Disusun Oleh :
FADHIL NUGROHO ADI
13030110130054
Jurusan Ilmu Sejarah
Fakultas Ilmu Budaya
Universitas Diponegoro Semarang
2012
2012
B
|
erbicara
tentang perang tidaklah semata-mata membicarakan konflik kekerasan bersenjata
antarnegara, tetapi juga intranegara. Jika dilihat dalam sejarah, maka,
kemampuan saling membunuh pada manusia ternyata berhasil ditingkatkan, akan
tetapi usaha untuk mmelihara ketenteraman dan perdamaian selalu mengalami
kegagalan. Hal ini dengan begitu mudah dapat kita cemati dalam serangkaian
perang penjajahan dalam proses bangsa-bangsa Eropa Barat merebut wilayah dan
menjajah bangsa-bangsa lain di seluruh dunia: seluruh Amerika, seluruh Afrika,
Asia, Autralia, Selandia Baru; munculnya militerisme Jerman dan berbagai
peperangan yang dicetuskannya di Eropa; Perang Krimea; Perang Perancis-Prusia,
Perang Jepang-Cina, Perang Jepang-Rusia, Perang Boer di Afrika Selatan, Perang
Dunia I, Perang Dunia II, serangkaian Perang Arab-Israel, Perang Korea, Perang
Vietnam, serangkaian Perang India-Pakistan, Perang India-RRC, Perang Kamboja
dan ratusan perang serta kekerasan bersenjata lainnya di semua penjuru dunia,
termasuk di tanah air kita sendiri. Selama tahun 1945 (seusai Perang Dunia II)
sampai tahun 1983 saja, tercatat penggunaan kekuatan milter oleh 66 negara
merdeka atau “dependent territories”
dalam 105 peperangan yang menelan 16 juta korban (Sivard, 1983: 211 dalam A.
Hasnan Habib, 1994: 4). Dari serangkaian peperangan tersebut sesungguhnya
mengerucut pada dua macam situasi yang mengkibatkan kekerasan menjadi pilihan.
Situasi tersebut antara lain tidak adanya alternatif lain untuk mempertahankan
diri terhadap serangan yang mengancam jiwa atau keselamatan diri sendiri -pada
tingkat hubungan internasional masih berlangsung untuk mempertahankan
integritas wilayah nasional dan kelangsungan hidupnya-; dan situasi dimana
kekerasan merupakan cara yang paling menguntungkan. Artinya bahwa, melalui
proses analisis “cost-benefit”,
kekerasan merupakan cara terunggul dari beberapa kemungkinan yang ada dan
terjadi dalam keadaan kurang atau tidak adanya ketentuan atau prosedur
penyelesaian sengketa, kurang tersedianya sarana mencegah kekerasan agresif
atau kurang adanya rasa kebersamaan (sense
of community) (Habib, A. Hasnan, 1994: 8).
Suatu pendapat menyatakan bahwa
perang adalah sesuatu yang normal dan -justru- juga ada baiknya. Mengapa?
Inilah tampaknya sisi positif dari perang itu sendiri, yakni membuat manusia
mengakui bahwa perdamaian bukanlah sesuatu yang terberi begitu saja. Perdamaian
harus diusahakan, dan dipelihara kelestariannya (Budiman, Arief, 1994: 33).
Akan tetapi pendapat ini memunculkan pertanyaan yang lebih dalam lagi, mengapa
manusia masih terus berperang? Dan, apakah ini menjadi kodrat manusia untuk
saling menghancurkan?
Jika
dilihat dari anggapan Sigmund Freud, ternyata memang demikianlah adanya.
Baginya, manusia di samping memiliki insting untuk hidup, juga memiliki insting
untuk mati, alias menghancurkan hidupnya (Budiman, Arief, 1994: 33). Teori lain
tentang perang dapat diambil dari teori tentang terjadinya imperialisme.
Imperialisme sendiri dapat dijelaskan dengan tiga kelompok teori, yakni
kelompok teori God, Glory dan Gold. Kelompok teori God atau Tuhan merupakan
teori yang mengatakan bahwa imperialisme didasarkan pada misi agama untuk
menyelamatkan orang-orang yang dianggap masih biadab atau dalam kata lain, imperialisme
sebagai misi penyebaran agama. Sementara kelompok teori Glory atau Kebanggaan
menyatakan bahwa imperialisme adalah hasil dari dorongan untuk menunjukkan
keperkasaan, dan kelompok teori Gold atau Emas merupakan teori yang mengatakan
bahwa imperialisme yang disebabkan oleh dorongan ekonomi, yakni untuk mencari
emas seperti halnya orang-orang Spanyol dan Portugis yang berlayar ke benua
Amerika, orang Belanda ke Indonesia, atau orang Inggris ke India dengan tujuan
untuk mendapatkan keuntungan ekonomi (Budiman, Arief, 1994: 34-35).
Mari
kita coba meninjau kondisi di Indonesia, dimana tentara ternyata berfungsi
sebagai kekuatan politik pada periode 1945-1965. Meskipun tentara Indonesia
tidak pernah membatasi dirinya hanya sebagai kekuatan militer, namun dalam masa
revolusi antara tahun 1945 hingga 1949 tentara terlibat dalam perjuangan kemerdekaan
dimana tindakan politik dan militer saling menjalin tak terpisahkan. Segera
setelah peralihan kekuasaan di akhir tahun 1945, secara resmi tentara menerima
azas keunggulan kekuasaan sipil. Para perwira menganggap bahwa peranan tentara
memang diperlukan di bidang politik, tetapi tidak pernah muncul sebagai
kekuatan politik yang utama (Crouch, Harold, 1999: 21). Dilihat dari
kepentingan-kepentingan ektsramiliter, tentara Indonesia dalam arti tertentu
adalah “tentara rakyat”. Pandangan politik tentara mencerminkan akar-akar
budaya asal perwira, begitupun dengan perspektif-perspektif politik dan sosial
korps perwira juga dipengaruhi oleh latar belakang sosial mereka sekalipun
beberapa perwira merupakan kalangan bangsawan dan sebagian kecil yang memasuki
lembaga-lembaga pendidikan setaraf universitas dan ada juga dari kalangan yang
lebih rendah. Tentara juga berperan dalam kegiatan ekonomi yang pada akhirnya
membuka kesempatan-kesempatan bagi mereka untuk memetik keuntungan pribadi. Apa
akibatnya? Beberapa perwira angkatan darat menghendaki agar keadaan darurat
perang terus diberlakukan (Crouch, Harold, 1999: 35-37).
Selanjutnya
coba kita bandingkan peran militer yang ada dalam politik Muang Thai dengan
peran tentara bayaran invasi militer Amerika Serikat. Di Muang Thai, elit-elit
militer, yang seringkali merupakan elit yang berkuasa, tidak berminat untuk
memperluas partisipasi politik. Apa alasannya? Mereka beralasan bahwa
orang-orang Thai belum siap untuk ambil bagian dalam politik, belum tahu cara
menggunakan hak-hak mereka sebagaimana mestinya, dan dengan demikian dapat
dengan mudah ditunggangi oleh kaum politiasi terpilah dan yang sedang bersaing,
yang tentu hanya memikirkan kepentingan pribadi mereka sendiri (Bunbonkarn,
Suchit, 1990:4). Di samping itu kekekalan dominasi Angkatan Darat dalam politik
di Muang Thai disebabkan oleh tidak adanya kesadaran politik di kalangan massa
dan rendahnya tingkat partisipasi rakyat dalam proses politik seperti yang
tercermin dalam sedikitnya pemilih yang menggunakan hak pilihnya dalam setiap
pemilihan umum sejak 1933 (Bunbonkarn, Suchit, 1990:5). Hal ini ternyata
berlangsung hingga 1977, dimana sebuah analisa menunjukkan bahwa tingkat,
bentuk, dan landasan partisipasi politik pada umumnya ditentukan oleh
kepentingan elit-elit militer. Para elit militer tidak menginginkan partisipasi
politik yang luas. Mereka tidak menghendaki itu. Mereka hanya menginginkan
penghapusan partisipasi politik atau suatu partisipasi terbatas yang hanya
memungkinkan beberapa kelompok pilihan untuk memasuki gelanggang politik di
bawah pengawasan mereka (Bunbonkarn, Suchit, 1990:10). Tidak mengherankan jika
sejak pemilihan umum tahun 1979 konflik antara golongan militer dan berbagai
elit politik yang dipilih mengalami beberapa perubahan (Bunbonkarn, Suchit,
1990: 11). Kondisi inilah yang melatarbelakangi terbitnya Instruksi NO. 66/2523
-diumumkan pada 1980- dan memberikan suatu alasan pembenaran baru bagi
keterlibatan pimpinan militer Thai dalam politik sehingga mendorong mereka
untuk mengalahkan komunisme (Bunbonkarn, Suchit, 1990: 133).
