Selasa, 22 November 2011

Menyibak Rona Pemerintahan Republik Rakyat China

BAB I
PENDAHULUAN


A.        TUJUAN PENULISAN
  1. Melengkapi literatur mengenai pemerintahan Republik Rakyat China
  2. Menginspirasi generasi muda dalam pembangunan negara dan bangsa
  3. Memenuhi penugasan mata kuliah Sejarah Asia Timur
B.        METODE PENULISAN
            Metode Literatur
                        Dalam penulisan laporan, penulis menggunakan metode literatur sebagai     bahan penyusunan, yakni mempergunakan literatur yang koheren dengan tema            penulisan, dalam hal ini pemerintahan Republik Rakyat China.

C.        LATAR BELAKANG
            Republik Rakyat China (RRC) merupakan negara dalam jajaran belahan Asia yang memiliki penduduk terbanyak di dunia, dengan populasi melebihi 1,3 miliar jiwa, yang mayoritas merupakan suku bangsa Han. RRC sendiri adalah  negara terbesar di Asia Timur, dan ketiga terluas di dunia, setelah Rusia dan Kanada. RRC berbatasan dengan 14 negara: Afganistan, Bhutan, Myanmar, India, Kazakhstan, Kirgizia, Korea Utara, Laos, Mongolia, Nepal, Pakistan, Rusia, Tajikistan dan Vietnam.
            Dalam suatu pertikaian yang terus berlangsung, RRC menuntut hak memerintah atas Taiwan dan pulau-pulau sekitarnya yang tidak pernah dilepaskan oleh Republik China. Pemerintah RRC mendakwa bahwa Republik China merupakan suatu entitas yang tidak lagi wujud dan secara administratif meletakkan Taiwan sebagai provinsi ke-23 RRC.
            Berlatar dari masalah itulah maka penulis mencoba mengangkat kondisi pemerintahan Republik Rakyat China -ditinjau dari segi politik, ekonomi maupun sosial masyarakat- dan menyajikannya kepada pembaca dengan harapan, dapat dijadikan rujukan dalam upayanya mengkritisi kebijakan pemerintah, serta mencoba menganalogikan situasi pemerintahan Republik Rakyat China dengan Nusantara: Negara Kesatuan Republik Indonesia.
D.        RUMUSAN MASALAH
            Setelah Perang Dunia II, Perang Saudara Cina antara Partai Komunis Cina dan Kuomintang berakhir pada 1949 dengan pihak komunis menguasai Cina Daratan dan Kuomintang menguasai Taiwan dan beberapa pulau-pulau lepas pantai di Fujian. Pada 1 Oktober 1949, Mao Zedong memproklamasikan Republik Rakyat Cina dan mendirikan sebuah negara komunis.
            Para pendukung Era Maoisme, yang terdiri dari kebanyakan rakyat Cina miskin dan lebih tradisionil atau nasionalis dan pemerhati asing yang percaya kepada komunisme, mengatakan bahwa di bawah Mao, persatuan dan kedaulatan Cina dapat dipastikan untuk pertama kalinya dalam beberapa dekade terakhir, dan terdapat perkembangan infrastruktur, industri, kesehatan, dan pendidikan, yang mereka percayai telah membantu meningkatkan standar hidup rakyat. Mereka juga yakin bahwa kampanye seperti Lompatan Jauh ke Depan dan Revolusi Kebudayaan penting dalam mempercepat perkembangan Cina dan menjernihkan kebudayaan mereka. Pihak pendukung juga ragu terhadap statistik dan kesaksian yang diberikan mengenai jumlah korban jiwa dan kerusakan lainnya yang disebabkan kampanye Mao.           Meskipun begitu, para kritikus rezim Mao, yang terdiri dari mayoritas analis asing dan para peninjau serta beberapa rakyat Cina, khususnya para anggota kelas menengah dan penduduk kota yang lebih terbuka pemikirannya, mengatakan bahwa pemerintahan Mao membebankan pengawasan yang ketat terhadap kehidupan sehari-hari rakyat, dan yakin bahwa kampanye seperti Lompatan Jauh ke Depan dan Revolusi Kebudayaan berperan atau mengakibatkan hilangnya jutaan jiwa, mendatangkan biaya ekonomi yang besar, dan merusak warisan budaya Cina. Lompatan Jauh ke Depan, pada khusunya, mendahului periode kelaparan yang besar di Cina yang, menurut sumber-sumber Barat dan Timur yang dapat dipercaya, mengakibatkan kematian 45 juta orang[2]; kebanyakan analis Barat dan Cina mengatakan ini disebabkan Lompatan Jauh ke Depan namun Mao dan lainnya mengatakan ini disebabkan musibah alam; ada juga yang meragukan angka kematian tersebut, atau berkata bahwa lebih banyak orang mati karena kelaparan atau sebab politis lainnya pada masa pemerintahan Chiang Kai Shek.
Setelah kegagalan ekonomi yang dramatis pada awal 1960-an, Mao mundur dari jabatannya sebagai ketua umum Cina. Kongres Rakyat Nasional melantik Liu Shaoqi sebagai pengganti Mao. Mao tetap menjadi ketua partai namun dilepas dari tugas ekonomi sehari-hari yang dikontrol dengan lebih lunak oleh Liu Shaoqi, Deng Xiaoping dan lainnya yang memulai reformasi keuangan.
            Pada 1966 Mao meluncurkan Revolusi Kebudayaan, yang dilihat lawannya (termasuk analis Barat dan banyak remaja Cina kala itu) sebagai balasan terhadap rival-rivalnya dengan memobilisasi para remaja untuk mendukung pemikirannya dan menyingkirkan kepemimpinan yang lunak pada saat itu, namun oleh pendukungnya dipandang sebagai sebuah percobaan demokrasi langsung dan sebuah langkah asli dalam menghilangkan korupsi dan pengaruh buruk lainnya dari masyarakat Cina. Kekacauan pun timbul namun hal ini segera berkurang di bawah kepemimpinan Zhou Enlai di mana para kekuatan moderat kembali memperoleh pengaruhnya. Setelah kematian Mao, Deng Xiaoping berhasil memperoleh kekuasaan dan janda Mao, Jiang Qing beserta rekan-rekannya, Kelompok Empat, yang telah mengambil alih kekuasaan negara, ditangkap dan dibawa ke pengadilan. Sejak saat itu, pihak pemerintah telah secara bertahap (dan telah banyak) melunakkan kontrol pemerintah terhadap kehidupan sehari-hari rakyatnya, dan telah memulai perpindahan ekonomi Cina menuju sistem berbasiskan pasar.
            Para pendukung reformasi keuangan – biasanya rakyat kelas menengah dan pemerhati Barat berhaluan kiri-tengah dan kanan – menunjukkan bukti terjadinya perkembangan pesat pada ekonomi di sektor konsumen dan ekspor, terciptanya kelas menengah (khususnya di kota pesisir di mana sebagian besar perkembangan industri dipusatkan) yang kini merupakan 15% dari populasi, standar hidup yang kian tinggi (diperlihatkan melalui peningkatan pesat pada GDP per kapita, belanja konsumen, perkiraan umur, persentase baca-tulis, dan jumlah produksi beras) dan hak dan kebebasan pribadi yang lebih luas untuk masyarakat biasa.
            Para pengkritik reformasi ekonomi –biasanya masyarakat miskin di Cina dan pemerhati Barat berhaluan kiri- menunjukkan bukti bahwa proses reformasi telah menciptakan kesenjangan kekayaan, polusi lingkungan, korupsi yang menjadi-jadi, pengangguran yang meningkat akibat PHK di perusahaan negara yang tidak efisien, serta telah memperkenalkan pengaruh budaya yang kurang diterima. Akibatnya mereka percaya bahwa budaya Cina telah dikorupsi, rakyat miskin semakin miskin dan terpisah, dan stabilitas sosial negara semakin terancam.
            Meskipun ada kelonggaran terhadap kapitalisme, Partai Komunis Cina tetap berkuasa dan telah mempertahankan kebijakan yang mengekang terhadap kumpulan-kumpulan yang dianggap berbahaya, seperti Falun Gong dan gerakan separatis di Tibet. Pendukung kebijakan ini –biasanya penduduk pedesaan dan mayoritas kecil penduduk perkotaan- menyatakan bahwa kebijakan ini menjaga stabilitas dalam sebuah masyarakat yang terpecah oleh perbedaan kelas dan permusuhan, yang tidak mempunyai sejarah partisipasi publik, dan hukum yang terbatas. Para pengkritik – umumnya minoritas dari rakyat Cina, para rakyat pelarian Cina di luar negeri, penduduk Taiwan dan Hong Kong, etnis minoritas seperti bangsa Tibet dan pihak Barat, mengatakan bahwa kebijakan ini melanggar hak asasi manusia yang dikenal komunitas internasional, dan mereka juga mengklaim hal tersebut mengakibatkan terciptanya sebuah negara polisi, yang menimbulkan rasa takut.

BAB II
PEMBAHASAN


            Bangsa China merupakan salah satu bangsa yang paling awal memasuki zaman sejarah. Dengan kemampuan menulisnya, bangsa China secara bertahap berhasil mengembangkan kebudayaan mereka menjadi terkemuka dibanding bangsa lainnya.
            Posisi bangsa China yang pertama kali memasuki era sejarah menyebabkan perkembangan China terbagi atas beberapa periode (periodisasi) yakni:
  1. Pra Sejarah
  2. Zaman Klasik
  3. Zaman Madya
  4. Zaman Pra Modern
  5. Zaman Modern
            Jika mencoba menelusuri jejak pemerintahan China sejak zaman klasik, barangkali tepat jika pemerintahan China di zaman tersebut menjadi pondasi berdiri tegaknya Republik Rakyat China di masa sekarang. Adalah pemerintahan dinasti Zhou, Qin, dan Han Barat yang memimpin China dalam pembabakan zaman klasik
            Pada zaman klasik, pemerintahan China menekankan pada sistem feodalisme atau sistem Fengjian yang dapat diterjemahkan sebagai pemerintahan yang berdasar pada sistem peminjaman tanah. Sebagai sistem pemerintahan, feodalisme dapat dipahami sebagai tata pemerintahan yang berbentuk hirarki peminjaman tanah (H. Purwanta, 2009:3). Raja sebagai penguasa tertinggi kemudian meminjamkan tanah kepada para anggota keluarga dan pembantunya yang setia. Bangsawan yang menerima pinjaman tanah itu (bangsawan feodal) meminjamkan tanah tersebut kepada pembantunya, dan proses tersebut terus berlangsung hingga tingkat terbawah, yaitu petani.
            Ketika masa kekuasaan dinasti Zhou berakhir dan digantikan dengan dinasti Qin, maka sistem pemerintahan sebelumnya pun mengalami pergeseran konsep, sehingga sering disebut sebagai masa uji coba penerapan sistem politik baru yang sewaktu-waktu dapat bersifat ekstrim. Pemerintahan dinasti Qin dilekatkan dengan penerapan hukum yang ketat dari aliran Faji yang berpendapat bahwa masyarakat menjadi lebih baik jika sanksi dan peraturan diberlakukan dalam skala nasional. Pada pemerintahan dinasti Qin pula kedudukan penguasa daerah merosot dan hanya bertindak sebagai kepanjangan tangan pemerintah pusat. Akibatnya penguasa daerah tidak lagi memiliki hak politik di daerahnya sendiri.
            Lebih lanjut pada pemerintahan dinasti Han Barat yang memerintah dari tahun 206 SM-8 Masehi memilih untuk bersikap eklektif. Dinasti Han tidak seutuhnya mengadopsi sistem feodal dinasti Zhou maupun pemerintahan sentralistik dinasti Qin, melainkan menggabungkan kedua sistem pemerintahan tersebut dalam wilayah yang berbeda. Selain sikap eklektif dituangkan dalam sistem pemerintahan, sikap tersebut juga berlaku pada bidang ideologi yang menggabungkan aliran Falji dengan Konfusianisme.
            Selanjutnya, dominasi kekuasaan politik sangat berpengaruh terhadap perkembangan China. Pada umumnya, kekuasaan politik diartikan sebagai kemampuan untuk mempengaruhi pembuatan kebijakan atau keputusan umum maupun akibat-akibatnya sesuai dengan tujuan dan kepentingan pemegang kekuasaan. Dilihat dari asal-usulnya, kekuasaan politik dibagi dua yakni kekuasaan politik yang diperoleh melalui persetujuan dan kekuasaan politik tanpa persetujuan. Sementara ditinjau dari kepercayaan tentang asal usul kekuasaan, penguasa China memiliki kekuasaan dan kedudukan tertinggi serta wewenang untuk memerintah seluruh permukaan bumi. Tentu tidak menutup kemungkinan jika penguasa China berada di bawah supremasi kekuatan politik lain. Maka beberapa aspek seperti pengalaman, warisan genetis, motivasi, tujuan atau cita-cita penguasa China yang kadang bertolakbelakang dengan realita kondisi bangsa, menjadi aspek yang penting dipertimbangkan dalam pembuatan keputusan politik.
A.        Kondisi Politik Pemerintahan China
            Menurut definisi resminya, RRC merupakan suatu negara komunis karena ia memang merupakan negara komunis pada abad ke-20 yang lalu. Secara resmi ia masih dikenal sebagai negara komunis, meskipun sejumlah ilmuwan politik kini tidak mendefinisikannya sebagai negara komunis. Tiada definisi yang tepat yang dapat diberikan kepada jenis pemerintahan yang diamalkan negara ini, karena strukturnya tidak dikenal pasti. Salah satu sebab masalah ini ada adalah karena menurut sejarahnya, China merupakan negara yang diperintah oleh para kaisar selama 2000 tahun dengan sebuah pemerintahan pusat yang kuat dengan pengaruh Kong Hu Cu. Setelah tahun 1911 pula, China diperintah secara otokratis oleh KMT dan beberapa panglima perang dan setelah 1949 pula didobrak partai komunis China.
            Rezim PRC sering dikatakan sebagai otokratis, komunis dan sosialis. Ia juga dilihat sebagai kerajaan komunis. Anggota komunis yang bersayap lebih ke kiri menjulukinya negara kapitalis. Memang, negara China semakin lama semakin menuju ke arah sistem ekonomi bebas. Dalam suatu dokumen resmi yang dikeluarkan baru-baru ini, pemerintah menggariskan administrasi negara berdasarkan demokrasi, meskipun keadaan sebenarnya di sana tidaklah demikian.
            Pemerintah RRC dikawal oleh Partai Komunis China (CCP). Walaupun terdapat sedikit-banyak gerakan ke arah liberalisasi, seperti pemilu yang sekarang diadakan di tiap kampung dan sebagian lagi di badan perwakilan menampakkan sikap tegas mereka dari masa ke masa, partai ini terus memiliki kawalan terutama atas pemilihan jabatan-jabatan pemerintahan. Walaupun negara menggunakan cara otokratis untuk mengusir elemen-elemen penentangan terhadap pemerintahannya, ia pada masa yang sama juga mencoba mengurangi penentangan dengan memajukan ekonomi, membenarkan tunjuk perasaan pribadi, dan melayani para penentang yang dianggap tidak berbahaya terhadap pemerintah secara lebih adil.
            Penyaringan terhadap dakyah-dakyah politik juga rutin, dan RRC secara berang menghapuskan protes atau organisasi apapun yang dianggapnya berbahaya terhadap pemerintahannya, seperti yang terjadi di Tiananmen pada tahun 1989. Akan tetapi, media republik rakyat ini semakin aktif menyiarkan masalah sosial dan menghebohkan gejala 'penyogokan' di peringkat bawahan pemerintahan. RRC juga begitu berhasil menghalangi gerakan informasi, dan ada masanya mereka terpaksa mengganti polisi mereka sebagai tindakan balas terhadap protes rakyat. Walaupun penentangan berstruktur terhadap CCP tidak dibenarkan sama sekali, demonstrasi rakyat semakin lama semakin kerap dan dibiarkan. Baru-baru ini, Hu Jintao yang ingin memopulerkan gambaran konservatif, meningkatkan pengawalan pemernitahan atas harian-harian, termasuk harian-harian luar termasuk New York Times. Namun tidak dinafikan ini kemungkinan juga bersumber dari sifat harian-harian Barat yang sering menyeleweng dalam memberi laporan yang sebenarnya dan bersifat angkuh dan biadab serta tidak faham sensitivitas negara Timur.
            Popularitas PKC di kalangan rakyat sukar diukur, karena tiada pemilu di tingkat nasional, dan apabila orang China ditanya secara pribadi, ada sebagian yang mendukung dan ada pula yang menolak. Secara umum, banyak dari mereka yang suka akan peranan pemerintah dalam usaha stabilitasi, yang memperbolehkan ekonomi maju tanpa masalah apapun. Antara masalah-masalah politik yang utama di China adalah jurang sosial di antara kaya dan miskin dan gejala suap yang berlaku karena biokrasi pemerintahan.
            Terdapat juga partai politik yang lain di RRC, walaupun mereka hanya sekadar sub-partai atau parti yang rapat dengan PKC. PKC mengadakan dialog dengan mereka melalui suatu badan perhubungan khusus, yang dinamai Dewan Perhubungan Cadangan Rakyat China (CPPCC) yang dipertimbangkan RRC. Cara ini lebih disukai pemerintahan dibandingkan pemilu. Kendati begitu, partai ini secara total tidak memberi kontribusi apapun terhadap pemerintahan. Fungsi badan perhubungan khusus ini lebih kepada muatan CPP, walau pegawai badan ini terbagi juga dalam berbagai tingkat pemerintahan.


B.        Hubungan Luar Negeri Pemerintah Republik Rakyat China
            Republik Rakyat China mempertahankan hubungan diplomatik dengan hampir seluruh negara di dunia, namun menetapkan syarat bahwa negara-negara yang ingin menjalin kerjasama diplomatik dengannya harus menyetujui klaim China terhadap Taiwan dan memutuskan hubungan resmi dengan pemerintah Republik China. China juga secara aktif menentang perjalanan ke luar negeri yang dilakukan pendukung kemerdekaan Taiwan seperti Lee Teng-hui dan Chen Shui-bian serta Tenzin Gyatso, Dalai Lama ke-14.
            Pada 1971, RRC menggantikan Republik China sebagai wakil untuk "China" di PBB dan sebagai salah satu dari lima anggota tetap Dewan Keamanan PBB. China juga pernah menjadi anggota Gerakan Non-Blok, dan kini tetap berperan sebagai anggota pengamat. Banyak dari kebijakan luar negerinya yang sekarang didasarkan pada konsep kebangkitan China yang damai.
            Hubungan China-Amerika telah dirusak beberapa kali dalam beberapa dekade terakhir. Titik-titik permasalahan termasuk pengeboman AS terhadap kedubes China di Belgrado pada tahun 1998 yang menewaskan tiga wartawan China, sebuah insiden yang disebut China sebagai kesengajaan namun oleh AS dinyatakan sebagai suatu kesalahan; jatuhnya pesawat AS di Tiongkok pada tahun 2001, di mana China menahan 24 awak pesawat tersebut dan merebut informasi yang sensitif dari pesawat tersebut, serta laporan Cox yang mengungkap aksi mata-mata China terhadap rahasia nuklir AS beberapa dekade sebelumnya.
            Hubungan China-Jepang seringkali dibelenggu masalah keengganan Jepang untuk mengakui kesalahan dan meminta maaf terhadap kekejamannya atas rakyat China dan negara Asia lain semasa Perang Dunia II, terutama dalam Pembantaian Nanjing. Sebagian badan bukan dari Barat dan pemerintah Barat mengkritik China karena menafikan hak asasi manusia dan hubungan luar negerinya dengan pemerintah-pemerintah Barat terjejas oleh kejadian di Tian'anmen pada tahun 1989. Hak asasi manusia seringkali diungkit oleh pemerintahan-pemerintahan ini. Meskipun begitu, dengan pembangunan ekonomi China yang mendadak, pemerintahan-pemerintahan ini mulai menutup sebelah mata karena mau mengadakan hubungan perdagangan dengan China, sejajar dengan sikap hipokrit mereka. Ini dilihat semasa pemerintahan Bill Clinton di AS pada masa yang lalu, yang melihat isu hak azasi manusia tidak lagi ditekankan dalam perhubungan.
            Pada bulan Mei tahun 1999, suatu pesawat perang B-2 Stealth Bomber menjatuhkan tiga buah bom yang setiap masing-masing berbobot 900 kg atas kantor kedutaan besar China di kota Beograd semasa pergolakan Kosovo. Bom-bom ini membunuh tiga rakyat China yang bekerja di kedutaan terkait. Amerika Serikat yang enggan bertanggung jawab atas kejadian yang disifatinya sebagai 'bencana' itu mengatakan bahwa hal itu adalah kesalahan menggunakan peta lama yang memberi maklumat tidak betul tentang kedudukan bangunan itu sebagai pangkalan senjata pemerintahan Yugoslavia. Pemerintah RRC tidak puas dengan penjelasan ini dan mendakwa bahwa hal itu sengaja dilakukan. Pada bulan April tahun 2001 pula, kapal terbang pengintip milik Amerika bernama EP-3E Aries II yang berada di atas pulau Hainan di China bertemu dengan pesawat jet China yang memperhatikan gerak-gerinya. Pesawat Cina terkait terhempas dan pemandunya terbunuh saat kapal pengintai AS terpaksa mengadakan pendaratan darurat di pulau Hainan. Cerita Amerika dan China mengenai kejadian ini mengalami perbedaan versi. Versi Amerika menyatakan bahwa pesawatnya berada di atas lautan internasional sedangkan RRC mendakwa ia berada di atas Zona Ekonomi Eksklusifnya. Kedua belah pihak menyalahkan pihak lawan bertanggung jawab atas insiden ini. 24 anak kapal Amerika ditahan selama 12 hari sebelum dilepaskan dan kejadian ini memberi dampak pada hubungan diplomatik kedua negara. Amerika pula tidak sedikit pun meminta maaf atas kesalahan yang dilakukannya saat pemerintah RRC mengambil keputusan atas dasar kasihan melepaskan anak-anak kapalnya itu. Satu lagi perkara terkait dengan laporan Cox, yang mendakwa pengitipan RRC telah mengkompromi rahasia-rahasia nuklir Amerika Serikat selama beberapa dekade.
            Selain Taiwan, China terlibat dalam beberapa pertentangan wilayah lainnya:
  • Aksai Chin, dikuasai China, diklaim oleh India
  • Kepulauan Paracel, dikuasai China, diklaim oleh Vietnam dan Republik China
  • Kepulauan Spratly, dipertentangkan antara China, Taiwan, Malaysia, Vietnam, Filipina, dan Brunei Darussalam
  • Kepulauan Diaoyu/Kepulauan Senkaku, dikuasai Jepang, diklaim oleh Cina dan Republik China
  • Arunachal Pradesh/Tibet Selatan, dikuasai India, diklaim oleh China
            Pada tahun 2004, negara Rusia setuju untuk menyerahkan Kepulauan Yinlong dan sebagian Kepulauan Heixiazi kepada RRC, dan sekaligus menamatkan percekcokan perbatasan antara kedua negara itu. Kedua pulau ini terletak di antara persimpangan sungai Amur dan sungai Ussuri, dan sebelum itu diatur oleh Rusia dan dituntut oleh RRC. Perkara ini sepatutnya merapatkan dan mengeratkan persahabatan antara kedua negara, akan tetapi terdapat sedikit rasa tidak puas hati dari kedua belah pihak. Orang Rusia menyifati pemberian itu sebagai kelemahan pemerintahannya mempertahankan tanah yang dirampas semasa Perang Dunia II. Petani Cossack di Khabarovsk juga tidak suka dengan kehilangan tanah olahan mereka sementara berita tentang perjanjian ini di Cina Daratan disaring oleh pemerintah RRC. Sebagian komunitas China di Republik China dan orang China yang dapat mengatasi saringan ini mengkritik perjanjian ini dan menyifatinya sebagai pengakuan pemerintahan Rusia atas Mongolia Luar yang diserahkan oleh Dinasti Qing saat kalah perang di bawah Perjanjian Tidak Sama Rata termasuk Perjanjian Aigun pada tahun 1858 dan Konvensi Peking pada tahun 1860 masa terdahulu sebagai pengganti penggunaan ekslusif minyak mentah Rusia. Perjanjian ini telah disahkan oleh Kongres Nasional Rakyat China dan Duma Negara Rusia tetapi tidak terlaksana hingga kini.
C.        Isu-Isu Pemerintahan Republik Rakyat China
  1. Isu Hak Asasi Manusia
      Pemerintah RRC berpendapat bahwa hak asasi manusia sepatutnya mencakup kepuasan hidup dan kemajuan ekonomi. Dengan kata-kata berlainan, saat mengkaji dirinya, ia melihat kemajuan ekonomi dan kepuasan hidup rakyatnya sebagai meningkatkan situasi hak asasi manusianya, dan saat melihat situasi di negara-negara maju ia seringkali menotakan terdapat tingkat kriminalitas dan kemiskinan yang tinggi di tempat-tempat yang dikatakan mempunyai penghormatan terhadap hak asasi manusia yang tinggi. Praktek melihat HAM seperti ini, diamalkan di kebanyakan negara timur yang lain.
      Tetapi pemerintah Barat dan organisasi non-pemerintahan (NGO) mereka mengatakan bahwa penahanan secara sewenang-wenang dan menafikan hak tahanan untuk berkomunikasi dengan pihak luar, di samping pengakuan yang dipaksa, penyiksaan, dan pencabulan hak tawanan disamping menyekat kebebasan pers, bersuara, berkumpul, agama, privasi, dan hak pekerja adalah melanggar definisi hak asasi manusia mereka. Mereka mendakwa semua masalah ini bersumber pada keengganan kerajaan RRC memberikan hak menentang dan ketidaksempurnaan sistem kehakiman dalam melindungi hak asasi politik individu.
  1. Isu Etnis
      RRC mendakwa ia merupakan satu negara yang memiliki banyak bangsa dan suku dan memberikan hak otonomi di Daerah Administrasi Minoritas kapada etnik bangsa minoritasnya. Ia juga mengutuk secara resmi chuvanis Han dan memberikan hak istimewa kepada suku-suku lain untuk memasuki institusi pendidikan tinggi disamping menjadi pegawai pemerintahan. Akan tetapi ia berhadapan dengan gerakan merdeka di provinsi Xizang (Tibet) dan provinsi Xinjiang. Gerakan merdeka yang diwarnai aksi bicara para kritikus yang mengkritik dasar-dasar etnisnya dalam pemberlakuan sistem pemberian uang menggalakkan bangsa China Han berpindah ke kawasan lain sebagai perwujudan chauvanis dan penjajahan yang menyekat gerakan merdeka menuju keberhasilan. Bangsa China Han juga mengkritik dasar-dasar pemberian hak istimewa kepada etnik minoritas lain sebagai layanan kelas kedua terhadap mereka.
D.        Pembagian Wilayah Administratif
            Republik Rakyat China mempunyai kontrol administratif terhadap 22 provinsi (省); pemerintah RRC menganggap Taiwan (台湾) sebagai provinsi ke 23. Pihak pemerintah juga mengklaim Kepulauan Laut China Selatan yang kini masih diperebutkan. Selain dari provinsi-provinsi tersebut, terdapat juga 5 daerah otonomi (自治区) yang berisi banyak etnis minoritas; 4 munisipaliti (直辖市) untuk kota-kota terbesar China dan 2 Daerah Administratif Khusus (SAR) (特别行政区) yang diperintah RRC.
            Berikut adalah daftar wilayah pembagian administratif yang di bawah kontrol RRC.
1.         Provinsi
  • Anhui (安徽)
  • Fujian (福建)
  • Gansu (甘肃)
  • Guangdong (广东)
  • Guizhou (贵州)
  • Hainan (海南)
  • Hebei (河北)
  • Heilongjiang (黑龙江)
  • Henan (河南)
  • Hubei (湖北)
  • Hunan (湖南)
  • Jiangsu (江苏)
  • Jiangxi (江西)
  • Jilin (吉林)
  • Liaoning (辽宁)
  • Qinghai (青海)
  • Shaanxi (陕西)
  • Shandong (山东)
  • Shanxi (山西)
  • Sichuan (四川)
  • Yunnan (云南)
  • Zhejiang (浙江)
2.         Daerah otonomi
  • Guangxi (广西)
  • Mongolia Dalam (内蒙古)
  • Ningxia (宁夏)
  • Xinjiang (新疆)
  • Tibet (西藏)
3.         Kotamadya
  • Beijing (北京)
  • Chongqing (重庆)
  • Shanghai (上海)
  • Tianjin (天津)
4.         Daerah Administratif Khusus
  • Hong Kong (香港)
  • Makau (澳门)
5.         Dituntut oleh RRC, tetapi diperintah oleh Republik Cina
            Taiwan (台湾) (dipertikaikan)
6.         Dituntut Republik Cina, tetapi dilepaskan RRC
            Mongolia Luar (kini sebuah negara berdaulat yang dikenal sebagai Mongolia)


BAB III
PENUTUP



            Para pemimpin yang memulai langkah-langkah untuk mengubah masyarakat China setelah berdirinya RRC pada 1949 dibesarkan dalam lingkungan tua dan telah diajarkan norma hidup sesuai dengan lingkungan hidupnya. Meskipun mereka merupakan revolusioner yang mampu beradaptasi dengan zamannya, mereka tidak ingin mengubah budaya China secara besar-besaran. Sebagai pemerintah langsung, para pemimpin RRC mengganti aspek tradisional seperti kepemilikan tanah di desa dan pendidikan tetapi masih menyisakan aspek-aspek lainnya, misalnya struktur keluarga. Kebanyakan pemerhati luar berpendapat bahwa waktu setelah 1949 bukanlah sesuatu yang berbeda di RRC dibandingkan dengannya sebelum itu, malah merupakan penerusan cara hidup yang berpegang pada nilai-nilai lama masyarakat China. Pemerintah baru diterima tanpa protes apapun karena pemerintahan baru dianggap "mendapat mandat dari surga" untuk memerintah, mengambil-alih pucuk kepemimpinan dari kekuasaan lama dan mendapat rida para dewa. Seperti pada zaman lampau, pemimpin seperti Mao Zedong telah disanjung. Pergantian dalam masyarakat RRC tidak konsisten seperti yang didakwa.
            Sepanjang masa pemerintahan RRC, banyak aspek budaya tradisi China dianggap sebagai seni lukis, peribahasa, bahasa, dan sebagainya yang lain telah coba dihapus oleh pemerintah seperti yang terjadi pada Revolusi Kebudayaan karena didakwa kolot, feodal dan berbahaya. Semenjak itu, China telah menyadari kesalahannya dan mencoba untuk memulihkannya semula, seperti reformasi Opera Beijing untuk menyuarakan propaganda komunisnya. Dengan berlalunya waktu, banyak aspek tradisi China telah diterima kerajaan dan rakyatnya sebagai warisan dan sebagian jati diri China. Dasar-dasar resmi pemerintah kini dibuat berlandaskan kemajuan dan penyambung peradaban RRC sebagai sebagian identitas bangsa. Nasionalisme juga diterapkan kepada pemuda untuk memberi legitimasi kepada pemerintahan Partai Komunis China.


 
DAFTAR PUSTAKA


Purwanta, H. 2009. Sejarah Cina Klasik. Yogyakarta: Universitas Sanata Darma
www.wikipedia.org/Republik.Rakyat.China

1 komentar: