Kamis, 17 Mei 2012

“STRATEGI TNI AL DALAM PENGAMANAN BATAS MARITIM NKRI”


“STRATEGI TNI AL DALAM PENGAMANAN 
BATAS MARITIM NKRI”
Penyusun :
FADHIL NUGROHO ADI
NIM. 13030110130054

___________________________________________________________________________
            Negara Kesatuan Republik Indonesia merupakan negara kepulauan yang terletak di posisi silang dunia , yakni di antara dua samudera dan dua dunia dan memiliki kekayaan alam yang melimpah. Tentu keberadaan potensi alam tersebut harus memperoleh pengamanan sumber daya terutama pengamanan batas maritim NKRI. Dalam pengamanan ini diperlukan strategi khususnya di wilayah perbatasan yang berupa penetapan batas maritim dan sinergi pembangunan wilayah antara pusat dan daerah.
            Bicara maritim Indonesia, tak akan pernah bisa lepas dari sejarah yang menaunginya. sejak era prakolonialisme, Indonesia terkenal akan kekuatan maritimnya lewat kerajaan-kerajaan maritim besar di Nusantara sehingga dikenal di seantero Asia Tenggara. Seperti kita ketahui, kerajaan-kerajaan maritim tersebut antara lain kerajaan Sriwijaya yang memiliki kekuatan armada laut untuk menguasai jalur-jalur pelayaran maupun perdagangan sehingga mampu memperluas pengaruhnya hingga Thailand, Kamboja, Vietnam dan Filipina. Ada juga kerajaan Singasari yang bahkan mengembangkan konsep wawasan kenegaraan “Cakrawala Mandala Dwipantara” beserta pengiriman armada laut yang besar (Ekspedisi Pamalayu) untuk menguasai seluruh area Laut Cina Selatan dan kerajaan di sekelilingnya. Tak kalah penting adalah kerajaan Majapahit yang kekuasaannya meliputi Sumatera, Semenanjung Malaya, Borneo, Sulawesi, Kepulauan Nusa Tenggara, Maluku, Papua dan sebagian kepulauan Filipina dengan didukung angkatan lautnya sebagai upaya perpaduan potensi agraris dan sekaligus potensi maritim Majapahit. Masuk pada era kolonialisme, Portugis, Belanda, dan Inggris mewarnai atmosfir perdagangan di Nusantara. Mulai dari menjadikan Nusantara sebagai negara pemasaran hingga negara yang diperas dan dieksploitasi semena-mena oleh penjajah. Masuk era pasca-kolonialisme, masyarakat Indonesia saat itu perlu upaya rehabilitasi yang tidak mudah, utamanya mengembalikan psikologi demografis masyarakat Indonesia agar kembali menjadi negara yang bercirikan maritim. Adapun usaha-usaha tersebut antara lain berupa Deklarasi Djuanda tahun 1957 dengan hasil pentingnya “bahwa segala perairab di sekitar, di antara, dan yang menghubungkan pulau-pulau yang termasuk luas dalam daratan Republik Indonesia, dengan tidak memandang luas atau lebarnya, adalah bagian yang wajar dari wilayah daratan negara Republik Indonesia dan dengan demikian merupakan bagian dari perairan pedalaman atau perairan nasional yang berada di bawah kedaulatan Negara Kesatuan Republik Indonesia.” Indonesia selanjutnya memiliki wilayah laut sangat luas 5,8 juta km2 dan menjadi terkenalnya Indonesia sebagai negara kepulauan terbesar di dunia . Berikutnya dalam UNCLOS 1982 yang menyatakan bahwa wilayah RI memiliki kewenangan untuk mendirikan zona tambahan selebar 12 mil lagi di luar laut wilayah yang 12 mil yang mengelilingi seluruh nusantara Indonesia, memiliki hak atas ZEEI selebar 200 mil, hak atas landas kontinen, hak untuk ikut bepartisipasi di laut bebas di luar ZEE, dan hak untuk ikut mengatur dan memanfaatkan dasar laut internasional di luar landas kontinen.
            Indonesia, dalam perkembangannya, di tengah pusaran arus globalisasi yang meningkatkan penetrasi asing dan lingkungan regional Asia Pasifik yang masih sangat dipengaruhi oleh kebijakan dan strategi Amerika Serikat, perlu mempertahankan ideologi nasionalnya dalam berbagai aspek seperti aspek politik, ekonomi, sosial budaya dan juga pertahanan dan keamanan. Untuk lingkungan daerah pemerintah menerapkan konsep desentralisasi kekuasaan melalui UU No. 32 Tahun 2004. Selain itu, Indonesia juga memiliki masalah baru yang tak kalah penting dengan petahanan dan keamanannya yakni mengenai permasalahan perbatasan. Aspek penetapan batas wilayah merupakan komponen penting sebuah negara karena akan memengaruhi masalah kependudukan. Inilah yang mendorong timbulnya penetapan titik dasar yang telah dilaksanakan TNI AL pada tahun 1989 hingga 1995 melalui survey Hidro-Oseanografi. Permasalahan perbatasan menjadi hal yang tak kalah peliknya karena permasalahan tersebut tidak hanya menyangkut batas fisik melainkan cara hidup masyarakat di daerah tersebut semisal para nelayan tradisional. Contohnya adalah perbatasan RI-Malaysia berdasar Persetujuan antara Pemerintah RI dan Pemerintah Kerajaan Malaysia tertanggal 27 Oktober 1969 diratifikasi dengan Keppres Nomor 89 Tahun 1969 dan Penetapan garis Batas Laut Wilayah RI-Malaysia di Selat Malaka tertanggal 17 Maret 1970 diratifikasi dengan UU Nomor 2 Tahun 1971. Kemudian perbatasan RI-Thailand berdasar perjanjian landas kontinen di bangkok tertanggal 17 Desember 1971 iratifikasi Keppres Noor 21 Tahun 1972 mengenai batas landas kontinen di Utara Selat Malaka dan Laut Andaman. Perbatasan RI-India juga ditetapkan di Jakarta tertanggal 8 Agustus 1974 diratifikasi Keppres Nomor 51 Tahun 1974melalui perbatasan antara Pulau Sumatera dengan Nicobar dan dikembangkan pada 22 Juni 1978 (ratifikasi Keppres Nomor 25 Tahun 1978) dengan batas landas kontinen di daerah Barat Laut sekitar Pulau Andaman dan Nicobar. Perbatasan RI-Singapura dengan ratifikasi UU Nomor 7 tahun 1973 dengan penetapan 6 titik koordinat yang menjadi batas negara. Perbatasan RI-Vietnam disepakai dalam hal batas landas kontinen pada 26 Juni 2002 dn perjanjian perbatasan ZEE di Laut China Selatan tahun 2011. Perbatasan RI-Philipia berlansgung berkala, 3-4 bulan sekali, dan perkmbangan terakhir menunjukkan bahwa Philipina megakui secara penuh Pulau Miangas sebagai milik Indonesia. Perbatasan RI-Republik Palau juga dilakukan dengan dasar batas Zone Perikanan / ZEE. Perbatasan RI-Papua Nugini yang ditetapkan sejak 22 Mei 1885, lalu perbatasan RI-Australia yang melakukan perjanjian batas landas kontinen yang dibuat pada 9 Oktober 1972 yang mencakup Pulau Ashmore, Cartier dan Pulau Christmas, dan terakhir berupa perbatasan RI-Timor Leste dan bukan perbatasan maritim.
            Akan tetapi perjanjian perbatasan tersebut tidak membuat Indonesia lepas tangan begitu saja karena masih lemahnya pengelolaan perbatasan dan masalah pulau terluar yang kerap menuai konflik. Hilangnya pulau-pulau meliputi hilang secara fisik (kasus Pulau Nipa), hilang secara kepemilikan (kasus Sipadan-Ligitan), hilang secara pengawasan (rawannya Pulau Batek, Pulau Fani, Pulau Fanildo dan Pulau Dana), dan hilang secara sosiologis (kasus Pulau Marore dan Pulau Miangas). Mengapa hal ini bisa terjadi? Hal ini disebabkan oleh kurangnya pemahaman dan implementasi hukum mengenai UU No. 32 Tahun 2004. Selain itu karena kondisi kependudukan di kawasan perbatasan yang kurang kondusif berupa kesenjangan dan rendahnya tingkat pendidikan.
            Masalah-masalah yang terjadi di perbatasan maritim pada dimenis ruang memiliki cakupan berupa pantai atau pesisir, permukaan air, dalam air, dasar laut, hingga udara yang meliputi polusi udar, penyelundupan hingga black flight! Selain masalah berdasar dimensi ruang juga dapat diidentifikasi berdasar batasan masalahnya yakni mengenai kebebasan berlayar, praktek sosial, perompakan atau pembajakan, lingkunan hidup dan polusi, penyelundupan, aktivitas pelabuhan, terorisme maritim, kegiatan pertahanan keamanan, sumber daya, polusi udara, hingga survey atau penelitian.
            Lantas apa strategi TNI AL dalam pengamanan perbatasan ? Strategi pengamanan dibagi dalam dua kategori: internal dan eksternal. Secara internal dilakukan cara-cara seperti gelar operasi (wujud upaya preventif dan represif termasuk salah satunya pemberian sanksi), penjabaran konsep Penataan Daerah Operasi, Gelar Operasi Siaga Tempur Laut dan Operasi Laut Sehari-hari (bisa dilakukan dengan patroli keamanan laut, pameran bendera, operasi bhakti TNI AL, operasi Pasar Berjalan (Mobile Market) melalui kapal-kapalnya dan survey hidrografi. TNI AL tidak menutup koordinasi dengan instansi lain di sana. Sementara itu strategi eksternal TNI AL meliputi Strategy Partnership dengan negara-negara yang tergabung dalam ASEAN Regional Forum, antara lain RI-Singapura, RI-Malaysia, RI-Philipina melalui forum Joint Border Committee dan Joint Commission for Bilateral Cooperation, RI-Thailand, RI-Papua Nugini, dan RI-Timor Leste (permasalahan yang muncul dalam penyelesaian batas maritim adalah adanya enclave Oekusi di tengah wilayah Indonesia yang menjadi kenyataan spesifik dalam perbatasan Indonesia dengan Timor Leste dan adanya entrylexit point Alur Laut Kepulauan Indonesia), dan RI-Anggota ASEAN lainnya.
            TNI AL dalam upayanya untuk mengamankan wilayah perbatasan telah melakukan beberapa bentuk kegiatan seperti Patroli Keamanan Laut menggunakan kapal-kala perang RI di seluruh perairan Indonesia termasuk di pulau-pulau terpencil termasuk salah satunya dengan cara show of flag dengan beberapa kendala seperti kekuatan terbatas yang dimiliki TNI AL dan lemahnya penegakan hukum TNI AL. Kemudian melalui Survey Hidrografi dengan menarik garis-garis pangkal yang menghubungan titik-titik terluar atau base point. Lantas melalui Operasi Bhakti yang muncul sejak tahun 1980-an, lalu pengadaan Mobile Market  dengan menjual sembako murah, kemudian membangun pos pengamat di pulau-pulau beserta memenuhi alutsista TNI AL berdasar blue print Kebijakan Dasar Pembangunan Kekuatan TNI AL sampai dengan tahun 2013, menyusun Rancangan Postur TNI AL 2005 sampai  tahun 2024, menjabarkan postur TNI AL, mensosialisasikannya dan memberdayakannya. Tak lupa TNI AL juga melakukan perlindungan bilateral dan Committee Meeting dengan beberapa negara.
               

Tidak ada komentar:

Posting Komentar