Jumat, 04 Mei 2012

Merunut Militerisme Dunia : Perang, Militerisme Politik dan Perdamaian


Disusun Oleh :
FADHIL NUGROHO ADI
13030110130054

Jurusan Ilmu Sejarah
Fakultas Ilmu Budaya
Universitas Diponegoro Semarang
2012
2012
B
erbicara tentang perang tidaklah semata-mata membicarakan konflik kekerasan bersenjata antarnegara, tetapi juga intranegara. Jika dilihat dalam sejarah, maka, kemampuan saling membunuh pada manusia ternyata berhasil ditingkatkan, akan tetapi usaha untuk mmelihara ketenteraman dan perdamaian selalu mengalami kegagalan. Hal ini dengan begitu mudah dapat kita cemati dalam serangkaian perang penjajahan dalam proses bangsa-bangsa Eropa Barat merebut wilayah dan menjajah bangsa-bangsa lain di seluruh dunia: seluruh Amerika, seluruh Afrika, Asia, Autralia, Selandia Baru; munculnya militerisme Jerman dan berbagai peperangan yang dicetuskannya di Eropa; Perang Krimea; Perang Perancis-Prusia, Perang Jepang-Cina, Perang Jepang-Rusia, Perang Boer di Afrika Selatan, Perang Dunia I, Perang Dunia II, serangkaian Perang Arab-Israel, Perang Korea, Perang Vietnam, serangkaian Perang India-Pakistan, Perang India-RRC, Perang Kamboja dan ratusan perang serta kekerasan bersenjata lainnya di semua penjuru dunia, termasuk di tanah air kita sendiri. Selama tahun 1945 (seusai Perang Dunia II) sampai tahun 1983 saja, tercatat penggunaan kekuatan milter oleh 66 negara merdeka atau “dependent territories” dalam 105 peperangan yang menelan 16 juta korban (Sivard, 1983: 211 dalam A. Hasnan Habib, 1994: 4). Dari serangkaian peperangan tersebut sesungguhnya mengerucut pada dua macam situasi yang mengkibatkan kekerasan menjadi pilihan. Situasi tersebut antara lain tidak adanya alternatif lain untuk mempertahankan diri terhadap serangan yang mengancam jiwa atau keselamatan diri sendiri -pada tingkat hubungan internasional masih berlangsung untuk mempertahankan integritas wilayah nasional dan kelangsungan hidupnya-; dan situasi dimana kekerasan merupakan cara yang paling menguntungkan. Artinya bahwa, melalui proses analisis “cost-benefit”, kekerasan merupakan cara terunggul dari beberapa kemungkinan yang ada dan terjadi dalam keadaan kurang atau tidak adanya ketentuan atau prosedur penyelesaian sengketa, kurang tersedianya sarana mencegah kekerasan agresif atau kurang adanya rasa kebersamaan (sense of community) (Habib, A. Hasnan, 1994: 8).
            Suatu pendapat menyatakan bahwa perang adalah sesuatu yang normal dan -justru- juga ada baiknya. Mengapa? Inilah tampaknya sisi positif dari perang itu sendiri, yakni membuat manusia mengakui bahwa perdamaian bukanlah sesuatu yang terberi begitu saja. Perdamaian harus diusahakan, dan dipelihara kelestariannya (Budiman, Arief, 1994: 33). Akan tetapi pendapat ini memunculkan pertanyaan yang lebih dalam lagi, mengapa manusia masih terus berperang? Dan, apakah ini menjadi kodrat manusia untuk saling menghancurkan?
Jika dilihat dari anggapan Sigmund Freud, ternyata memang demikianlah adanya. Baginya, manusia di samping memiliki insting untuk hidup, juga memiliki insting untuk mati, alias menghancurkan hidupnya (Budiman, Arief, 1994: 33). Teori lain tentang perang dapat diambil dari teori tentang terjadinya imperialisme. Imperialisme sendiri dapat dijelaskan dengan tiga kelompok teori, yakni kelompok teori God, Glory dan Gold. Kelompok teori God atau Tuhan merupakan teori yang mengatakan bahwa imperialisme didasarkan pada misi agama untuk menyelamatkan orang-orang yang dianggap masih biadab atau dalam kata lain, imperialisme sebagai misi penyebaran agama. Sementara kelompok teori Glory atau Kebanggaan menyatakan bahwa imperialisme adalah hasil dari dorongan untuk menunjukkan keperkasaan, dan kelompok teori Gold atau Emas merupakan teori yang mengatakan bahwa imperialisme yang disebabkan oleh dorongan ekonomi, yakni untuk mencari emas seperti halnya orang-orang Spanyol dan Portugis yang berlayar ke benua Amerika, orang Belanda ke Indonesia, atau orang Inggris ke India dengan tujuan untuk mendapatkan keuntungan ekonomi (Budiman, Arief, 1994: 34-35).
Mari kita coba meninjau kondisi di Indonesia, dimana tentara ternyata berfungsi sebagai kekuatan politik pada periode 1945-1965. Meskipun tentara Indonesia tidak pernah membatasi dirinya hanya sebagai kekuatan militer, namun dalam masa revolusi antara tahun 1945 hingga 1949 tentara terlibat dalam perjuangan kemerdekaan dimana tindakan politik dan militer saling menjalin tak terpisahkan. Segera setelah peralihan kekuasaan di akhir tahun 1945, secara resmi tentara menerima azas keunggulan kekuasaan sipil. Para perwira menganggap bahwa peranan tentara memang diperlukan di bidang politik, tetapi tidak pernah muncul sebagai kekuatan politik yang utama (Crouch, Harold, 1999: 21). Dilihat dari kepentingan-kepentingan ektsramiliter, tentara Indonesia dalam arti tertentu adalah “tentara rakyat”. Pandangan politik tentara mencerminkan akar-akar budaya asal perwira, begitupun dengan perspektif-perspektif politik dan sosial korps perwira juga dipengaruhi oleh latar belakang sosial mereka sekalipun beberapa perwira merupakan kalangan bangsawan dan sebagian kecil yang memasuki lembaga-lembaga pendidikan setaraf universitas dan ada juga dari kalangan yang lebih rendah. Tentara juga berperan dalam kegiatan ekonomi yang pada akhirnya membuka kesempatan-kesempatan bagi mereka untuk memetik keuntungan pribadi. Apa akibatnya? Beberapa perwira angkatan darat menghendaki agar keadaan darurat perang terus diberlakukan (Crouch, Harold, 1999: 35-37).
Selanjutnya coba kita bandingkan peran militer yang ada dalam politik Muang Thai dengan peran tentara bayaran invasi militer Amerika Serikat. Di Muang Thai, elit-elit militer, yang seringkali merupakan elit yang berkuasa, tidak berminat untuk memperluas partisipasi politik. Apa alasannya? Mereka beralasan bahwa orang-orang Thai belum siap untuk ambil bagian dalam politik, belum tahu cara menggunakan hak-hak mereka sebagaimana mestinya, dan dengan demikian dapat dengan mudah ditunggangi oleh kaum politiasi terpilah dan yang sedang bersaing, yang tentu hanya memikirkan kepentingan pribadi mereka sendiri (Bunbonkarn, Suchit, 1990:4). Di samping itu kekekalan dominasi Angkatan Darat dalam politik di Muang Thai disebabkan oleh tidak adanya kesadaran politik di kalangan massa dan rendahnya tingkat partisipasi rakyat dalam proses politik seperti yang tercermin dalam sedikitnya pemilih yang menggunakan hak pilihnya dalam setiap pemilihan umum sejak 1933 (Bunbonkarn, Suchit, 1990:5). Hal ini ternyata berlangsung hingga 1977, dimana sebuah analisa menunjukkan bahwa tingkat, bentuk, dan landasan partisipasi politik pada umumnya ditentukan oleh kepentingan elit-elit militer. Para elit militer tidak menginginkan partisipasi politik yang luas. Mereka tidak menghendaki itu. Mereka hanya menginginkan penghapusan partisipasi politik atau suatu partisipasi terbatas yang hanya memungkinkan beberapa kelompok pilihan untuk memasuki gelanggang politik di bawah pengawasan mereka (Bunbonkarn, Suchit, 1990:10). Tidak mengherankan jika sejak pemilihan umum tahun 1979 konflik antara golongan militer dan berbagai elit politik yang dipilih mengalami beberapa perubahan (Bunbonkarn, Suchit, 1990: 11). Kondisi inilah yang melatarbelakangi terbitnya Instruksi NO. 66/2523 -diumumkan pada 1980- dan memberikan suatu alasan pembenaran baru bagi keterlibatan pimpinan militer Thai dalam politik sehingga mendorong mereka untuk mengalahkan komunisme (Bunbonkarn, Suchit, 1990: 133).
Militerisme politik yang terjadi di Muang Thai tadi akan tampak sangat berbeda dengan apa yang terjadi dalam keterlibatan tentara bayaran dalam invasi militer Amerika Serikat  ke kota-kota di Irak. Kemunculan konsep “tentara bayaran” ini muncul seminggu setelah berakhirnya masa kepemimpinan Donald Rumsfeld di Pentagon. Kondisi ini menyebabkan pasukan AS merasa sangat terperas oleh perang melawan teror sehingga Menteri Dalam Negeri Jenderal Colin Powell pun ikut angkat suara mengenai hal ini. Pemerintah Bush dan Pentagon kemudian membicarakan betapa pentingnya penambahan kekuatan militer (Scahill, Jeremy, 2010: 24). Pimpinan Blackwater, Erik Prince, inilah yang menggagas ide “brigade tentara bayaran” untuk kelengkapan militer konvensional AS (Scahill, Jeremy, 2010: 25). Blackwater sendiri merupakan organisasi pasukan swasta yang bertugas untuk operasi-operasi agen-agen intelijen AS atau korporasi-korporasi atau individu-individu swasta dan pemerintah asing (Scahil, Jeremy, 2010: 19). Blackwater diposisikan Erik Prince sebagai perpanjangan tangan patriotisme militer AS, dan pada September 2005, ia mengeluarkan memorandum sekaligus instruksi kepada seluruh pegawai dan para tentara bayarannya untuk mendukung dan membela Konstitusi Amerika Serikat dalam melawan semua musuh, asing maupun lokal (Scahill, Jeremy, 2010: 25). Tampaknya apa yang terjadi dengan Blackwater tidak terlalu jauh berbeda dengan organisasi-organisasi non-militer yang kerap memisahkan jalur dari pondasi awal dengan pelaksanaannya.  Begitu sering proyek-proyek Blackwater yang paling ambisius dan rahasia memperlihatkan kenyataan yang sangat beda dan mengerikan. Tak heran jika Michael Ratner, Presiden Center for Constitutional Rights, menyatakan, “Semakin banyaknya penggunaan tentara sewaan, pasukan swasta, atau apa yang disebut sebagian orang sebagai ‘tentara bayaran’ menjadikan pertempuran sangat mudah dimulai dan diusahakan-hanya dibutuhkan uang dan bukan penduduk.” (Scahill, Jeremy, 2010: 27). Ungkapnya lagi, pengiriman pasukan Blackwater dalam lingkup domestik merupakan sebuah preseden buruk yang dapat merusak demokrasi AS. Ratner juga menyamakan Blackwater dengan pasukan kemeja coklat Partai Nazi. Mengapa? Karena kelompok paramiliter seperti Blackwater ini merupakan ancaman yang sangat berbahaya bagi hak-hak bernegara ! (Scahill, Jeremy, 2010: 29) Namun jangan disangka opini-opini miring seputar Blackwater menjadikannya berhenti beroperasi. Justru, pemberitaan yang begitu gencar mengenai tewasnya empat tentaranya di Fallujah pada 31 Maret 2004 mengantarkan Blackwater menjadi pelindung para diplomat dan fasilitas-fasilitas Amerika Serikat dan memicu Blackwater ke arah jalur menuju sukses bertahun-tahun kemudian (Scahill, Jeremy, 2010: 31).
Apa yang bisa kita cermati dari bandingan tiga keterlibatan militer dalam tiga negara; Indonesia, Muang Thai, dan Amerika Serikat ? Dari sini ditarik suatu penyimpulan bahwa keterlibatan militer di masing-masing negara memiliki kepentingan yang berbeda pula. Di Indonesia, pada periode 1945-1949, tentara yang dekat dengan sebutan “tentara rakyat” memiliki akses untuk berperan dalam kegiatan ekonomi dan bisa memetik keuntungan pribadi. Sementara untuk Muang Thai, keberadaan pimpinan militer di sana justru secara langsung menginginkan penghapusan partisipasi politik warga Muang Thai. Inilah yang menyebabkan terjadinya crash antara elit militer dengan elit politik dan melahirkan Instruksi NO. 66/2523 di tahun 1980. Lebih lanjut di Amerika Serikat juga muncul golongan tentara swasta yang berkumpul dalam sebuah lembaga bernama Blackwater. Para tentara ini -sebenarnya- bekerja di luar pemerintah Amerika Serikat, yakni untuk korporasi-korporasi, individu swasta, badan intelijen, dan pemerintah asing. Akan tetapi seiring berjalannya waktu Blackwater turut  menjadi pelindung para diplomat dan fasilitas-fasilitas Amerika Serikat.
            Setelah kita mencoba membahas beberapa keterlibatan tentara-tentara dan elit militer di Indonesia, Muang Thai, dan Amerika Serikat, sekarang, coba kita amati kasus perang Teluk dan perang-perang di ASEAN yang penulis kutip dari tulisan Arief Budiman yang berjudul “Perdamaian, Perang dan Latar Belakang Ekonominya” dan dimuat dalam antologi bertajuk “Perang, Militerisme, dan Tantangan Peradaban”. Dari sini dapat kita cermati contoh kasus dari faktor terjadinya peperangan dan aliansi-aliansi di dalamnya.
Kasus Perang Teluk : Faktor Ekonomi sebagai Kekuatan Pendorong
            Perang Teluk dimulai dengan invasi tentara Irak ke Kuwait dengan dilatarbelakangi pengambilan provinsi secara tidak sah. Dasar yang dipakai Irak adalah prinsip keadilan dan kesatuan nasionalnya sebagai bangsa. Amerika dan sekutunya datang membela atas nama keadilan, yakni untuk menolong bangsa kecil yang lemah dari segi militer dari serbuan negara yang kuat. Dalam membela Irak, Amerika Serikat begitu bersemangat sehingga mau melibatkan ratusan ribu personel militernya serta dana bermiliar dolar. Ada apa dengan semangat ini? Tentu sangatlah beralasan dan alasan utamanya terletak pada penguasaan global terhadap sumber energi yang paling penting di dunia ini: minyak bumi. Jika Irak berhasil menguasai Kuwait maka kepentingan ekonomi negara-negara industri seperti Amerika Serikat, Eropa, dan Jepang akan sangat terancam. Aliansi antara dua kekuatan adidaya yakni Amerika Serikat dan Rusia pun dikibarkan dalam  usahanya mencari bantuan dana karena malfungsi Uni Soviet sebagai kekuatan penyeimbang. Inilah yang menyebabkan pecahnya Perang Teluk. Pada kenyataannya Saddam Husein berupaya mengalihkannya menjadi perang agama karena negara-negara sekutu yang menyerang Irak kebanyakan negara-negara Kristen atau perang nasionalisme Arab akan tetapi mengalami kegagalan karena kepentingan ekonomi negara-negara Arab yang berlainan sehingga memiliki kedekatan yang erat dengan negara-negara industri Barat.
Militer di Negara-Negara ASEAN
            Penulis akan mencoba memaparkan beberapa perang di ASEAN yang ditarik hingga tahun 1988 sebagai berikut.

Jumlah Perang
Perang
GNP/Kapita US$, 1987
Besar
Kecil
Eksternal
Internal
Indonesia
2
1
1
0
1
450
Malaysia
1
1
0
1
0
1.810
Filipina
4
2
2
0
4
590
Singapura
0
0
0
0
0
7.940
Thailand
3
2
1
2
1
850
Brunei Darussalam
0
0
0
0
0
15.390 (1988)
Jumlah
10
6
4
3
7


100%
60%
40%
30%
70%


            Dari tabel tersebut tampak bahwa di Asia Tenggara, 70% dari seluruh perang merupakan perang internal. Negara yang paling banyak mengalami peperangan adalah Filipina, sementara yang paling damai adalah Singapura dan Brunei Darussalam, kedua negara terdamai di ASEAN. Berikut tabel dana untuk militer di ASEAN hingga tahun 1986. Dari sini akan dilihat betapa Indonesia adalah negara yang paling banyak mengeluarkan dana untuk mesin perangnya karena Indonesia memiliki daerah yang paling luas dan penduduk yang paling banyak untuk dijaga.

Jumlah (juta US$)
US$/kapita militer
Indonesia
2.408 (1)
8.569,40  (4)
Malaysia
1.633 (2)
14.845,45 (3)
Filipina
373 (5)
3.300,88 (6)
Singapura
1.104 (4)
19.891,89 (2)
Thailand
1.971 (3)
7.699,22 (5)
Brunei Darussalam
322 (6)
78.536,58 (1)
           
            Terakhir, di ASEAN, mari kita tinjau jumlah personel militer di ASEAN hingga tahun 1987. Berikut tabel yang menjelaskan perbedaan jumlah tersebut.

Jumlah (ribu)
Presentase terhadap Militer di Dunia
Nomor Urut


Indonesia
248
1.10
1

Malaysia
113
0,44
3

Filipina
105
0,41
4

Singapura
55,5
0,21
5

Thailand
256
0,99
2

Brunei Darussalam
4,1
0,02
0


            Dari perbandingan antara Perang Teluk dengan beberapa perang yang ada di negara-negara ASEAN, dapat diambil simpulan bahwa Perang Teluk merupakan perang yang berlangsung karena faktor ekonomi, dimana perebutan sumber daya alam minyak menjadi pokok utamanya. Sedangkan perang-perang di ASEAN berlangsung karena upaya untuk mempertahankan keutuhan masing-masing negara. Inilah mengapa terdapat pembedaan skala perang, jumlah personel militer hingga dana untuk militer itu sendiri. Mengapa? Tentu karena disesuaikan dengan luas wilayah dan jumlah penduduknya.
            Setelah kita kupas seluk-beluk tentara, elit-elit militer di berbagai negara termasuk perang-perang yang pernah berlangsung dengan kepentingan yang berbeda, kini penulis mencoba memaparkan analisa perbandingan upaya perdamaian di dunia internasional. Ada hal menarik yang patut dikomparasi lebih lanjut dalam tantangan perdamaian tersebut. Mengapa? Karena perdamaian banyak sekali menyangkut faktor serta kondisi-kondisi yang ada di dalamnya, termasuk masalah moral sebagai sarana untuk menciptakan perdamaian. Ada yang diusahakan melalui pengurangan persenjataan guna menghilangkan atau mengurangi senjata-senjata yang dibuat atau akan dibuat oleh manusia (Nasution, Dahlan, 1988: 187). Pengurangan senjata atau dalam istilah asing disebut disarmament dibedakan atas dasar disarmament umum dan disarmament lokal; disarmament kualitatif dan kuantitatif. Pengurangan persenjataan ada yang berujung baik (biasanya disebabkan adanya perjanjian antara kedua belah pihak seperti antara Amerika Serikat dan Kanada pada tahun 1817 dan Perjanjian Pengurangan Persenjataan Angkatan Laut di Washington tahun 1992 antara Amerika Serikat dan Inggris Raya dengan Jepang, Perancis, dan Italia) , dan ada pula yang berujung kegagalan (Nasution, Dahlan, 1988: 187). Selain dengan menggunakan pengurangan persenjataan, perdamaian juga biasa dilakukan dengan penyelesaian yudisial, yakni suatu tindakan yang dilakukan terhadap sengketa politik internasional melalui peradilan, misalnya melalui Mahkamah dan Peradilan Internasional yang dibentuk setelah Perang Dunia II (Nasution, Dahlan, 1988 : 192). Tentunya keseluruhan bentuk perdamaian dilakukan dalam keamanan bersama yang ideal dan realistik. Dikatakan ideal jika satu kelompok negara yang bersatu dalam dua blok yang satu sama lain saling bertentangan. Dikatakan realistik jika keamanan bersama merupakan gabungan negara-negara yang bukan saja terdiri atas dua blok melainakan juga beberapa kelompok lainnya di luar kelompok negara tersebut (Nasution, Dahlan. 1988: 190-191). Berikut penulis kutipkan model keamanan bersama yang ideal dan realistik dalam bentuk diagram.











Keamanan bersama yang realistik


L
 



Keamanan bersama yang ideal

 




                                                        
Selain perdamaian menggunakan pengurangan senjata, ada pula perdamaian yang menggunakan jalan akomodasi yang sering disebut diplomasi. Tugas diplomasi antara lain:
1.      menentukan sasaran-sasarannya sesuai dengan kekuatan aktual dan potensial yang tersedia untuk mencapai sasaran itu
2.      menilai sasaran-sasaran dari bangsa-bangsa lain dan kekuatan aktual serta potensial yang tersedia untuk mencapai sasaran itu
3.      harus menetapkan sejauh mana tujuan-tujuan yang berbeda-beda ini dapat dibandingkan satu sama lain
4.      harus mampu mempergunakan cara yang paling efektif dalam mencapai tujuan-tujuannya itu (Nasution, Dahlan, 1988: 211).
Ada banyak contoh usaha membangun perdamaian pascaperang tanpa kehadiran kesepakatan damai formal. Sebagai contoh, setelah kemenangan militer di satu pihak, atau ketika pertempuran mencapai jalan buntu atau mereda perlahan dan masuk ke dalam keadaan genting berupa kekerasan sporadis yang dilokalisasi (Miall, Hugh, 2000:298). Berikut penulis kutipkan enam misi PBB dalam pembangunan perdamaian pasca-penyelesaian dari tahun 1988-1998.
Negara
Pemerintah
Oposisi
Intervensi Pasukan PBB
Namibia
Afrika Selatan
SWAPO
UNTAG
Angola
MPLA
UNITA
UNAVEM
El-Salvador
ARENA
FMNL
ONUSAL
Kamboja
SOC
CDGK
UNTAC
Mosambique
FRELIMO
RENAMO
ONUMOZ
Bosnia-Herzegovina
Pemerintah RBH
(FBH)/RS
IFOR/SFOR, dsb

Dari sini dapat dilihat, jika kesepakatan perdamaian merupakan poin dimana  konflik diakhiri secara formal, proses penyelesaian terhadap akar penyebab merupakan hal penting dalam fase kesepakatan pasca-konflik atau fase pasca-penyelesaian. Pada tahun 1960-an, ada tiga jenis pendekatan untuk perdamaian, yakni:
1.      Usaha menjaga perdamaian yang ditujukan guna menghentikan atau mengurangi manifestasi kekerasan konflik melalui intervensi kekuatan militer dalam sebuah peran penengah antar pihak yang bertikai
2.      Penciptaan perdamaian yang ditujukan pada rekonsiliasi politik dan sikap strategis melalui mediasi, negoisasi, arbitrasi, dan konsiliasi terutama pada level elit
3.      Pembentukan perdamaian yang tertuju pada implementasi praktis perubahan sosial secara damai melalui rekonstruksi dan pembangunan sosial ekonomi (Miall, Hugh, 2000:299).


Sejatinya, peperangan merupakan hal yang wajar karena insting manusia untuk mempertahankan dirinya atau bahkan insting untuk mempertahankan hidup dan menghancurkannya. Akan tetapi jika peperangan terus berlanjut dan tidak menemukan titik damai, pun menyebabkan keresahan banyak kalangan, alangkah bijaksananya jika kepentingan-kepentingan yang menungganginya saling mengalah, dan berdamai..













Kepustakaan

Bunbonkarn, Suchit. 1990. Militer Dalam Politik di Muangthai 1981-1986. Penerjemah: Hasan Basari. Jakarta: LP3ES.
Scahill, Jeremy. 2010. Blackwater: Membongkar Keterlibatan Tentara Bayaran dalam Invasi Militer Amerika Serikat. Penerjemah: Aang Muljanto, Winny Prasetyowati. Bandung: PT Mizan Pustaka.
Crouch, Harold. 1999. Militer dan Politik di Indonesia. Diterjemahkan oleh Th. Sumarthana. Jakarta: Pustaka Sinar Harapan.
Habib, A. Hasnan, et.al. 1994. Perang, Militerisme dan Tantangan Perdamaian. Jakarta: PT Gramedia Widiasarana Indonesia.
Miall, Hugh, et.al. 2000. Resolusi Damai Konflik Kontemporer. Diterjemahkan oleh Tri Budhi Sastrio. Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada.
Nasution, Dahlan. 1988. Perang atau Damai dalam Wawasan Politik Internasional. Bandung: CV Remadja Karya.  

Tidak ada komentar:

Posting Komentar