Militerisme
politik yang terjadi di Muang Thai tadi akan tampak sangat berbeda dengan apa
yang terjadi dalam keterlibatan tentara bayaran dalam invasi militer Amerika
Serikat ke kota-kota di Irak. Kemunculan
konsep “tentara bayaran” ini muncul seminggu setelah berakhirnya masa
kepemimpinan Donald Rumsfeld di Pentagon. Kondisi ini menyebabkan pasukan AS
merasa sangat terperas oleh perang melawan teror sehingga Menteri Dalam Negeri
Jenderal Colin Powell pun ikut angkat suara mengenai hal ini. Pemerintah Bush
dan Pentagon kemudian membicarakan betapa pentingnya penambahan kekuatan
militer (Scahill, Jeremy, 2010: 24). Pimpinan Blackwater, Erik Prince, inilah
yang menggagas ide “brigade tentara bayaran” untuk kelengkapan militer
konvensional AS (Scahill, Jeremy, 2010: 25). Blackwater sendiri merupakan
organisasi pasukan swasta yang bertugas untuk operasi-operasi agen-agen
intelijen AS atau korporasi-korporasi atau individu-individu swasta dan
pemerintah asing (Scahil, Jeremy, 2010: 19). Blackwater diposisikan Erik Prince
sebagai perpanjangan tangan patriotisme militer AS, dan pada September 2005, ia
mengeluarkan memorandum sekaligus instruksi kepada seluruh pegawai dan para
tentara bayarannya untuk mendukung dan membela Konstitusi Amerika Serikat dalam
melawan semua musuh, asing maupun lokal (Scahill, Jeremy, 2010: 25). Tampaknya
apa yang terjadi dengan Blackwater tidak terlalu jauh berbeda dengan
organisasi-organisasi non-militer yang kerap memisahkan jalur dari pondasi awal
dengan pelaksanaannya. Begitu sering
proyek-proyek Blackwater yang paling ambisius dan rahasia memperlihatkan
kenyataan yang sangat beda dan mengerikan. Tak heran jika Michael Ratner,
Presiden Center for Constitutional Rights, menyatakan, “Semakin banyaknya
penggunaan tentara sewaan, pasukan swasta, atau apa yang disebut sebagian orang
sebagai ‘tentara bayaran’ menjadikan pertempuran sangat mudah dimulai dan
diusahakan-hanya dibutuhkan uang dan bukan penduduk.” (Scahill, Jeremy, 2010:
27). Ungkapnya lagi, pengiriman pasukan Blackwater dalam lingkup domestik
merupakan sebuah preseden buruk yang dapat merusak demokrasi AS. Ratner juga
menyamakan Blackwater dengan pasukan kemeja coklat Partai Nazi. Mengapa? Karena
kelompok paramiliter seperti Blackwater ini merupakan ancaman yang sangat
berbahaya bagi hak-hak bernegara ! (Scahill, Jeremy, 2010: 29) Namun jangan
disangka opini-opini miring seputar Blackwater menjadikannya berhenti
beroperasi. Justru, pemberitaan yang begitu gencar mengenai tewasnya empat
tentaranya di Fallujah pada 31 Maret 2004 mengantarkan Blackwater menjadi
pelindung para diplomat dan fasilitas-fasilitas Amerika Serikat dan memicu
Blackwater ke arah jalur menuju sukses bertahun-tahun kemudian (Scahill,
Jeremy, 2010: 31).
Apa
yang bisa kita cermati dari bandingan tiga keterlibatan militer dalam tiga
negara; Indonesia, Muang Thai, dan Amerika Serikat ? Dari sini ditarik suatu
penyimpulan bahwa keterlibatan militer di masing-masing negara memiliki
kepentingan yang berbeda pula. Di Indonesia, pada periode 1945-1949, tentara
yang dekat dengan sebutan “tentara rakyat” memiliki akses untuk berperan dalam
kegiatan ekonomi dan bisa memetik keuntungan pribadi. Sementara untuk Muang
Thai, keberadaan pimpinan militer di sana justru secara langsung menginginkan
penghapusan partisipasi politik warga Muang Thai. Inilah yang menyebabkan
terjadinya crash antara elit militer
dengan elit politik dan melahirkan Instruksi NO. 66/2523 di tahun 1980. Lebih
lanjut di Amerika Serikat juga muncul golongan tentara swasta yang berkumpul
dalam sebuah lembaga bernama Blackwater. Para tentara ini -sebenarnya- bekerja
di luar pemerintah Amerika Serikat, yakni untuk korporasi-korporasi, individu
swasta, badan intelijen, dan pemerintah asing. Akan tetapi seiring berjalannya
waktu Blackwater turut menjadi pelindung
para diplomat dan fasilitas-fasilitas Amerika Serikat.
Setelah kita mencoba membahas
beberapa keterlibatan tentara-tentara dan elit militer di Indonesia, Muang
Thai, dan Amerika Serikat, sekarang, coba kita amati kasus perang Teluk dan
perang-perang di ASEAN yang penulis kutip dari tulisan Arief Budiman yang
berjudul “Perdamaian, Perang dan Latar Belakang Ekonominya” dan dimuat dalam
antologi bertajuk “Perang, Militerisme, dan Tantangan Peradaban”. Dari sini
dapat kita cermati contoh kasus dari faktor terjadinya peperangan dan
aliansi-aliansi di dalamnya.
Kasus Perang Teluk : Faktor Ekonomi sebagai
Kekuatan Pendorong
Perang Teluk dimulai dengan invasi
tentara Irak ke Kuwait dengan dilatarbelakangi pengambilan provinsi secara
tidak sah. Dasar yang dipakai Irak adalah prinsip keadilan dan kesatuan
nasionalnya sebagai bangsa. Amerika dan sekutunya datang membela atas nama
keadilan, yakni untuk menolong bangsa kecil yang lemah dari segi militer dari
serbuan negara yang kuat. Dalam membela Irak, Amerika Serikat begitu
bersemangat sehingga mau melibatkan ratusan ribu personel militernya serta dana
bermiliar dolar. Ada apa dengan semangat ini? Tentu sangatlah beralasan dan
alasan utamanya terletak pada penguasaan global terhadap sumber energi yang
paling penting di dunia ini: minyak bumi. Jika Irak berhasil menguasai Kuwait
maka kepentingan ekonomi negara-negara industri seperti Amerika Serikat, Eropa,
dan Jepang akan sangat terancam. Aliansi antara dua kekuatan adidaya yakni
Amerika Serikat dan Rusia pun dikibarkan dalam
usahanya mencari bantuan dana karena malfungsi Uni Soviet sebagai
kekuatan penyeimbang. Inilah yang menyebabkan pecahnya Perang Teluk. Pada
kenyataannya Saddam Husein berupaya mengalihkannya menjadi perang agama karena
negara-negara sekutu yang menyerang Irak kebanyakan negara-negara Kristen atau
perang nasionalisme Arab akan tetapi mengalami kegagalan karena kepentingan
ekonomi negara-negara Arab yang berlainan sehingga memiliki kedekatan yang erat
dengan negara-negara industri Barat.
Militer di Negara-Negara ASEAN
Penulis akan mencoba memaparkan
beberapa perang di ASEAN yang ditarik hingga tahun 1988 sebagai berikut.
|
Jumlah Perang
|
Perang
|
GNP/Kapita US$, 1987
|
|||
Besar
|
Kecil
|
Eksternal
|
Internal
|
|||
Indonesia
|
2
|
1
|
1
|
0
|
1
|
450
|
Malaysia
|
1
|
1
|
0
|
1
|
0
|
1.810
|
Filipina
|
4
|
2
|
2
|
0
|
4
|
590
|
Singapura
|
0
|
0
|
0
|
0
|
0
|
7.940
|
Thailand
|
3
|
2
|
1
|
2
|
1
|
850
|
Brunei Darussalam
|
0
|
0
|
0
|
0
|
0
|
15.390 (1988)
|
Jumlah
|
10
|
6
|
4
|
3
|
7
|
|
|
100%
|
60%
|
40%
|
30%
|
70%
|
|
Dari tabel tersebut tampak bahwa di
Asia Tenggara, 70% dari seluruh perang merupakan perang internal. Negara yang
paling banyak mengalami peperangan adalah Filipina, sementara yang paling damai
adalah Singapura dan Brunei Darussalam, kedua negara terdamai di ASEAN. Berikut
tabel dana untuk militer di ASEAN hingga tahun 1986. Dari sini akan dilihat
betapa Indonesia adalah negara yang paling banyak mengeluarkan dana untuk mesin
perangnya karena Indonesia memiliki daerah yang paling luas dan penduduk yang
paling banyak untuk dijaga.
|
Jumlah (juta US$)
|
US$/kapita militer
|
Indonesia
|
2.408 (1)
|
8.569,40
(4)
|
Malaysia
|
1.633 (2)
|
14.845,45 (3)
|
Filipina
|
373 (5)
|
3.300,88 (6)
|
Singapura
|
1.104 (4)
|
19.891,89 (2)
|
Thailand
|
1.971 (3)
|
7.699,22 (5)
|
Brunei Darussalam
|
322 (6)
|
78.536,58 (1)
|
Terakhir, di ASEAN, mari kita tinjau
jumlah personel militer di ASEAN hingga tahun 1987. Berikut tabel yang
menjelaskan perbedaan jumlah tersebut.
|
Jumlah (ribu)
|
Presentase terhadap Militer di Dunia
|
Nomor Urut
|
|
Indonesia
|
248
|
1.10
|
1
|
|
Malaysia
|
113
|
0,44
|
3
|
|
Filipina
|
105
|
0,41
|
4
|
|
Singapura
|
55,5
|
0,21
|
5
|
|
Thailand
|
256
|
0,99
|
2
|
|
Brunei Darussalam
|
4,1
|
0,02
|
0
|
Dari perbandingan antara Perang
Teluk dengan beberapa perang yang ada di negara-negara ASEAN, dapat diambil
simpulan bahwa Perang Teluk merupakan perang yang berlangsung karena faktor
ekonomi, dimana perebutan sumber daya alam minyak menjadi pokok utamanya.
Sedangkan perang-perang di ASEAN berlangsung karena upaya untuk mempertahankan
keutuhan masing-masing negara. Inilah mengapa terdapat pembedaan skala perang,
jumlah personel militer hingga dana untuk militer itu sendiri. Mengapa? Tentu
karena disesuaikan dengan luas wilayah dan jumlah penduduknya.
Setelah kita kupas seluk-beluk
tentara, elit-elit militer di berbagai negara termasuk perang-perang yang
pernah berlangsung dengan kepentingan yang berbeda, kini penulis mencoba
memaparkan analisa perbandingan upaya perdamaian di dunia internasional. Ada
hal menarik yang patut dikomparasi lebih lanjut dalam tantangan perdamaian tersebut.
Mengapa? Karena perdamaian banyak sekali menyangkut faktor serta
kondisi-kondisi yang ada di dalamnya, termasuk masalah moral sebagai sarana
untuk menciptakan perdamaian. Ada yang diusahakan melalui pengurangan
persenjataan guna menghilangkan atau mengurangi senjata-senjata yang dibuat
atau akan dibuat oleh manusia (Nasution, Dahlan, 1988: 187). Pengurangan
senjata atau dalam istilah asing disebut disarmament dibedakan atas dasar
disarmament umum dan disarmament lokal; disarmament kualitatif dan kuantitatif.
Pengurangan persenjataan ada yang berujung baik (biasanya disebabkan adanya
perjanjian antara kedua belah pihak seperti antara Amerika Serikat dan Kanada
pada tahun 1817 dan Perjanjian Pengurangan Persenjataan Angkatan Laut di
Washington tahun 1992 antara Amerika Serikat dan Inggris Raya dengan Jepang,
Perancis, dan Italia) , dan ada pula yang berujung kegagalan (Nasution, Dahlan,
1988: 187). Selain dengan menggunakan pengurangan persenjataan, perdamaian juga
biasa dilakukan dengan penyelesaian yudisial, yakni suatu tindakan yang
dilakukan terhadap sengketa politik internasional melalui peradilan, misalnya
melalui Mahkamah dan Peradilan Internasional yang dibentuk setelah Perang Dunia
II (Nasution, Dahlan, 1988 : 192). Tentunya keseluruhan bentuk perdamaian
dilakukan dalam keamanan bersama yang ideal dan realistik. Dikatakan ideal jika
satu kelompok negara yang bersatu dalam dua blok yang satu sama lain saling
bertentangan. Dikatakan realistik jika keamanan bersama merupakan gabungan
negara-negara yang bukan saja terdiri atas dua blok melainakan juga beberapa
kelompok lainnya di luar kelompok negara tersebut (Nasution, Dahlan. 1988:
190-191). Berikut penulis kutipkan model keamanan bersama yang ideal dan
realistik dalam bentuk diagram.
|
||||||
Selain
perdamaian menggunakan pengurangan senjata, ada pula perdamaian yang
menggunakan jalan akomodasi yang sering disebut diplomasi. Tugas diplomasi
antara lain:
1.
menentukan sasaran-sasarannya sesuai dengan
kekuatan aktual dan potensial yang tersedia untuk mencapai sasaran itu
2.
menilai sasaran-sasaran dari bangsa-bangsa lain
dan kekuatan aktual serta potensial yang tersedia untuk mencapai sasaran itu
3.
harus menetapkan sejauh mana tujuan-tujuan yang
berbeda-beda ini dapat dibandingkan satu sama lain
4.
harus mampu mempergunakan cara yang paling
efektif dalam mencapai tujuan-tujuannya itu (Nasution, Dahlan, 1988: 211).
Ada
banyak contoh usaha membangun perdamaian pascaperang tanpa kehadiran
kesepakatan damai formal. Sebagai contoh, setelah kemenangan militer di satu
pihak, atau ketika pertempuran mencapai jalan buntu atau mereda perlahan dan
masuk ke dalam keadaan genting berupa kekerasan sporadis yang dilokalisasi (Miall,
Hugh, 2000:298). Berikut penulis kutipkan enam misi PBB dalam pembangunan
perdamaian pasca-penyelesaian dari tahun 1988-1998.
Negara
|
Pemerintah
|
Oposisi
|
Intervensi Pasukan PBB
|
Namibia
|
Afrika Selatan
|
SWAPO
|
UNTAG
|
Angola
|
MPLA
|
UNITA
|
UNAVEM
|
El-Salvador
|
ARENA
|
FMNL
|
ONUSAL
|
Kamboja
|
SOC
|
CDGK
|
UNTAC
|
Mosambique
|
FRELIMO
|
RENAMO
|
ONUMOZ
|
Bosnia-Herzegovina
|
Pemerintah RBH
|
(FBH)/RS
|
IFOR/SFOR, dsb
|
Dari
sini dapat dilihat, jika kesepakatan perdamaian merupakan poin dimana konflik diakhiri secara formal, proses
penyelesaian terhadap akar penyebab merupakan hal penting dalam fase
kesepakatan pasca-konflik atau fase pasca-penyelesaian. Pada tahun 1960-an, ada
tiga jenis pendekatan untuk perdamaian, yakni:
1.
Usaha menjaga perdamaian yang ditujukan guna
menghentikan atau mengurangi manifestasi kekerasan konflik melalui intervensi
kekuatan militer dalam sebuah peran penengah antar pihak yang bertikai
2.
Penciptaan perdamaian yang ditujukan pada
rekonsiliasi politik dan sikap strategis melalui mediasi, negoisasi, arbitrasi,
dan konsiliasi terutama pada level elit
3.
Pembentukan perdamaian yang tertuju pada
implementasi praktis perubahan sosial secara damai melalui rekonstruksi dan
pembangunan sosial ekonomi (Miall, Hugh, 2000:299).
Sejatinya, peperangan
merupakan hal yang wajar karena insting manusia untuk mempertahankan dirinya
atau bahkan insting untuk mempertahankan hidup dan menghancurkannya. Akan
tetapi jika peperangan terus berlanjut dan tidak menemukan titik damai, pun
menyebabkan keresahan banyak kalangan, alangkah bijaksananya jika
kepentingan-kepentingan yang menungganginya saling mengalah, dan berdamai..
Kepustakaan
Bunbonkarn,
Suchit. 1990. Militer Dalam Politik di
Muangthai 1981-1986. Penerjemah: Hasan Basari. Jakarta: LP3ES.
Scahill,
Jeremy. 2010. Blackwater: Membongkar
Keterlibatan Tentara Bayaran dalam Invasi Militer Amerika Serikat.
Penerjemah: Aang Muljanto, Winny Prasetyowati. Bandung: PT Mizan Pustaka.
Crouch,
Harold. 1999. Militer dan Politik di
Indonesia. Diterjemahkan oleh Th. Sumarthana. Jakarta: Pustaka Sinar
Harapan.
Habib,
A. Hasnan, et.al. 1994. Perang,
Militerisme dan Tantangan Perdamaian. Jakarta: PT Gramedia Widiasarana
Indonesia.
Miall,
Hugh, et.al. 2000. Resolusi Damai Konflik
Kontemporer. Diterjemahkan oleh Tri Budhi Sastrio. Jakarta: PT.
RajaGrafindo Persada.
Nasution,
Dahlan. 1988. Perang atau Damai dalam
Wawasan Politik Internasional. Bandung: CV Remadja Karya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar