“STRATEGI TNI AL DALAM
PENGAMANAN
BATAS MARITIM NKRI”
Penyusun :
FADHIL NUGROHO ADI
NIM. 13030110130054
___________________________________________________________________________
Negara
Kesatuan Republik Indonesia merupakan negara kepulauan yang terletak di posisi
silang dunia , yakni di antara dua samudera dan dua dunia dan memiliki kekayaan
alam yang melimpah. Tentu keberadaan potensi alam tersebut harus memperoleh
pengamanan sumber daya terutama pengamanan batas maritim NKRI. Dalam pengamanan
ini diperlukan strategi khususnya di wilayah perbatasan yang berupa penetapan
batas maritim dan sinergi pembangunan wilayah antara pusat dan daerah.
Bicara
maritim Indonesia, tak akan pernah bisa lepas dari sejarah yang menaunginya.
sejak era prakolonialisme, Indonesia terkenal akan kekuatan maritimnya lewat
kerajaan-kerajaan maritim besar di Nusantara sehingga dikenal di seantero Asia
Tenggara. Seperti kita ketahui, kerajaan-kerajaan maritim tersebut antara lain
kerajaan Sriwijaya yang memiliki kekuatan armada laut untuk menguasai
jalur-jalur pelayaran maupun perdagangan sehingga mampu memperluas pengaruhnya
hingga Thailand, Kamboja, Vietnam dan Filipina. Ada juga kerajaan Singasari
yang bahkan mengembangkan konsep wawasan kenegaraan “Cakrawala Mandala
Dwipantara” beserta pengiriman armada laut yang besar (Ekspedisi Pamalayu)
untuk menguasai seluruh area Laut Cina Selatan dan kerajaan di sekelilingnya.
Tak kalah penting adalah kerajaan Majapahit yang kekuasaannya meliputi Sumatera,
Semenanjung Malaya, Borneo, Sulawesi, Kepulauan Nusa Tenggara, Maluku, Papua
dan sebagian kepulauan Filipina dengan didukung angkatan lautnya sebagai upaya
perpaduan potensi agraris dan sekaligus potensi maritim Majapahit. Masuk pada
era kolonialisme, Portugis, Belanda, dan Inggris mewarnai atmosfir perdagangan
di Nusantara. Mulai dari menjadikan Nusantara sebagai negara pemasaran hingga
negara yang diperas dan dieksploitasi semena-mena oleh penjajah. Masuk era
pasca-kolonialisme, masyarakat Indonesia saat itu perlu upaya rehabilitasi yang
tidak mudah, utamanya mengembalikan psikologi demografis masyarakat Indonesia
agar kembali menjadi negara yang bercirikan maritim. Adapun usaha-usaha
tersebut antara lain berupa Deklarasi Djuanda tahun 1957 dengan hasil
pentingnya “bahwa segala perairab di sekitar, di antara, dan yang menghubungkan
pulau-pulau yang termasuk luas dalam daratan Republik Indonesia, dengan tidak
memandang luas atau lebarnya, adalah bagian yang wajar dari wilayah daratan
negara Republik Indonesia dan dengan demikian merupakan bagian dari perairan
pedalaman atau perairan nasional yang berada di bawah kedaulatan Negara
Kesatuan Republik Indonesia.” Indonesia selanjutnya memiliki wilayah laut
sangat luas 5,8 juta km2 dan menjadi terkenalnya Indonesia sebagai
negara kepulauan terbesar di dunia . Berikutnya dalam UNCLOS 1982 yang
menyatakan bahwa wilayah RI memiliki kewenangan untuk mendirikan zona tambahan
selebar 12 mil lagi di luar laut wilayah yang 12 mil yang mengelilingi seluruh
nusantara Indonesia, memiliki hak atas ZEEI selebar 200 mil, hak atas landas
kontinen, hak untuk ikut bepartisipasi di laut bebas di luar ZEE, dan hak untuk
ikut mengatur dan memanfaatkan dasar laut internasional di luar landas
kontinen.
Indonesia,
dalam perkembangannya, di tengah pusaran arus globalisasi yang meningkatkan
penetrasi asing dan lingkungan regional Asia Pasifik yang masih sangat
dipengaruhi oleh kebijakan dan strategi Amerika Serikat, perlu mempertahankan
ideologi nasionalnya dalam berbagai aspek seperti aspek politik, ekonomi,
sosial budaya dan juga pertahanan dan keamanan. Untuk lingkungan daerah
pemerintah menerapkan konsep desentralisasi kekuasaan melalui UU No. 32 Tahun
2004. Selain itu, Indonesia juga memiliki masalah baru yang tak kalah penting
dengan petahanan dan keamanannya yakni mengenai permasalahan perbatasan. Aspek
penetapan batas wilayah merupakan komponen penting sebuah negara karena akan
memengaruhi masalah kependudukan. Inilah yang mendorong timbulnya penetapan
titik dasar yang telah dilaksanakan TNI AL pada tahun 1989 hingga 1995 melalui
survey Hidro-Oseanografi. Permasalahan perbatasan menjadi hal yang tak kalah
peliknya karena permasalahan tersebut tidak hanya menyangkut batas fisik
melainkan cara hidup masyarakat di daerah tersebut semisal para nelayan
tradisional. Contohnya adalah perbatasan RI-Malaysia berdasar Persetujuan
antara Pemerintah RI dan Pemerintah Kerajaan Malaysia tertanggal 27 Oktober
1969 diratifikasi dengan Keppres Nomor 89 Tahun 1969 dan Penetapan garis Batas
Laut Wilayah RI-Malaysia di Selat Malaka tertanggal 17 Maret 1970 diratifikasi
dengan UU Nomor 2 Tahun 1971. Kemudian perbatasan RI-Thailand berdasar
perjanjian landas kontinen di bangkok tertanggal 17 Desember 1971 iratifikasi
Keppres Noor 21 Tahun 1972 mengenai batas landas kontinen di Utara Selat Malaka
dan Laut Andaman. Perbatasan RI-India juga ditetapkan di Jakarta tertanggal 8
Agustus 1974 diratifikasi Keppres Nomor 51 Tahun 1974melalui perbatasan antara
Pulau Sumatera dengan Nicobar dan dikembangkan pada 22 Juni 1978 (ratifikasi
Keppres Nomor 25 Tahun 1978) dengan batas landas kontinen di daerah Barat Laut
sekitar Pulau Andaman dan Nicobar. Perbatasan RI-Singapura dengan ratifikasi UU
Nomor 7 tahun 1973 dengan penetapan 6 titik koordinat yang menjadi batas
negara. Perbatasan RI-Vietnam disepakai dalam hal batas landas kontinen pada 26
Juni 2002 dn perjanjian perbatasan ZEE di Laut China Selatan tahun 2011. Perbatasan
RI-Philipia berlansgung berkala, 3-4 bulan sekali, dan perkmbangan terakhir
menunjukkan bahwa Philipina megakui secara penuh Pulau Miangas sebagai milik
Indonesia. Perbatasan RI-Republik Palau juga dilakukan dengan dasar batas Zone
Perikanan / ZEE. Perbatasan RI-Papua Nugini yang ditetapkan sejak 22 Mei 1885,
lalu perbatasan RI-Australia yang melakukan perjanjian batas landas kontinen
yang dibuat pada 9 Oktober 1972 yang mencakup Pulau Ashmore, Cartier dan Pulau
Christmas, dan terakhir berupa perbatasan RI-Timor Leste dan bukan perbatasan
maritim.
Akan tetapi
perjanjian perbatasan tersebut tidak membuat Indonesia lepas tangan begitu saja
karena masih lemahnya pengelolaan perbatasan dan masalah pulau terluar yang
kerap menuai konflik. Hilangnya pulau-pulau meliputi hilang secara fisik (kasus
Pulau Nipa), hilang secara kepemilikan (kasus Sipadan-Ligitan), hilang secara
pengawasan (rawannya Pulau Batek, Pulau Fani, Pulau Fanildo dan Pulau Dana),
dan hilang secara sosiologis (kasus Pulau Marore dan Pulau Miangas). Mengapa
hal ini bisa terjadi? Hal ini disebabkan oleh kurangnya pemahaman dan
implementasi hukum mengenai UU No. 32 Tahun 2004. Selain itu karena kondisi
kependudukan di kawasan perbatasan yang kurang kondusif berupa kesenjangan dan
rendahnya tingkat pendidikan.
Masalah-masalah
yang terjadi di perbatasan maritim pada dimenis ruang memiliki cakupan berupa
pantai atau pesisir, permukaan air, dalam air, dasar laut, hingga udara yang
meliputi polusi udar, penyelundupan hingga black flight! Selain masalah
berdasar dimensi ruang juga dapat diidentifikasi berdasar batasan masalahnya
yakni mengenai kebebasan berlayar, praktek sosial, perompakan atau pembajakan,
lingkunan hidup dan polusi, penyelundupan, aktivitas pelabuhan, terorisme
maritim, kegiatan pertahanan keamanan, sumber daya, polusi udara, hingga survey
atau penelitian.
Lantas apa
strategi TNI AL dalam pengamanan perbatasan ? Strategi pengamanan dibagi dalam
dua kategori: internal dan eksternal. Secara internal dilakukan cara-cara
seperti gelar operasi (wujud upaya preventif dan represif termasuk salah
satunya pemberian sanksi), penjabaran konsep Penataan Daerah Operasi, Gelar
Operasi Siaga Tempur Laut dan Operasi Laut Sehari-hari (bisa dilakukan dengan
patroli keamanan laut, pameran bendera, operasi bhakti TNI AL, operasi Pasar
Berjalan (Mobile Market) melalui kapal-kapalnya dan survey hidrografi. TNI AL
tidak menutup koordinasi dengan instansi lain di sana. Sementara itu strategi
eksternal TNI AL meliputi Strategy Partnership dengan negara-negara yang
tergabung dalam ASEAN Regional Forum, antara lain RI-Singapura, RI-Malaysia,
RI-Philipina melalui forum Joint Border Committee dan Joint Commission for
Bilateral Cooperation, RI-Thailand, RI-Papua Nugini, dan RI-Timor Leste
(permasalahan yang muncul dalam penyelesaian batas maritim adalah adanya
enclave Oekusi di tengah wilayah Indonesia yang menjadi kenyataan spesifik
dalam perbatasan Indonesia dengan Timor Leste dan adanya entrylexit point Alur
Laut Kepulauan Indonesia), dan RI-Anggota ASEAN lainnya.
TNI AL dalam
upayanya untuk mengamankan wilayah perbatasan telah melakukan beberapa bentuk
kegiatan seperti Patroli Keamanan Laut menggunakan kapal-kala perang RI di
seluruh perairan Indonesia termasuk di pulau-pulau terpencil termasuk salah
satunya dengan cara show of flag dengan beberapa kendala seperti kekuatan
terbatas yang dimiliki TNI AL dan lemahnya penegakan hukum TNI AL. Kemudian
melalui Survey Hidrografi dengan menarik garis-garis pangkal yang menghubungan
titik-titik terluar atau base point. Lantas melalui Operasi Bhakti yang muncul
sejak tahun 1980-an, lalu pengadaan Mobile Market dengan menjual sembako murah, kemudian
membangun pos pengamat di pulau-pulau beserta memenuhi alutsista TNI AL
berdasar blue print Kebijakan Dasar Pembangunan Kekuatan TNI AL sampai dengan
tahun 2013, menyusun Rancangan Postur TNI AL 2005 sampai tahun 2024, menjabarkan postur TNI AL,
mensosialisasikannya dan memberdayakannya. Tak lupa TNI AL juga melakukan
perlindungan bilateral dan Committee Meeting dengan beberapa negara.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar