B. Kronologi Aksi Agresi
Militer Belanda II
Perundingan diplomatik antara
Indonesia-Belanda sejak Juni 1948 menemui jalan buntu. Ketua Komisi Tiga Negara
yang dibentuk oleh PBB Merle Cochran (Amerika) pada tanggal 10 September 1948,
tanpa mengadakan pembicaraan terlebih dahulu dengan delegasi Belanda,
mengusulkan pada kedua pihak suatu rencana lanjutan perundingan diplomatik.
Cochran pada waktu itu mengambil sikap pro Republik dengan harapan mendukung
pemerintah Hatta yang menghadapi ancaman komunisme yang cukup besar. Pada
realitanya, pemberontakan PKI di Madiun dapat ditumpas dengan kekuatan TNI
dalam kurun waktu September-Oktober 1948. Kecepatan TNI dalam menumpas pemberontakan
PKI menyebabkan Belanda mengurungkan Operasi Pelikaan, sebagai percepatan
Rencana Operasi Kraai yang bertujuan
untuk menumpas kekuatan komunis dan menuntaskan penguasaan atas wilayah
RI yang masih tersisa di Jawa.[1]
Benarlah bahwa tahun 1948 merupakan tahun yang sulit bagi pemerintah dan rakyat
Indonesia. Hal ini disebabkan penumpasan pemberontakan PKI Madiun secara
menyeluruh yang tidak dapat diselesaikan dalam waktu dua bulan, terhitung
semenjak meletusnya pemberontakan pada 18 September 1948. Pasukan-pasukan TNI
dari Divisi 1 tengah diorganisasi, demikian pula dengan Divisi II yang musti
disusun kembali setelah peristiwa Solo. Begitupun dengan 25% tentara-tentara
yang terlibat dalam pemberontakan PKI, yang harus diisi kembali, sehingga
membutuhkan banyak waktu untuk reorganisasi TNI. Akan tetapi di balik persiapan
Republik untuk mengokohkan pertahanannya kembali, ancaman penyerangan yang
dilakukan Belanda nampak dapat muncul sewaktu-waktu di saat kekuatan NKRI
terpecah dan tersebar.[2]
Pada akhir September 1948, jajaran
pemerintah Belanda kembali mempertimbangkan upaya perundingan diplomatik. Titik
tolak pendirian Belanda dalam perundingan adalah :
1.
TNI harus dibubarkan, dilebur dalam tentara federal
yang akan dibentuk, dan hanya melaksanakan tugas-tugas kepolisian.
2.
Republik Indonesia harus setuju bahwa bekas wilayahnya
dipecah-pecah menjadi negara-negara bagian kecil, tidak punya alat kekuasaan
sendiri, dan berada di bawah kekuasaan Federale
Interim Regering (Pemerintah Federal Sementara) yang berada di bawah
supervisi Hogere Vertegenwoordiger van de
Kroon (Wakil Tinggi Mahkota). Dengan kata lain, Republik Indonesia
diharapkan mau menghapus keberadaannya sebagai staatkundige organisatie (organisasi kenegaraan) dengan sukarela.[3]
Awal Oktober 1948, rencana Operasi
Kraai yang dirancang oleh Staf Umum Belanda sejak Januari 1948 dikaji ulang
untuk mempersiapkan Angkatan Perang Belanda apabila harus melancarkan agresi
militer terhadap RI pada akhir Oktober. Pada pertengahan Oktober, perencanaan
yang dituangkan dalam Operationale
Directieven Kraai (Arahan Operasi Kraai) yang diperbarui telah rampung dan
dilaporkan kepada Legercommandant (Panglima
Tentara) Jenderal Spoor. Dari pengalaman pada Agresi Militer Belanda I, Belanda
menyadari bahwa pendudukan daerah bukanlah hal yang penting, melainkan
penghancuran kekuatan bersenjata lawanlah yang harus diutamakan sebagai syarat
utama untuk melakukan pembangunan politik dan ekonomi yang diinginkan.
Operasi-operasi kontragerilya yang dilancarkan menghadapi berbagai kesulitan
dan hambatan besar, sehingga momentum ofensif yang berhasil dicapai pada awal
operasi militernya harus dikorbankan. Dalam Operasi Kraai tersebut, pendudukan
Jawa dan Sumatera bukan lagi sasaran utama, melainkan sasaran sekunder untuk
melenyapkan pemerintah Republik Indonesia dan menghancurkan Angkatan Perangnya.[4]
22 Oktober 1948, RI mengirimkan
jawaban kepada pemerintah Belanda atas surat diplomatik yang disampaikan
Cochran tertanggal 4 Oktober 1948. Van Mook menanggapi jawaban RI secara
negatif. van Mook menyatakan bahwa RI tidak bersungguh-sungguh untuk memenuhi preabele bestandsvoorwaarden (persyaratan
gencatan senjata yang harus diutamakan), suatu kriteria yang diusulkan Belanda
untuk bertemu kembali di meja perundingan. Problem yang dihadapi Belanda
semakin menumpuk, antara lain situasi militer yang terus memburuk (perang
gerilya RI yang semakin sengit di daerah-daerah pendudukan), pasukan-pasukan
Belanda yang harus segera didemobilisasi, dan janji untuk melantik dan
mengaktifkan Pemerintah Sementara Federal sebelum 1 Januari 1949. Van Mook
menambahkan bahwa penggunaan kekuatan militer dengan segera untuk memecahkan
masalah itu tidak dapat dihindarkan (onvermijdelijk),
dan menekankan bila operasi militer telah dilancarkan, usaha pertama harus
diarahkan untuk merebut dan menduduki pusat Republik Indonesia di Yogyakarta.[5]
PM Hatta, tanpa melalui KTN,
mengadakan pendekatan politik baru dengan Van Mook. Kedua belah pihak
mengadakan perundingan langsung dengan KTN sebagai saksi. Pada tanggal 27
November 1948, delegasi Belanda datang ke Indonesia, yang terdiri atas Menteri
Seberang Lautan Mr. E. M. J. A. Sassen, Menteri Luar Negeri D. U. Stikker, dan
Wakil Pemerintah Agung Belanda L. Neher.[6]
8 Desember 1948 diselenggarakan sidang kabinet lengkap Belanda guna melaporkan
hasil perundingan dengan pihak RI. Pada 9 Desember 1948, sidang kabinet
berikutnya, diputuskanlah untuk melancarkan Agresi Militer, karena secara bulat
para menteri berpendapat bahwa perundingan politik dengan RI sudah tidak
bermanfaat lagi. Perundingan dilangsungkan di Kaliurang antara PM Hatta dan
delegasi Belanda secara langsung tanpa pengawasan KTN. Setelah gagalnya
perundingan pada tanggal 9 Desember 1948, pemerintah RI mengirimkan nota kepada
KTN mengenai pendirian RI :
1.
Pemerintah RI telah mengalah sedapat-dapatnya untuk
mendekati pendirian Belanda.
2.
Petunjuk yang diberikan kepada Menteri Belanda terbatas
pada penjajagan apakah pada dasarnya RI menerima baik syarat-syarat yang
diajukan Belanda, sehingga tidak merupakan usaha yang sungguh-sungguh untuk
mencapai perdamaian lewat perundingan.
Pemerintah Belanda terbukti pada
tahun 1948 akan membentuk pemerintah interim tanpa RI, tanpa perundingan dengan
RI di bawah pengawasan KTN terlebih dahulu.[7]
Atas desakan para menteri yang
berasal dari Partai Buruh, keputusan untuk melancarkan operasi militer
disarankan untuk diundur empat hari, tanggal 13 Desember 1948. Pertimbangan
yang diajukan adalah perlu waktu untuk
menjelaskan pada Amerika Serikat dan KTN mengenai sikap RI yang dianggap
sukar diajak berdamai. Sebelumnya, pada 7 Desember 1948, Amerika Serikat telah
mengancam akan menghentikan bantuan Marshall kepada Belanda, bila Belanda
menyerang Republik Indonesia.[8]
11 Desember 1948, KTN juga
menerima nota dari pemerintah Belanda, yang isinya:
1.
Dalam perundingan di kaliurang terbukti RI tidak
mempunyai kekuasaan yang nyata terhadap tentaranya, karena itu tidak dapat
diharapkan kerjasama yang sungguh-sungguh untuk mencegah pelanggaran
persetujuan gencatan senjata.
2.
Pendirian RI mengenai Wakil Tinggi mahkota, terutama
mengenai kekuasaan terhadap tentara di masa peralihan, bertentangan dengan
kedaulatan belanda sebagaimana yang ditetapkan dalam bagian pertama pokok-pokok
azasi Persetujuan Renville, yang berarti berlangsungnya suatu keadaan yang tak
dapat dipertahankan, di mana ada dua tentara saling berhadap-hadapan.
3.
Penolakan mengakui kedaulatan belanda selama masa
peralihan menyebabkan tidak ada harganya RI menerima naskah persetujuan yang
direncanakan oleh KTN dan Amerika Serikat pada tanggal 10 September sebagai
dasar perundingan.
4.
Pemerintah Belanda harus bertindak melaksanakan
keputusan mengenai pembentukan pemerintahan inetrim yang direncanakan atas
dasar persetujuan wakil-wakil daerah federal.
Sebagai penutup dari nota tersebut
Pemerintah Belanda menyatakan bahwa perundingan di bawah KTN tidak berfaedah,
karena pada hakekatnya RI tidak mau mengakui adanya perjanjian gencatan senjata
dan Persetujuan Renville.[9]
Terhadap konsepsi Belanda yang
merugikan itu Republik bersikap menolak dengan tegas. Karena itu pada 11
Desember 1948 Delegasi Belanda yang dipimpin oleh R. Abdul Kadir Wijoyoatmojo
mengatakan tidak dapat melanjutkan perundingan. Itu berarti bawha Persetujuan
Renville mencapai kegagalan. Setelah perundingan mengalami kegagalan, Belanda
mengiimkan sebuah misi yang diketuai oleh Stikker dengan maksud agar pertikaian
antara Indonesia dan Belanda tak diselesaikan melalui delegasi tetapi dengan
perteuan langsung antara pemerintah Belanda dengan pemerintah Republik. Ini
berarti bahwa UNCI yang selama itu selalu bertindak sebagai orang ketiga di
dalam perundingan antara kedua belah pihak dikesampingkan. Maka kemudian
berlangsunglah perundingan di Kaliurang, Yogyakarta. Indonesia diwakili oleh
Wakil Presiden Mohammad Hatta. Seperti perundingan sebelumnya ternyata
perundingan antara dua pemerintah ini tidak membawa hasil seperti yang
diharapkan pihak Belanda. Keesokan harinya Hatta mengunjungi Menteri Stikker,
menyatakan bahwa Republik menolak konsepsi Belanda. [10]
Pada 17 Desember 1948 Belanda
menyampaikan nota yang bersifat ultimatif kepada Republik yang menyatakan bahwa
dalam waktu 24 jam Republik harus sudah memberi jawaban. Tentu pihak Republik
tidak dapat memakai kesempatan yang diberikan mengingat waktu yang terlalu
singkat guna melakukan perundingan dengan BP KNIP dan perangkat negara lainnya.
Pada18 Desember 1948 pemerintah menerima kabar bahwa Konsul Jenderal Inggris
pada tanggal 19 Desember 1948 akan datang ke Yogyakarta, dengan dalih mencari
jalan mengatasi ketegangan yang timbul dalam perundingan Kaliurang.[11]
A.H. Nasution dalam tulisannya
mengatakan,
.. saya
nyatakan di depan para perwira Divisi 1, waktu berkunjung ke Jawa Timur pada
tanggal 17 Desember 1948, sebagai berikut :
“…Bahwa
musuh akan menyerang lagi sudah pasti bagi perhitungan kita. Yang belum pasti
hanya saatnya. Mungkin sebelum membentuk interimnya, mungkin sesudahnya. Tapi
Republik sekarang harus ia hapuskan, karena Republik tidak mungkin menaati
kemauannya…”[12]
Di tanggal yang sama, Belanda
mengirimkan nota kepada pemerintah RI dengan nada ultimatif, yakni RI diberi
waktu 24 jam untuk menerimanya. Malam berikutnya, yakni pada tanggal 18
Desember 1948, pada pukul 23.30 WIB, Belanda mendarat di pantai utara, tak jauh
dari daerah Glondong. Asumi Nasution, mendaratnya Belanda di pantai utara
adalah untuk bergerak cepat ke Cepu untuk mencegah dilaksanakannya bumihangus
terhadap perusahaan minyak. Belanda lalu terus bergerak memasuki Malang
Selatan, kemudian Kepanjen, dan 19 Desember 1948 paginya, Belanda menyerang
lapangan udara Maguwo di Yogyakarta. Pada saat yang bersamaan, lapangan udara
Maospati diserang dari udara, begitupun dengan jalanan Solo-Yogyakarta yang
terputus akibat serangan yang bertubi-tubi. Pasukan Belanda yang menduduki kota
Yogyakarta tiba di lapangan terbang Maguwo dengan menurunkan pasukan-pasukan
payung. Pesawat-pesawat perang Belanda beterbangan di langit Yogyakarta, dan
seluruh elemen masyarakat Yogyakarta, seperti halnya Agresi Militer Belanda 1,
tidak berada pada posisi siaga. Nampak
bahwa serangan Belanda yang tiba-tiba ke ibukota negara bertujuan untuk
meniadakan Republik, pimpinan negara, dan tentara.[13]
Agresi militer Belanda ini memang
telah diperhitungkan oleh Indonesia, terutama sejak awal Desember, ketika intel
TNI melaporkan tentang adanya persiapan pihak Belanda akan melakukan serangan
kembali. Dewan Siasat Militer yang dibentuk dalam rangka reorganisasi dan
rasionalisasi Militer guna menciptakan satu komando dalam bidang pertahanan pun
telah merundingkan kemungkinan serangan tersebut. Keputusan-keputusan yang
diambil dalam perundingan-perundingan tersebut berkait dengan pemindahan pusat
pemerintahan. Pimpinan negara untuk menjalankan roda pemerintahan ditetapkan di
suatu tempat di Sumatera, sedang untuk kegiatan di bidang luar negeri
ditetapkan di India. Orang-orang di pemerintah pusat akan turut bergerilya di
Jawa.[14]
Mr. Syafrudin Prawiranegara,
Menteri Kemakmuran, yang tengah berada di Sumatera, kemudian diberi kuasa oleh
Presiden RI untuk mendirikan Pemerintah Darurat RI, jika Pemerintah pusat tidak
dapat menjalankan fungsi pemerintahan kembali. Perintah tersebut juga diberikan
kepada Mr. Maramis, Menteri Keuangan yang sedang berada di luar negeri dan Drs.
Sudarsono di New Delhi untuk membentuk Gouverment
in exile di New Delhi jika usaha Mr. Syafrudin Prawiranegara gagal.[15]
138.
MANDAT
PRESIDEN KEPADA MR. SYAFRUDIN PRAWIRANEGARA
Kami
Presiden Republik Indonesia memberitakan, bahwa pada hari Minggu tanggal
19-12-1948 jam 6 pagi Belanda telah mulai serangannya atas Ibukota Yogykarta.
Jika
dalam keadaan Pemerintah tidak dapat menjalankan kewajibannya lagi, kami
mengusahakan kepada M. Syafrudin Prawiranegara, Menteri Kemakmuran Republik
Indonesia untuk membentuk Pemerintahan Republi Darurat di Sumatera.
Ygyakarta,
19 Desember 1948
Presiden
dan Wakil Presiden
Pro : Dr. Sudarsono - Palar - Mr.
Maramis, New Delhi
Kami
Presiden Republik Indonesia memberitakan bahwa pada hari Minggu tanggal
19-12-1948, jam 6 pagi Belanda telah mulai serangannya atas ibukota Yogyakarta.
Jika ikhtiar Syafruddin Prawiranegara untuk membentuk Pemerintah Darurat di
Sumatera tidak berhasil, kepada saudara-saudara dikuasakan untuk membentuk
exile gouverment Republik Indonesia di India.
Harap
dalam hal ini berhubungan dengan Syafruddin di Sumatera.
Jika
hubungan tidak mungkin, harap diambil tindakan-tindakan seperlunya.
Yogyakarta, 19 Desember 1948
Wapres Hatta, Menlu Agus Salim.[16]
Pasukan
gerilyawan dipimpin oleh Jenderal Soedirman, setelah Jendral Soedirman tidak
memperoleh kepastian dari pemerintah mengenai kepusan-keputusan yang telah
diambil dalam perundingan bersama Dewan Siasat Militer. Jendral Soedirman
menolak mengikuti sidang bersama jajaran pejabat pemerintah, yang kemudian
menghasilkan keputusan diserahkannya mandat kepada Mr. Sjafruddin Prawiranegara
untuk memimpin Pemerintah Darurat Republik Indonesia (PDRI) di Sumatera dan Mr.
A.A. Maramis di New Delhi, India. 20 Desember 1948, Belanda menahan tokoh-tokoh
RI seperti Presiden Soekarno, Wakil Presiden Moh. Hatta, Letua BP-KNIP Mr.
Assaat, Menteri Luar Negeri H. Agus Salim, Sutan Sjahrir, Ali Sastroamidjojo,
Komodor Surjadarma; mereka semua diasingkan ke luar Jawa.[17]
Pasukan-pasukan republik mengundurkan diri ke luar kota-kota dan memulai perang
gerilya secara besar-besaran di kedua belah garis van Mook. Hingga akhir bulan
Desember, seluruh kota besar di Jawa dan Sumatera telah jatuh ke tangan
Belanda. Satu-satunya wilayah besar yang tetap berada di bawah kekuasaan
Republik adalah Aceh, dimana Daud Beureu’eh memegang pimpinan. Belanda masih
merasa akan lebih bijaksana jika tidak mengutik-utik Aceh.[18]
Sementara itu, strategi perang gerilya Jendral Soedirman antara lain:
1.
Komando Daerah Pertahanan Jawa di bawah Kolonel Abdul
Haris Nasution sebagai Panglima Tentara Territorium Djawa (PTTD) dengan
markasnya di Yogyakarta, yang disebut sebagai Markas Besar Komando Djawa
(MBKD).
2.
Komando Daerah Pertahanan Sumatera di bawah Kolonel
Hidayat sebagai panglima Tentara dan Territorium Sumatera (PTTS) dengan
markasnya MBKS.[19]
PTTD Kolonel Nasution kemudian mengeluarkan Maklumat No.2/MBKD pada
tanggal 22 Desember 1948 atas pertimbangan tertawannya pemimpin-pemimpin RI dan
untuk pengisian kevakuman pemerintah sipil. Maklumat tersebut sekaligus
memberlakukan pemerintahan militer untuk seluruh Jawa, dengan sistem
pemerintahan gerilya yang bersifat total, yakni dengan menggunakan sistem
“pertahanan-keamanan rakyat semesta” (Hankam Rata).[20]
[1] Himawan Soetanto, Yogyakarta : Jendral
Spoor (Operasi Kraai) Versus Jendral Sudirman (Perintah Siasat No.1),
(Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama, 2006), hlm. 236.
[2] A.H. Nasution, Sekitar
Perang Kemerdekaan Indonesia Jilid 8, (Bandung: Penerbit Angkasa,
1979), hlm. 168.
[6] Marwati
Djoened, Nugroho Notosusanto, Sejarah Nasional Indonesia Jilid VI, (Jakarta: Balai Pustaka,
1993), hlm. 157.
[10] Tashadi, dkk., Sejarah Revolusi Kemerdekaan (1945-1949) di
Daerah Istimewa Yogyakarta, (Jakarta : Depdikbud
Direktorat Sejarah dan Nilai Tradisional Proyek Inventarisasi dan Dokumentasi
Sejarah Nasional, 1991), hlm. 136.
[14] Yahya A. Muhaimin, Perkembangan Militer Dalam Politik di
Indonesia 1945-1966, (Yogyakarta: Gadjah Mada University Press, 1982),
hlm. 56.
[18] MC. Ricklefs, Sejarah Indonesia Modern (Yogyakarta: Gadjah Mada
University Press, 2005), hlm. 347.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar