibat dalam pemberontakan PKI, yang harus diisi kembali, sehingga membutuhkan banyak waktu untuk reorganisasi TNI. Akan tetapi di balik persiapan Republik untuk mengokohkan pertahanannya kembali, ancaman penyerangan yang dilakukan Belanda nampak dapat muncul sewaktu-waktu di saat kekuatan NKRI terpecah dan tersebar.[2]
Pada akhir September 1948, jajaran pemerintah Belanda kembali mempertimbangkan upaya perundingan diplomatik. Titik tolak pendirian Belanda dalam perundingan adalah :
1.      TNI harus dibubarkan, dilebur dalam tentara federal yang akan dibentuk, dan hanya melaksanakan tugas-tugas kepolisian.
2.      Republik Indonesia harus setuju bahwa bekas wilayahnya dipecah-pecah menjadi negara-negara bagian kecil, tidak punya alat kekuasaan sendiri, dan berada di bawah kekuasaan Federale Interim Regering (Pemerintah Federal Sementara) yang berada di bawah supervisi Hogere Vertegenwoordiger van de Kroon (Wakil Tinggi Mahkota). Dengan kata lain, Republik Indonesia diharapkan mau menghapus keberadaannya sebagai staatkundige organisatie (organisasi kenegaraan) dengan sukarela.[3]
Awal Oktober 1948, rencana Operasi Kraai yang dirancang oleh Staf Umum Belanda sejak Januari 1948 dikaji ulang untuk mempersiapkan Angkatan Perang Belanda apabila harus melancarkan agresi militer terhadap RI pada akhir Oktober. Pada pertengahan Oktober, perencanaan yang dituangkan dalam Operationale Directieven Kraai (Arahan Operasi Kraai) yang diperbarui telah rampung dan dilaporkan kepada Legercommandant (Panglima Tentara) Jenderal Spoor. Dari pengalaman pada Agresi Militer Belanda I, Belanda menyadari bahwa pendudukan daerah bukanlah hal yang penting, melainkan penghancuran kekuatan bersenjata lawanlah yang harus diutamakan sebagai syarat utama untuk melakukan pembangunan politik dan ekonomi yang diinginkan. Operasi-operasi kontragerilya yang dilancarkan menghadapi berbagai kesulitan dan hambatan besar, sehingga momentum ofensif yang berhasil dicapai pada awal operasi militernya harus dikorbankan. Dalam Operasi Kraai tersebut, pendudukan Jawa dan Sumatera bukan lagi sasaran utama, melainkan sasaran sekunder untuk melenyapkan pemerintah Republik Indonesia dan menghancurkan Angkatan Perangnya.[4]
22 Oktober 1948, RI mengirimkan jawaban kepada pemerintah Belanda atas surat diplomatik yang disampaikan Cochran tertanggal 4 Oktober 1948. Van Mook menanggapi jawaban RI secara negatif. van Mook menyatakan bahwa RI tidak bersungguh-sungguh untuk memenuhi preabele bestandsvoorwaarden (persyaratan gencatan senjata yang harus diutamakan), suatu kriteria yang diusulkan Belanda untuk bertemu kembali di meja perundingan. Problem yang dihadapi Belanda semakin menumpuk, antara lain situasi militer yang terus memburuk (perang gerilya RI yang semakin sengit di daerah-daerah pendudukan), pasukan-pasukan Belanda yang harus segera didemobilisasi, dan janji untuk melantik dan mengaktifkan Pemerintah Sementara Federal sebelum 1 Januari 1949. Van Mook menambahkan bahwa penggunaan kekuatan militer dengan segera untuk memecahkan masalah itu tidak dapat dihindarkan (onvermijdelijk), dan menekankan bila operasi militer telah dilancarkan, usaha pertama harus diarahkan untuk merebut dan menduduki pusat Republik Indonesia di Yogyakarta.[5]
PM Hatta, tanpa melalui KTN, mengadakan pendekatan politik baru dengan Van Mook. Kedua belah pihak mengadakan perundingan langsung dengan KTN sebagai saksi. Pada tanggal 27 November 1948, delegasi Belanda datang ke Indonesia, yang terdiri atas Menteri Seberang Lautan Mr. E. M. J. A. Sassen, Menteri Luar Negeri D. U. Stikker, dan Wakil Pemerintah Agung Belanda L. Neher.[6] 8 Desember 1948 diselenggarakan sidang kabinet lengkap Belanda guna melaporkan hasil perundingan dengan pihak RI. Pada 9 Desember 1948, sidang kabinet berikutnya, diputuskanlah untuk melancarkan Agresi Militer, karena secara bulat para menteri berpendapat bahwa perundingan politik dengan RI sudah tidak bermanfaat lagi. Perundingan dilangsungkan di Kaliurang antara PM Hatta dan delegasi Belanda secara langsung tanpa pengawasan KTN. Setelah gagalnya perundingan pada tanggal 9 Desember 1948, pemerintah RI mengirimkan nota kepada KTN mengenai pendirian RI :
1.      Pemerintah RI telah mengalah sedapat-dapatnya untuk mendekati pendirian Belanda.
2.      Petunjuk yang diberikan kepada Menteri Belanda terbatas pada penjajagan apakah pada dasarnya RI menerima baik syarat-syarat yang diajukan Belanda, sehingga tidak merupakan usaha yang sungguh-sungguh untuk mencapai perdamaian lewat perundingan.
Pemerintah Belanda terbukti pada tahun 1948 akan membentuk pemerintah interim tanpa RI, tanpa perundingan dengan RI di bawah pengawasan KTN terlebih dahulu.[7]
Atas desakan para menteri yang berasal dari Partai Buruh, keputusan untuk melancarkan operasi militer disarankan untuk diundur empat hari, tanggal 13 Desember 1948. Pertimbangan yang diajukan adalah perlu waktu untuk  menjelaskan pada Amerika Serikat dan KTN mengenai sikap RI yang dianggap sukar diajak berdamai. Sebelumnya, pada 7 Desember 1948, Amerika Serikat telah mengancam akan menghentikan bantuan Marshall kepada Belanda, bila Belanda menyerang Republik Indonesia.[8]
11 Desember 1948, KTN juga menerima nota dari pemerintah Belanda, yang isinya:
1.      Dalam perundingan di kaliurang terbukti RI tidak mempunyai kekuasaan yang nyata terhadap tentaranya, karena itu tidak dapat diharapkan kerjasama yang sungguh-sungguh untuk mencegah pelanggaran persetujuan gencatan senjata.
2.      Pendirian RI mengenai Wakil Tinggi mahkota, terutama mengenai kekuasaan terhadap tentara di masa peralihan, bertentangan dengan kedaulatan belanda sebagaimana yang ditetapkan dalam bagian pertama pokok-pokok azasi Persetujuan Renville, yang berarti berlangsungnya suatu keadaan yang tak dapat dipertahankan, di mana ada dua tentara saling berhadap-hadapan.
3.      Penolakan mengakui kedaulatan belanda selama masa peralihan menyebabkan tidak ada harganya RI menerima naskah persetujuan yang direncanakan oleh KTN dan Amerika Serikat pada tanggal 10 September sebagai dasar perundingan.
4.      Pemerintah Belanda harus bertindak melaksanakan keputusan mengenai pembentukan pemerintahan inetrim yang direncanakan atas dasar persetujuan wakil-wakil daerah federal.
Sebagai penutup dari nota tersebut Pemerintah Belanda menyatakan bahwa perundingan di bawah KTN tidak berfaedah, karena pada hakekatnya RI tidak mau mengakui adanya perjanjian gencatan senjata dan Persetujuan Renville.[9]
Terhadap konsepsi Belanda yang merugikan itu Republik bersikap menolak dengan tegas. Karena itu pada 11 Desember 1948 Delegasi Belanda yang dipimpin oleh R. Abdul Kadir Wijoyoatmojo mengatakan tidak dapat melanjutkan perundingan. Itu berarti bawha Persetujuan Renville mencapai kegagalan. Setelah perundingan mengalami kegagalan, Belanda mengiimkan sebuah misi yang diketuai oleh Stikker dengan maksud agar pertikaian antara Indonesia dan Belanda tak diselesaikan melalui delegasi tetapi dengan perteuan langsung antara pemerintah Belanda dengan pemerintah Republik. Ini berarti bahwa UNCI yang selama itu selalu bertindak sebagai orang ketiga di dalam perundingan antara kedua belah pihak dikesampingkan. Maka kemudian berlangsunglah perundingan di Kaliurang, Yogyakarta. Indonesia diwakili oleh Wakil Presiden Mohammad Hatta. Seperti perundingan sebelumnya ternyata perundingan antara dua pemerintah ini tidak membawa hasil seperti yang diharapkan pihak Belanda. Keesokan harinya Hatta mengunjungi Menteri Stikker, menyatakan bahwa Republik menolak konsepsi Belanda. [10]
Pada 17 Desember 1948 Belanda menyampaikan nota yang bersifat ultimatif kepada Republik yang menyatakan bahwa dalam waktu 24 jam Republik harus sudah memberi jawaban. Tentu pihak Republik tidak dapat memakai kesempatan yang diberikan mengingat waktu yang terlalu singkat guna melakukan perundingan dengan BP KNIP dan perangkat negara lainnya. Pada18 Desember 1948 pemerintah menerima kabar bahwa Konsul Jenderal Inggris pada tanggal 19 Desember 1948 akan datang ke Yogyakarta, dengan dalih mencari jalan mengatasi ketegangan yang timbul dalam perundingan Kaliurang.[11]


A.H. Nasution dalam tulisannya mengatakan,
.. saya nyatakan di depan para perwira Divisi 1, waktu berkunjung ke Jawa Timur pada tanggal 17 Desember 1948, sebagai berikut :
“…Bahwa musuh akan menyerang lagi sudah pasti bagi perhitungan kita. Yang belum pasti hanya saatnya. Mungkin sebelum membentuk interimnya, mungkin sesudahnya. Tapi Republik sekarang harus ia hapuskan, karena Republik tidak mungkin menaati kemauannya…”[12]

Di tanggal yang sama, Belanda mengirimkan nota kepada pemerintah RI dengan nada ultimatif, yakni RI diberi waktu 24 jam untuk menerimanya. Malam berikutnya, yakni pada tanggal 18 Desember 1948, pada pukul 23.30 WIB, Belanda mendarat di pantai utara, tak jauh dari daerah Glondong. Asumi Nasution, mendaratnya Belanda di pantai utara adalah untuk bergerak cepat ke Cepu untuk mencegah dilaksanakannya bumihangus terhadap perusahaan minyak. Belanda lalu terus bergerak memasuki Malang Selatan, kemudian Kepanjen, dan 19 Desember 1948 paginya, Belanda menyerang lapangan udara Maguwo di Yogyakarta. Pada saat yang bersamaan, lapangan udara Maospati diserang dari udara, begitupun dengan jalanan Solo-Yogyakarta yang terputus akibat serangan yang bertubi-tubi. Pasukan Belanda yang menduduki kota Yogyakarta tiba di lapangan terbang Maguwo dengan menurunkan pasukan-pasukan payung. Pesawat-pesawat perang Belanda beterbangan di langit Yogyakarta, dan seluruh elemen masyarakat Yogyakarta, seperti halnya Agresi Militer Belanda 1, tidak berada pada posisi siaga. Nampak  bahwa serangan Belanda yang tiba-tiba ke ibukota negara bertujuan untuk meniadakan Republik, pimpinan negara, dan tentara.[13]
Agresi militer Belanda ini memang telah diperhitungkan oleh Indonesia, terutama sejak awal Desember, ketika intel TNI melaporkan tentang adanya persiapan pihak Belanda akan melakukan serangan kembali. Dewan Siasat Militer yang dibentuk dalam rangka reorganisasi dan rasionalisasi Militer guna menciptakan satu komando dalam bidang pertahanan pun telah merundingkan kemungkinan serangan tersebut. Keputusan-keputusan yang diambil dalam perundingan-perundingan tersebut berkait dengan pemindahan pusat pemerintahan. Pimpinan negara untuk menjalankan roda pemerintahan ditetapkan di suatu tempat di Sumatera, sedang untuk kegiatan di bidang luar negeri ditetapkan di India. Orang-orang di pemerintah pusat akan turut bergerilya di Jawa.[14]
Mr. Syafrudin Prawiranegara, Menteri Kemakmuran, yang tengah berada di Sumatera, kemudian diberi kuasa oleh Presiden RI untuk mendirikan Pemerintah Darurat RI, jika Pemerintah pusat tidak dapat menjalankan fungsi pemerintahan kembali. Perintah tersebut juga diberikan kepada Mr. Maramis, Menteri Keuangan yang sedang berada di luar negeri dan Drs. Sudarsono di New Delhi untuk membentuk Gouverment in exile di New Delhi jika usaha Mr. Syafrudin Prawiranegara gagal.[15] 138.
MANDAT PRESIDEN KEPADA MR. SYAFRUDIN PRAWIRANEGARA
Kami Presiden Republik Indonesia memberitakan, bahwa pada hari Minggu tanggal 19-12-1948 jam 6 pagi Belanda telah mulai serangannya atas Ibukota Yogykarta.
Jika dalam keadaan Pemerintah tidak dapat menjalankan kewajibannya lagi, kami mengusahakan kepada M. Syafrudin Prawiranegara, Menteri Kemakmuran Republik Indonesia untuk membentuk Pemerintahan Republi Darurat di Sumatera.
Ygyakarta, 19 Desember 1948
Presiden dan Wakil Presiden
Pro : Dr. Sudarsono - Palar - Mr. Maramis, New Delhi
Kami Presiden Republik Indonesia memberitakan bahwa pada hari Minggu tanggal 19-12-1948, jam 6 pagi Belanda telah mulai serangannya atas ibukota Yogyakarta. Jika ikhtiar Syafruddin Prawiranegara untuk membentuk Pemerintah Darurat di Sumatera tidak berhasil, kepada saudara-saudara dikuasakan untuk membentuk exile gouverment Republik Indonesia di India.
Harap dalam hal ini berhubungan dengan Syafruddin di Sumatera.
Jika hubungan tidak mungkin, harap diambil tindakan-tindakan seperlunya.
Yogyakarta, 19 Desember 1948
Wapres Hatta, Menlu Agus Salim.[16]


Pasukan gerilyawan dipimpin oleh Jenderal Soedirman, setelah Jendral Soedirman tidak memperoleh kepastian dari pemerintah mengenai kepusan-keputusan yang telah diambil dalam perundingan bersama Dewan Siasat Militer. Jendral Soedirman menolak mengikuti sidang bersama jajaran pejabat pemerintah, yang kemudian menghasilkan keputusan diserahkannya mandat kepada Mr. Sjafruddin Prawiranegara untuk memimpin Pemerintah Darurat Republik Indonesia (PDRI) di Sumatera dan Mr. A.A. Maramis di New Delhi, India. 20 Desember 1948, Belanda menahan tokoh-tokoh RI seperti Presiden Soekarno, Wakil Presiden Moh. Hatta, Letua BP-KNIP Mr. Assaat, Menteri Luar Negeri H. Agus Salim, Sutan Sjahrir, Ali Sastroamidjojo, Komodor Surjadarma; mereka semua diasingkan ke luar Jawa.[17] Pasukan-pasukan republik mengundurkan diri ke luar kota-kota dan memulai perang gerilya secara besar-besaran di kedua belah garis van Mook. Hingga akhir bulan Desember, seluruh kota besar di Jawa dan Sumatera telah jatuh ke tangan Belanda. Satu-satunya wilayah besar yang tetap berada di bawah kekuasaan Republik adalah Aceh, dimana Daud Beureu’eh memegang pimpinan. Belanda masih merasa akan lebih bijaksana jika tidak mengutik-utik Aceh.[18] Sementara itu, strategi perang gerilya Jendral Soedirman antara lain:
1.      Komando Daerah Pertahanan Jawa di bawah Kolonel Abdul Haris Nasution sebagai Panglima Tentara Territorium Djawa (PTTD) dengan markasnya di Yogyakarta, yang disebut sebagai Markas Besar Komando Djawa (MBKD).
2.      Komando Daerah Pertahanan Sumatera di bawah Kolonel Hidayat sebagai panglima Tentara dan Territorium Sumatera (PTTS) dengan markasnya MBKS.[19]
PTTD Kolonel Nasution kemudian mengeluarkan Maklumat No.2/MBKD pada tanggal 22 Desember 1948 atas pertimbangan tertawannya pemimpin-pemimpin RI dan untuk pengisian kevakuman pemerintah sipil. Maklumat tersebut sekaligus memberlakukan pemerintahan militer untuk seluruh Jawa, dengan sistem pemerintahan gerilya yang bersifat total, yakni dengan menggunakan sistem “pertahanan-keamanan rakyat semesta” (Hankam Rata).[20]


[1] Himawan Soetanto, Yogyakarta : Jendral Spoor (Operasi Kraai) Versus Jendral Sudirman (Perintah Siasat No.1), (Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama, 2006), hlm. 236.
[2] A.H. Nasution, Sekitar Perang Kemerdekaan Indonesia Jilid 8, (Bandung: Penerbit Angkasa, 1979), hlm. 168.
[3] Himawan Soetanto, loc.cit.
[4] ibid., hlm. 239.
[5] Himawan Soetanto, op.cit., hlm. 244.
[6] Marwati Djoened, Nugroho Notosusanto, Sejarah Nasional Indonesia Jilid VI, (Jakarta: Balai Pustaka, 1993), hlm. 157.
[7] Marwati Djoened, Nugroho Notosusanto, loc.cit.
[8] Himawan Soetanto, op.cit., hlm. 251.
[9] Marwati Djoened, Nugroho Notosusanto, op.cit., hlm. 158.
[10] Tashadi, dkk., Sejarah Revolusi Kemerdekaan (1945-1949) di Daerah Istimewa Yogyakarta, (Jakarta : Depdikbud Direktorat Sejarah dan Nilai Tradisional Proyek Inventarisasi dan Dokumentasi Sejarah Nasional, 1991), hlm. 136.
[11] ibid., hlm. 138.
[12] A.H. Nasution, op.cit., hlm. 168.
[13] ibid., hlm. 176.
[14] Yahya A. Muhaimin, Perkembangan Militer Dalam Politik di Indonesia 1945-1966, (Yogyakarta: Gadjah Mada University Press, 1982), hlm. 56.
[15] Tashadi, dkk., op.cit., hlm. 138.
[16] ibid., hlm. 139.
[17] Yahya A. Muhaimin, op.cit., hlm. 57.
[18] MC. Ricklefs, Sejarah Indonesia Modern (Yogyakarta: Gadjah Mada University Press, 2005), hlm. 347.
[19] ibid., hlm. 58.
[20] Yahya A. Muhaimin, op.cit., hlm. 58.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar