Selasa, 22 November 2011

KEMUNDURAN DI JAWA DAN PENETRASI KUMPENI (Disarikan dari buku Sartono Kartodirdjo, PENGANTAR SEJARAH INDONESIA BARU 1500-1900)





“Pengantar Sejarah Indonesia Baru 1500-1900: Dari Emporium Sampai Imperium”
Tulisan Sartono Kartodirdjo


KEMUNDURAN DI JAWA DAN PENETRASI KUMPENI


1.      Diplomasi VOC terhadap Mataram, Trunajaya, dan Kontingen Makassar/Bugis
Situasi politik yang terjadi pada awal 1667 di Jawa penuh oleh peperangan dengan penguasaan Trunajaya di Jawa Timur dan Mataram di Jawa Tengah.  Penguasaan ini menyebabkan terbukanya peluang VOC untuk melakukan perundingan dengan Mataram untuk memperkuat perdagangan dan kedudukan politiknya di Jawa meski masih berdiri pula partai anti-Belanda (golongan oposisi) yang justru memenangkan posisi Trunajaya. Kumpeni yang mengakui kebesaran kekuasaan Trunajaya kemudian membatasi kegiatan Trunajaya dengan perundingan-perundingan yang dijalankan. Lebih lanjut VOC mulai menekan kekuasaan Trunajaya dengan datangnya kontingen Makassar di Madura serta konflik antar keduanya. Akan tetapi gagalnya usaha VOC untuk mendekati kontingen Makassar menyebabkan VOC mengambil langkah lain untuk mempertahankan kedudukannya di Jawa yakni dengan mengeksploitasi semangat pro-Kumpeni dan bersekutu dengan musuh-musuh fanatik para pribumi. Speelman yang ditunjuk sebagai duta kemudian membuka perundingan dengan Mataram dan kemudian menjadi proses tawar menawar yang cukup rumit. Hal ini disebabkan kondisi yang dihadapi VOC sangat berat, jauh melampaui kemampuan Mataram, yakni pembayaran ganti rugi operasi-operasi yang dilakukan VOC tersebut. Pada akhirnya kesepakatan dapat dicapai pada April 1677 dengan pokok-pokok sebagai berikut:
  • Kumpeni akan membantu Mataram memerangi musuhnya dengan penggantian biaya perang;
  • batas Sungai Krawang tetap dipertahankan;
  • saling mengekstradisi budak-budak pelarian;
  • VOC bebas dari bea-cukai untuk menjual barang dagangannya;
  • VOC diberi izin membangun loji di daerah Mataram;
  • setiap tahun Mataram akan menyediakan empat ribu pikul beras kepada VOC dengan harga yang berlaku, dan hak-hak istimewa lainnya.

Perundingan dengan Trunajaya dianggap tepat karena Trunajaya tengah berkonflik dengan kontingen Makassar. Perundingan mulai menemui jalan buntu ketika Trunajaya menolak mengakui Sunan sebagai suzereinnya sehingga menyebabkan Speelman harus turun tangan. Jalan akhir hanyalah perang dan penyerangan Surabaya (13 Mei 1667) oleh Kumpeni menyebabkan Trunajaya menyelamatkan diri ke Kediri. Speelman lalu mengintervensi Madura melalui pengaruh Kumpeni yakni dengan menempatkan tokoh-tokoh pro-Kumpeni sebagai penguasa namun mengalami kegagalan. Sementara itu kabar penyerbuan Mataram oleh Trunajaya berhembus makin kuat, dan kekuatan Kumpeni menjadi satu-satunya tumpuan untuk menghentikannya.

2.      Serangan Trunajaya dan Jatuhnya Amangkurat I (1677)
Basis-basis pesisir Kumpeni di Jawa Timur dan Madura kemudian jatuh ke tangan para pasukan mereka dan Trunajaya bersurutmundur ke Kediri dengan harapan memperkuat legitimasinya sebagai pewaris kerajaan Majapahit. Selain itu ia juga memproklamirkan gerakannya sebagai gerakan anti-kafir dalam perlawanannya atas Mataram yang telah bersekutu dengan Kumpeni. Gagasan gerakannya ini mengundang simpati berupa kekuatan politik Banten, Wangsa Kajoran, dan Panembahan Giri, yang bertolakbelakang dengan Mataram dan justru menimbulkan perpecahan. Di lain sisi, pergolakan yang timbul ternyata memberikan keleluasaan para penguasa local untuk memperluas pengaruhnya. Serangan atas keraton Mataram –secara tidak langsung memberi pukulan hebat kepada Wangsa Mataram- ternyata tidak mampu dihalau VOC yang antara lain disebabkan oleh:
  • pasukan di Jawa Timur sangat lemah karena diserang penyakit dan kekurangan makanan;
  • bala bantuan yang kuat tak dapat dikirim ke medan pertempuran karena Banten tetap merupakan ancaman terhadap loji di Batavia.

Bantuan dari Wangsa Kajoran yang sebelumnya juga kontra dengan Mataram turut menyumbang kegagalan Mataram menangkis serangan atas wilayahnya yakni dengan mengerahkan rakyat Madiun dan Panaraga untuk menutup jalan-jalan menuju ke Mataram sehingga memutus hubungan dengan Mancanegara bagian timur. Barisan penyerbu dari Timur di bawah Mangkuyuda yang berjumlah seratus ribu orang itu (berasal dari berbagai daerah di Jawa Timur seperti Surabaya, Gresik, Sedayu, dan lainnya) berjaga di Layang dekat Semanggi tepi Bengawan Sala. Sementara itu barisan dari Utara yang berkonsentrasi di Semarang memiliki pasukan sejumlah lima puluh ribu orang dan terus bergerak maju menduduki Semarang, Ambarawa lalu berhenti di Pingit. Barisan Timur juga bergerak dan berhasil merebut Pandan dan Biru sekaligus memukul mundur pasukan Mataram di sana. Pertempuran sengit melawan pasukan keraton di Taji sebenarnya lebih mengunggulkan Mataram, akan tetapi percekcokan antar pangeran tidak dapat dihindarkan. Hal ini menyebabkan goyahnya pertahanan Mataram dan Sunan pun mengungsi sebelum keraton berhasil diduduki barisan Mangkuyuda dan Wiramenggala. Sunan Amangkurat I beserta rombongan meninggalkan keraton pada 28 Juni 1677 dengan tujuan menemui Admiral Speelman. Lebih dulu ia kunnjungi makam-makam Imagiri dan dilanjutkannya perjalanan ke arah Barat melewati Jagabaya, Rawa, Bocor, Patanahan, Nampudadi dan berakhir dengan meninggalnya Sunan Amangkurat I di Tegalwangi. Di sanalah beliau dimakamkan.

3.      Kekacauan, Kekosongan Tahta Mataram, Intervensi Kumpeni
Sepeninggal Sunan Amangkurat I, Pangeran Adipati Anom kemudian mencari perlindungan Kumpeni. Sementara itu Martalaya yang membentuk barisan untuk merestorasi kerajaan berrencana membentuk persekutuan dengan Banten untuk memperjuangkan status daerah Tegal yang otonom. Selain itu kekacauan Mataram dan kesibukan Kumpeni di sana tampaknya membuka peluang untuk menguasai Cirebon dan memindahkan ketiga pangeran sebagai sultan dan diharuskan tinggal di Banten. Sunan Ageng juga mendekati kedua saudara Amangkurat II yang kemudian memproklamirkan diri sebagai Susuhunan, Pangeran Puger dan Pangeran Singasari, untuk melawan VOC.
Di tengah kekuasaan Amangkurat II yang melemah, eskpedisi Speelman berhasil merebut kembali Semarang, Kudus, dan Pati sekaligus menyuarakan tuntutannya berupa penguatan perjanjian 19 Oktober 1667 beserta perluasannya (ganti rugi ongkos perang VOC). Fasal-fasal yang penting ialah:
  • Semua pelabuhan dari Krawang sampai Ujung Timur Jawa diserahkan dalam kekuasaan VOC yang berhak atas segala pendapatan dan hasilnya sampai semua utang Mataram dilunasi; Mataram hanya berkuasa atas daerah-daerah itu sebagai “gaduhan” atau “pegangan”
  • Batas daerah VOC di Jawa Barat digeser sampai Sungai Pamanukan; monopoli impor tenunan dan permadani Parsi oleh VOC di pelabuhan Mataram
  • Penyerahan daerah Semarang kepada VOC
  • Pembagian daerah pesisir Jawa Tengah dan Timur atas dua daerah pemerintahan, yang bagian Barat di bawah T. Martalaya dari Tegal dan yang bagian Timur di bawah T. Martapura dari Jepara.

Pasukan di bawah Martalaya dan Martapura kemudian mengadakan serangan balasan sehingga Pati, Kudus, dan Juana dapat direbut kembali. Konflik antara Trunajaya dan K. Galesong memudahkan Couper merebut Surabaya kembali dan menyebabkan Trunajaya memusatkan pertahanannya di Kediri. Barisan Mataram mengalami perpecahan dikarenakan persengkokolan Martalaya dengan pihak Banten, Trunajaya dan Pangeran Puger. Dalam keributan itulah ditangkap Martalaya, Martapura dan Martalaya yang menyebabkan ketiganya terbunuh.

4. Serangan Balasan, Jatuhnya Kediri, dan Akhir Gerakan Trunajaya
Barisan Trunajaya dengan pusat pertahanannya di Kediri melakukan serbuan-serbuan ke daerah Jagaraga (Madiun) dan Berbek (Kediri). Kediri direncanakan untuk digempur pasukan Antonie Hurdt, maka pada 5 September 1678 ia bersama pasukannya bergerak melewati Grobogan. Selama sebulan antara 24 Oktober dab 28 November dilakukan persiapan untuk serangan umum terhadap Kediri, di antaranya dengan membuat perahu-perahu. Kondisi politik kemudian memihak pihak Trunajaya setelah gagalnya perundingan dengan VOC dan K. Galesong. Penguasa Tuban dan Sedayu menyatakan loyalitasnya kepada Sunan,dan Trunajaya berhasil meninggalkan keratonnya yang menyebabkan kembalinya mahkota dan pusaka-pusaka Amangkurat II lain dari tangan kumpeni, yakni pada 27 November 1678. Jatuhnya Kediri ke tangan VOC membuat Trunajaya memperkuat barisannya di daerah pegunungan di kompleks Kelud dan Penanggungan. Akan tetapi tempat tersebut kemudian diserang oleh pasukan Arung Palaka setelah sebelumnya menyerang pertahanan K. Galesong pada 9 September 1679. Kekalahan K. Galesong menjadikannya mundur ke daerah Malang. Sementara itu Arung Palaka membuat pertahanan di Batu dengan membuat keraton dan berpagar. K. Galeosng yang kalah tadi lantas mengadakan perundingan dengan komandan pasukan VOC, dan mencoba memisahkan kontingen Makassar dengan Madura. Kesepakatan lalu dicapai dengan persyaratan bahwa K. Galesong tidak akan menghalangi pasukan kompeni dalam melawan Trunajaya.
Meski telah diserang oleh pasukan kompeni namun pengaruh Trunajaya masih sangat besar di mata masyarakat terutama masyarakat Kediri, Kertasana, Panaraga, Madiun, dan Madura. Hal ini mendorong kompeni untuk lebih gencar melawan kekuatan Trunajaya, yakni dengan menyerang wilayah Ngantang dan Batu. Pertahanan di kedua wilayah tersebut akhirnya jatuh di tangan kompeni (Couper). Selanjutnya, timbul ketegangan antara Sunan dengan Arung Palaka karena adanya desas desus kedekatan Arung Palaka dengan Trunajaya. Padahal kenyataannya Sunan menjauhkan diri dari Arung Palaka dan pihak kompeni tidak menyertakan Arung Palaka dalam operasi penangkapan Trunajaya. Sunan kemudian mencari jalan pendekatan kepada Trunajaya dengan menganggap Trunajaya sebagai kawula dan bersikap bersahabat. Trunajaya lantas menginginkan Sunan untuk menjauhi orang kompeni karena Jawa akan dinasranikan oleh kompeni tersebut. Akan tetapi Sunan tetap beraliansi dengan VOC dan mengakibatkan pengiriman Jonker dengan pasukan Ambon untuk mengejar Trunajaya di Gunung Limbangan dan Sunan meminta untuk menyerahkan Trunajaya kepadanya. Terbatasnya waktu sehingga mengakibatkan Trunajaya gagal mengadakan perundingan dan akhirnya pasukan Trunajaya yang berjumlah kurang lebih tiga ribu orang itu terkepung dalam kondisi kelaparan dan kemudian mereka menyerah. Trunajaya beserta para pengikutnya kemudian menyerah tanpa syarat pada 26 Desember 1679. Tersiar kabar bahwa Trunajaya masih akan menyusun strategi pemberontakan dari dalam tahanan, dan Sunan menginginkan Trunajaya dihadapkan padanya dengan maksud memenuhi sumpah keris Kyai Balabar, bahwa tidak akan dipakaikan sarung besar sebelum dipergunakan untuk menusuk dada Trunajaya. Sunan dan para mentri kemudian menusuk dada Trunajaya secara bergiliran pada 2 Januari 1680.
Tokoh lain yang menjadi sentral perlawanan kompeni adalah Panembahan Giri meski anak-anaknya banyak yang membela Sunan (dengan maksud menghasut pihak-pihak yang melawan kompeni serta sekutunya). Kematian Trunajaya kemudian dijadikan alasan Sunan untuk menyerang Gresik, tempat kedudukan Panembahan Giri, dan kota Gresik pun jatuh. Panembahan Giri beserta keluarganya dihukum mati, dan menjadikan hampir punahnya Wangsa Giri kecuali seorang saja, Mas Giri, kemenakan Panembahan Giri, yang diangkat sebagai juru kunci makam Sunan Giri dengan dibantu dua orang pejabat. Gerakan Pangeran Puger juga hampir sirna dengan sebelumnya menyiarkan kampanye untuk menjatuhkan Amangkurat II. Sebelum rakyat terhasut, maka tempat keraton lama milik Pangeran Puger diserbu dan Pangeran Puger pun mengungsi ke Bagelen dan lantas bergerak ke arah Kartasura untuk menggempur keraton baru tepatnya pada bulan Agustus 1681. Ia bersama pasukannya ternyata dapat dipukul mundur sehingga ia menyerah kepada Couper pada 28 November 1681. Gerakan kaum Kajoran di Gunung Kidul juga mengancam eksistensi Mataram, dan mendekati Kartasura pada pertengahan 1683 namun dapat dihancurkan. Pimpinannya, Wanakusuma, masih mampu menyelamatkan diri dan berusaha menyusun taktik peperangan lagi terhadap Mataram dan Kartasura. Pada saat itu banyak pelarian tertuju ke Jawa Tengah karena pergolakan hebat di Jawa Barat.

5. Pergolakan di Banten (1676-1684)
Pergolakan di Mataram dan perlawanan Trunajaya menyebabkan Banten mulai meningkatkan pengaruhnya dengan cara melemahkan pasukan Mataram dan Kompeni. Banten yang memiliki hubungan dengan pesisir Mataram dan Makassar terkenal sebagai pusat kekuatan anti-Mataram dan anti-Kompeni. Gerakan yang mengawali perlawanan terhadap VPC di Banten adalah gerakanSyeh Yusuf dari Makassar namun terpaksa sedikit tersendat akibat terjadinya perpecahan antara Sultan Ageng dan Sultan Haji di Banten. Banten selalu mendukung Trunajaya termasuk menghalang-halangi VOC mencurahkan kekuatan ke medan perang Mataram. Diprogramlah penyerangan untuk melemahkan Mataram yakni dengan menyerang Cirebon, Krawang, dan Sumedang. Dalam bulan April 1679 pasukan Banten menyerang loji VOC di Indramayu dan pada Januari 1680 gerakan tersebut sudah meluas ke Jawa Tengah; Pekalongan dan Kaliwungu. Sumedang dan daerah-daerah di sekitar Batavia kemudian berhasil jatuh ke tangan Banten. Banten juga menarik perdagangan dari bangsa Eropa lainnya yang juga menyebabkan kerugian VOC.  Kepemimpinan Sultan Ageng yang dimulai sejak 1651 semakin memperlihatkan kecenderungan anti-Kompeni dan lebih pro-Inggris. Ia mendukung Pangeran Puger sebagai raja Mataram untuk memperoleh konsesi-konsesi. Di lain sisi, Sultan Haji, putra Sultan Ageng, lebih cenderung berpolitik pro-Belanda. Oleh sebab itu sejak 1680 kekuasaan diserahkan sepenuhnya kepada Sultan Haji meski dari Tirtayasa Sultan Ageng masih melancarkan serangan terhadap VOC.
Dengab penyerahan K. Galesong dan Trunajaya maka mengubah pola percaturan politik. Disiarkan provokasi bahwa Sultan Ageng telah turun tahta dengan ditolaknya tuntutan penyerahan hak monopoli di Banten kepada VOC. Ketegangan semakin menjadi-jadi antara Sultan Ageng dan Sultan Haji terlebih usai dibunuhnya Kyai Aria Monjaya dan Pangeran Lor oleh Sultan Haji dan perompakan di daerah sekitar Jakarta oleh pengikut Sultan Ageng. Di ibu kota,rakyat mulai memihak Sultan Ageng dan pada 27 Februari 1682 meletuslah perang saudara, yakni penyerangan Sultan Ageng atas puteranya, Sultan Haji. Loji-loji VOC dicoba dipertahankan sembari menunggu bantuan dari Batavia yang baru datang pada 7 April dengan andil membebaskan loji dari kepungan pasukan Sultan Ageng. Semua pedagang Eropa kemudian disusir dari Banten dan VPC memindahkan pedagang Cina yang kaya ke Batavia.
Sementara itu Sultan Ageng dibantu dengan pasukan Makassar, Bali,dan Melayu terus melancarkan aksi perlawanan dengan markas bertempat di Margasana. Akan tetapi pasukan kompeni lantas berhasil mendesak Banten, Margasana, Kacarabunan dan Tangerang berhasil diduduki. Jatuhnya pertahanan Kademangan selanjutnya menjadikan Tirtayasa sebagai bulan-bulanan kompeni karena banyak pasukan Banten yang mengungsi ke Ciapus, Pugutan, dan Jasinga. Tirtayasa dan sekitarnya berhasil diduduki dan dihancurkan kompeni pada 28 Desember. Beruntung Sultan Ageng berhasil menyelamatkan diri ke pedalaman dengan disusul Pangeran Puger. Pihak kompeni lalu berusaha mencari Sultan Ageng dan berusaha membujuknya untuk menghentikan perlawanannya. Sultan Haji lalu mengutus 52 orang keluarganya untuk menjemput ayahnya di Ketos dan pada malam menjelang 15 Maret iring-iringan Sultan Ageng masuk Surosowan. Penyerahan Sultan Ageng meamntapkan kekuasaan Sultan Haji yang terus disorot dalam pengawasan politik VOC. Hal inilah yang menyebabkan kemerosotan Banten secara terus menerus.

6. Gerakan Syeh Yusuf (1683)
Pada bulan Februari Syeh Yusuf meninggalkan Banten, dia diikuti oleh barisan Makassar, Bugis, Jawa, Dan Melayu yang kira-kira berjumlah sekitar 1500 sampai 2000 orang. Setelah melakukan evakuasi Tirtayasa, Syeh Yusuf berhijrah ke pedalaman melewati Lengkong dimana ia bertemu dengan P.Kidul, kemudian melewati Munjang dan Lawangtaji dimana ia berjumpa dengan P.Purbaya. Pasukan Kompeni yang mengejarnya dibawah pimpinan van Happel dan terdiri dari pasukan Bali, Ambon, Bugis, dan Eropa. Dalam barisan Kumpeni itu terdapat pasukan Bali yang dipimpin oleh Surapati, Surayuda dan Wirayuda. Pihak pimpinan Kumpeni mengeluh bahwa pasukan Bali itu tidak mengenal disiplin dan banyak melakukan ‘perampokan” di desa-desa yang mereka lalui.
Pelacakan rute hijrah Syeh Yusuf membawa pasukan Kumpeni sampai di Pamotan yang terletak di muara Citandui. Rupanya rombongan tersebut akan menyebrang ke Jawa Tengah. Dalam serangan tersebut,mereka dapat melarikan diri setiap tempat mereka diketahui dan akhirnya mereka membangun tempat pertahan baru. Setelah Kumpeni tau ada bala bantuan dari P.Kidul untuk Syeh Yusuf, lalu mereka melakukan serbuan ke tempat pertahanan Syeh Yusuf. Karena dipertahankan mati-matian maka terjadi pertempuran yang sengit. Banyak yang menjadi korban yaitu P.Kidul dan saudara mudanya. Syeh Yusuf luka-luka tetapi masih bisa menyelamatkan diri. Cukup lama Syeh Yusuf bersembunyi di Mandala lereng gunung Cirenai. Berdasarkan pesan dari seorang istrinya,maka kumpeni menjemput Syeh Yusuf ke tempat persembunyiannya dan menerima penyerahannya. Hal ini terjadi pada 14 Desember 1683.

7. Gerakan Surapati dan Pergolakan Sekitarnya
Permulaan gerakan Surapati dapat diruntut kembali pada kejadian sekitar pengejaran dan penangkapan P.Purbaya pada tahun 1683. Hal ini berawal dari Surapati yang merasa terhina sewaktu diperintah oleh Ruys untuk mengikuti litnan van Happel dalam perjalanan ke Cikalong. Saat Kuffeler menuntut penyerahan keris milik P. Purbaya, Surapati campur tangan dikarenakan tindakan itu dianggap sebagai penghinaan yang menimbulkan Kuffeler tidak senang perantaraan seorang bekas budak. Surapati dan P.Purbaya lalu meninggalkan Cikalong,namun tidak lama kemudian P.Purbaya melakukan penyerahan sedangkan Surapati bersama “gerombolannya” meneruskan perjuangan melawan kumpeni dan hijrah ke Mataram.
 Nama Surapati sudah disebut pada tahun 1678 dalam pemberitaan VOC. Dikabarkan Surapati bersama pasukan Pemuka Bali lain telah masuk islam. Hal ini lazim bahwa budak-budak dari Bali masuk islam setelah menetap di Jawa. Dalam ekspedisi Kumpeni didaerah pedalaman,kontingen itu menjadi tulang punggung karena dapat memasuki daerah yang sulit ditempuh oleh kontingen Eropa. Pada waktu itu ada eksodus cukup besar di Batavia, dan terbentuklah gerombolan-gerombolan pelarian mulai merajarela di pedalaman.
Daerah Banyumas dan Bagelen pada masa itu masih banyak dijajah oleh gerombolan pemberontak antara lain pasukan Trunojoyo. Bentrokan terjadi dengan pasukan penjagaan di Banyumas dibawah Arya Wirabrata, akhirnya dketengahi oleh barisan Wates dan Kediri. Kemudian pemimpin pasukan Bali yang telah mengabdi di Mataram dibawah Wangsanata dan Singabarong turut serta dalam perundingan.

8. Suasana Politik di Kartasura (1684-1686)
Kedatangan Surapati dan rombongannya mempunyai arti penting bagi perkembangan politik di Mataram terutama dengan perbandingan politik antara Mataram dan VOC. Kehadiran Surapati di Kertasura meningkatkan krisis politik di lingkungan yang sudah cukup kompleks itu.
Sementara itu Kertasura dibangun sebagai kota istana baru, pemerintahan Mataram mengalami proses reorganisasi. Pada waktu itu anti kumpeni meluap lagi,meskipun tidak selalu Nampak dipermukaan. Partai anti-Belanda dipimpin oleh Patih Nerangkusuma.
Akibat dari kontrak yang ditandatangani pada tahun 1677dan tahun 1678, Mataram kehilangan banyak daerah, utang besar kepada VOC yang mustahil dapatdilunasi oleh Mataram. Kehadiran pasukan Kumpeni dilingkungan Keraton sangat menonjol dan merupakan ‘duri dalam mata” dalam keraton Kertasura. Pihak Kumpeni menunda-nunda tanggapannya, menyusullah pergolakan Surapati yang dengan mendadak membuat situasi kritis bagi VOC.

9. Surapati di Kartasura (1685)
Sebelum masuk Surkatura, Surapati telah berjasa dalam penumpasan pemberontakan di Kembang Kuning. Di Kartasura, rombongan Surapati diterima dengan baik dan diberi tempat tinggal dekat Kepatihan, serta diberi sawah dan wanita.  Surapati kemudian diangkat sebagai pengawal dan ia diakui sebagai pemimpin seluruh pasukan Bali di Kartasura. Kehadirannya di Kartasura tidak hanya untuk melindungi kedudukan Sunan melainkan untuk menyelesaikan permasalahan dengan kompeni, Francois Tack. Sunan yang ditegur kompeni mengalami dilema juga karena telah menyediakan tanah untuk pemukiman di daerah Demak, Kaliwungu, dan Kendal. Teguran tersebut didasarkan atas kontrak tahun 1667 yang memblokir tempat tinggal untuk kaum Makassar, Bali, dan unsur asing lainnya. Selanjutnya ekspedisi Tack yang menjadi ancaman besar tiba di Semarang tanggal 22 Desember namun baru mengakibatkan kekacauan 27 Januari. Hal tersebut mengakibatkan munculnya usaha pembunuhan terhadap Surapati yakni dengan melakukan peracunan. Pada 7 Februari 1686 kompeni yang hendak menangkap Surapati disarankan Cakraningrat agar Surapati ditangkap oleh pasukan Jawa. Surapati dan pasukan lantas mampu menembus pengepungan seribu orang pasukan Jawa dan Madura.  Pada 8 Februari 1686 Kapten Tack lalu menyiapkan pasukan untuk menyerang keraton. Sunan telah meninggalkan keraton namun akhirnya berhasil ditemukan oleh pasukan kompeni. Dengan diamankannya Sunan oleh VOC di keraton, pasukan kompeni lantas berhasil diserang oleh barisan Surapati. Dalam peperangan ini pasukan Tack beserta pasukannya dan Greving beserta anak buahnya mati terbunuh. Serangan Surapati tersebut dilakukan agar tidak mencurigakan Belanda. Serangan Cakraningrat terhadap Surapati juga lebih merupakan perang semu. Dengan peristiwa tersebut, posisi Sunan Amangkurat II menjadi terlihat mendua dibanding dengan peranannya sebagai putra mahkota menjadi jelas sikap dan wataknya. Ia terpengaruh oleh lingkungannya, cenderung bersimpati terhadap VOC dan menyebabkannya terombang-ambing antara dua pendirian atau berpolitik secara setengah-setengah.

10.  Surapati di Jawa Timur
Waktu Surapati meninggalkan Kartasura dan berhijrah ke Jawa Timur, tentara gabungan VOC dan Mataram di bawah Pangeran Puger dikirim untuk mengejar Surapati. Surapati lantas mempertahankan diri di Singkel, di tepi sungai Brantas di Jawa Timur. Dia berhasil menyelamatkan diri dari kepungan melewati sungai Brantas, Wirasaba, Bangil dan Pasuruan. Dalam penyerangannya, patih Mataram Nerangkusuma menyusul masuk barisan Surapati. Dalam pertikaian itu peranan para bupati pesisir sangat menentukan. Hal yang membedakan antara kepemimpinan Tawang Alun dengan Surapati adalah sikap masing-masing patih tersebut. Jika Tawang Alun lebih memilih dibantu VOC maka Surapati bersikap anti Belanda. Konfrontasi besar-besaran antara pasukan VOC dan barisan Surapati terjadi secara berturut-turut di Penanggungan, Demak (26 September 1706) dan Bangil (4 Oktober). Kekalahan kemudian terus didera oleh pasukan Surapati dan menyebabkan Bangil jatuh ke tangan kompeni. Surapati yang terus dipukul mundur kemudian meninggal pada 15 November 1706. Ekspedisi Knol kemudian menangkap pasukan Surapati sampai pada pergolakan pada tahun 1712.

11.  Kerajaan-Kerajaan Makin Mundur dan Penetrasi Belanda Lebih Lanjut: Kerajaan Mataram
Pergolakan dalam kerajaan Mataram kemudian bertujuan untuk menentang Sunan Mas. Pada tanggal 12 Maret 17-4, Pangeran Puger pergi ke Semarang untuk mencari suaka dari VOC. Pada akhirnya banyak bupati pesisir yang menggabungkan diri dengan Pangeran Puger dan pada tanggal 6 Juli 1704 dinobatkan sebagai Susuhunan dan bergelar Paku Buwana. Dalam perang perebutan tahta (1704-1709) dengan bantuan VOC dan para penguasa Madura, para bupati pesisir dapat ditundukkan dan dipaksa mengakui Paku Buwana. Pertahanan di Ungaran dan Salatiga jatuh, dan hal ini menyebabkan jalan ke Kartasura terbuka lebar dan pada tanggal 11 September 1705 dapat diduduki. De Wilde dan anggota Dewan India membuka perundingan dengan Paku Buwana, untuk menentukan perjanjian sebagai berikut, 1) perjanjian tahun 1646 dan 1677 diperkuat, 2) batas0batas antara Maratam dengan Priangan ditetapkan, dalam garis batas mengikuti Sungai Citanduy, batas0batas Cirebon dan Cilosari 3) Pamekasan dan Sumenep masuk daerah VOC 4) daerah kekuasaan VOC di Semarang ditetapkan batas-batasnya 5) monopoli dan hak-hak istimewa VOC di pelabuhan0pelabuhan daerah Mataram diperluas 6) Mataram diwajibkan menyerahkan 800 koyan beras setiap tahun kepada VOC selama 25 tahun
Sunan Mas kemudian meneruskan perlawanannya terhadap kompeni dengan mengadakan aliansi dengan Surapati. Sepeninggal Surapati, Sunan Mas melanjutkan aliansinya dengan putra-putranya. Sunan mas kemudian sering mendapat perlawanan keras dari kompeni di antaranya yang dipimpin De Wilde dan Knol pada 1707. Pertempuran di lembah Sangiri mematahkan pasukan Surapati dan kemudian Pasuruan dapat diduduki. Sunan Mas berhasil menyelamtkan diri ke pedalaman daerah Malang. Setelah disadari bahwa kedudukannya telah terasing maka Sunan Mas mengirim utusan untuk membuat perundingan dengan VOC. Dengan segala penghormatan yang layak bagi seorang raja, Sunan Mas dijemput dan diantar ke kapal untuk membuang Sunan Mas ke Sailan.

12.  Perang Perebutan Tahta II (1719-1723)
Pada masa pemerintahan P.B.I keadaan politik mengalami keguncangan karena ada pertentangan dalam kerajaan antara golongan-golongan. Pada tanggal 22 Februari 1719 mangkatlah P.B.I dan diganti oleh putra mahkota,yang kemudian bergelar Mangkurat IV, akan lazim dikenal sebagai Sunan Prabu. Segera muncul muncul perpecahan. Pada tahun 1719 itu juga Arya Mataram dapat ditakhlukan dan kemudian bersama putra-putranya dihukum mati. P.Purbaya, P.Dipanegara, dan P.Blitar memimpin pasukan ke jawa timur dan akhirnya dapat bergabung dengan pasukan putra-putra Surapati. Mereka menarik diri ke pegunungan Malang untuk melakukan pertahanan terakhir. Ekspedisi Mataram serta Kumpeni bergerak dari Jipang menuju daerah tersebut. Karena terserang kelaparan dan penyakit tidak dilakukan penyerbuan tetapi hanya pengepungan. Pada tahun 1721 Arya Mataram meninggal. Dan perjuangannya diterukan oleh para saudara-saudaranya dengan bantuan putra-putra Surapati. Mereka hanya berthan hingga tahun 1723.
Kalau dengan pembuangan itu perang perebutan tahta mataram dapat diamankan dan kedudukan Amangkurat IV dipertahankanm, di jawa timur pergolakan masih berjalan terus, terutama melawan Kumpeni masih diteruskan oleh anggota wangsa Surapati.
Berkali-kali wangsa itu bersekutu dengan lawan-lawan Kumpeni. Waktu Cangkaningrat IV melancarkan pemberontakan,mereka bantuan pula. Setelah Blambangan ditakhlukan VOC bupati Lumajang,Kertanegara dan bupati Malang,dll mengundurkan diri ke pegunungan Malang Selatan. Keduanya gugur dalam perlawanan mereka terakhir terhadap pasukan Kumpeni.

13.  Pemberontakan Cina
Besarnya peranan pedagang Cina di Indonesia dibeberapa pelabuhan, seperti Banten, jambi Palembang,Malaka. Banyak keuntungan diperolehan dari perdagangan itu. Setelah VOC mempunyai tempat rendez-vous sendiri,ialah Batavia, politiknya ialah hendak menarik Cina sebanyak mungkin ke Batavia memerlukan banyak tenaga pekerja,khususnya bagi pertukangan dan kerajinan. Politik “pintu terbuka” itu lebih-lebih ditempuh sewaktu ada perang di Banten. Orang Jawa tidak dipercaya lagi, sehingga Cina yang memenuhi kebutuhannya. Sehingga banyak orang Cina yang datang ke Indonesia. Diperkirakan hingga ribuan.
J.P Coen sangat menghargai mereka dan memberikan perlindungan terhadap kesewenang-wenangan bangsa-bangsa barat. Sebagai pemimpin pertama So Bing Kong dan kemudian diangkat sebagai kapten Cina. Pada Akhir abad 17 dan awal abad 18 jumlah Cina semakin meningkat. Pada akhir abad 17 pelayaran Jung dari Cina membawa membawa banyak migrant lagi sehingga VOC perlu mengadakan pembatasan. Pada tahun 1696 setiap penumpang yang tidak dikenal dikenakan biaya 15 ringgit. Meskipun demikian, karena perdagangan barang-barang dari Cina sangat menguntungkan, maka bersama dengan aliran perdagangan itu banyak Cina datang ke Batavia. Pada pemerintahan Van Swol aliran itu dapat dihentikan antara lain dengan menurunkan harga teh., sehingga jung Cina tidak lagi mengimpor ke Batavia. Sejak tahun 1723 politik perdagangan VOC berubah, mulai mementingkan perdagangan dengan Cina lagi, maka migrant-migran Cina mulai mengalir lagi. Di luar Batavia VOC banyak menggunakan jasa-jasa Cina, bahkan dibeberapa pelabuhan diangkatlah Cina sebagai syahbandar,antara lain di Indramayu, Cirebon, Semarang, dan Surabaya.
Dalam menghadapi kompetisi bangsa Cina, vrijburgers Belanda tidak dapat menandingi sehingga mudah timbul perasaan tak senang atau sikap realistis, akan tetapi dikenal diskriminasi. Terlepas dari insiden-insiden yang kadang-kadang terjadi antara golongan-golongan sekitar 1740 suasana sudah menunjukkan rasa tak senang terhadap Cina.

14.  Ketegangan Memuncak dan Pergolakan Berkobar
Akhir tahun tiga puluhan (abad XVIII) VOC mengalami kemunduran, beban keuangan untuk penyelenggaraan pemerintahan di Batavia jauh melampaui penerimaan, ada defisit terus-menerus. Kesejahteraan menjadi merosot dan pada akhirnya sejak tahun 1738 diadakan peraturan bahwa bangsa Cina perlu memiliki surat lisensi dengan membayar dua ringgit.  Pada tahun 1727 dibuat peraturan yang menentukan bahwa semua Cina yang telah tinggal 10-12 tahun dan belum memiliki surat izin akan dikembalikan ke Cina. Pada tahun 1730 dikeluarkanlah larangan untuk membuka tempat penginapandan warung, baik di dalam dan di luar kota. Pada tahun 1736 mulailah orang Cina mendaftarkan identitasnya namun terjadi penyalahgunaan dan penyimpangan yakni ketidakcocokan data atau korupsi data di kalangan petugas dan perantara tidak hanya membuat peraturan tak berhalan dan menggelisahkan kalangan Cina. Lebih lanjut pada tahun 1740 dilakukan penangkapan besar0besaran kalangan Cina di Tanjung Priok dan seribu orang ditahan di Bekasi dan Tanjung Priok. Pada pertengahan tahun tersebut juga dikeluarkan peraturan bahwa semua Cina tanpa izin akan ditangkap dan diasingkan ke Sailan. Tindakan sewenang-wenang tersebut mendorong orang-orang Cina meninggalkan tempat tinggalnya dan menggabungkan diri pada gerombolan-gerombolan yang dengan mencuri dan menyamun merajalela di daerah sekitar Batavia. Akibatnya, pedagang tidak berani menampakkan diri, takut akan pemungutan uang kepala.

15.  Pecahnya Pemberontakan
Pada akhir bulan September 1740 telah tersiar kabar bahwa di daerah pedesaan sekitar Batavia telah tampak gerombolan cina yang mendekati pintu gerbang Batavia, Mr. Cornelis, tangerang, de qual, dan bekasi. Pada hari berikutnya gerombolan menjadi sangat besar, sehubungan dengan itu pos-pos di Bekasi, Tanah Abang, Angke, dan Noordwijk mulai diperkuat. Tanggal 7 oktober pasukan bantuan yang dikirim ke tangerang diserang oleh segorombolan cina, dekat Kaduwang. Pada pagi itu juga pos de-qual juga diserang oleh segerombolan orang.  Tanggal 8 oktober diketahui bahwa ada gerakan masuk kota dan pengangkutan wanita dan anak-anak keluar kota. Di luar kota pemberontakan juga berkobar dengan dasyat. Pada tanggal 10 oktober 1740 pertahanan di Tangerang diserang oleh gerombolan sebesar 3000 orang. Pada hari berikutnya Mr. Cornelis mendapat serangan dua kali oleh pasukan cina sebesar 5 sampai 6 ribu orang orang.
Pada awal November 1740 pusat konsentrasinya ialah, di Bekasi, Kaliabang, Pulau Gadung. Karena konflik dalam dewan India, lagi pula musim hujan mulai menghebat, ekspedisi ke Bekasi baru dapat dilakukan pada tanggal 4 juni 1741. Untuk menghindari serangan kompeni gerombolan pemberontak mulai mengundurkan diri ke pedalaman, antara lain Priangan. Pada pertengahan  tahun 1741 pesisir jawa tengah dan jawa timur mulai bergolak. Situasi di jawa tengah mulai genting setelah di sekitar Semarang ada penggabungan pasukan jawa dengan para pemberontak. Diperkirakan ada 20.000 pasukan jawa di bawah pimpinan 20 temanggung dan 3.500 orang Cina. Pada pertengahan November Semarang sudah dibersihkan oleh sisa-sisa pemberontak. Sebaliknya pergolakan di Jawa Tengah bagian pedalaman mulai berskala perang, terutama karena anti –Belanda dan membebaskan diri dari kompeni. Gerakan yang dipimpin oleh Patih Natakusuma secara diam-diam bekerja sama dengan Cina dan memberi bantuannya. Dijanjikannya bahwa bila nanti Kompeni telah dikalahkan, Cina akan diberi daerah pantai utara dengan segala keuntungan perdagangannya, kecuali Semarang. Pada tanggal 20 juli 1741 pasukan Kompeni menyerah. Benteng diserbu, barang-barang dirampas dan Van Velsen beserta beberapa prajurit  terbunuh.
Dibawah  pimpinan  Varijsel pasukan Kompeni mulai mengadakan serangan balasan terhadap pertahanan  pemberontak. Pada tanggal 7, 9 sampai 13 November 1741 semuanya dapat direbut. Loji di Tegal dan Jepara dapat dibebaskan. Kemudian dengan bantuan dari Madura, Pasuruan diduduki kembali. Dalam kedudukan yang sangat kuat Kompeni mulai mengadakan perundingan dengan Paku Buwana II. Untuk mengakui dia sebagai Susuhunan, VOC mengajukan dua syarat :
-          Seluruh daerah pesisir ada di bawah kekuasaan Kompeni
-          Pengangkatan patih memerlukan persetujuan VOC
Di Kartasura golongan anti-Kompeni di bawah pimpinan Patih Natakusuma diam-diam mendukung pemberontak Cina dan pasukan Jawa. Secara tiba-tiba para pemberontak memaklumkan bahwa mereka menjujung putra Sunan Mas, Mas Gerendi, ke tahta kerajaan dengan diberi gelar Amangkurat. Ternyata dukungan rakyat terhadap dia luar biasa besarnya. Pada tanggal 30 juni 1742 Paku Buwana II meninggalkan keraton dan mengungsi ke Magetan dan Ponorogo. Tanggal 20 Desember pasukan Kompeni memasuki Kartasura dan segera mendudukkan Sunan Paku Buwana II di tahtanya. Sementara itu, karena telah kehilangan banyak pengikut, Mas Gerendi menyerah di Surabaya pada tanggal 3 oktober. Dan akhirnya Mas Gerendi diasingkan ke Sailan, sedangkan gerombolan Cina dibawah Tai-Wan-Sai melarikan diri ke Bali.   

16.  Pergolakan Perebutan Tahta dan Pembagian Kerajaaan
Di daerah pesisir yang telah diserahkan kepada Kompeni pada akhir perang Cina, kondisi ekonomi rakyat memburuk. Kompeni mengadakan banyak peraturan baru yang sangat memberatkan beban rakyat : pajak tanah yang dapat dilunasi dengan menyerahkan seperlima dari hasil panen , 66 hari melakukan kerja wajib (herndiensten), penyerahan wajib hasil (verlichte levaranties) , pungutan jalan, pajak ekspor beras dari daerah tertentu, pajak pembantaian , dan sebagainya. Jumlah jenis pungutan yang di borongkan ada 19 jenis. Untuk menghindari beban-beban itu banyak dari rakyat menggabungkan diri dengan pemberontak. Meskipun kondisi rakyat di bawah pemerintahan Sunan tidak banyak berbeda, namun menurut pendapat Hartingh “ rakyat lebih suka dikuliti ” oleh penguasanya sendiri dari pada diganggu oleh bangsa-bangsa lain.
Dalam tubuh VOC sendiri timbul kemerosotan, kecuali menghadapi kebangkrutan dan korupsi, kualitas orang-orangnya sering diragukan. Menurut kritik dari lingkungannya sendiri ada Nepotisme. Suatu factor politik yang secara latent mengganggu stabilitas kerajaan ialah masalah sekitar penggantian tahta. Maka dari itu sejarah kerajaan Mataram merupakan siklus revolusi istana yang dihadapi pada pertengahan abad  XVIII ini boleh dikata merupakan pergolakan besar yang terakhir. Paku Buwana I sendiri naik tahta Mataram sebagai Unsur penyimpang, dilegitimasikan dengan mitos bahwa sinar air mani dari jenazah Amangkurat I jatuh kepadanya (Lihat Babat Tanah Jawi).
Antara Mangkubumi dengan Mas Said terbentuk suatu persekutuan sehingga barisan pemberontak bertambah pengaruh serta ruang lingkup pengaruhnya. Sebagai lambang solidaritas Mas  Said diambil menantu oleh Mangkubumi. Daerah pesisir menjadi sasaran pasukan Mangkubumi : Grobogan, Demak, Juana, serta Jipang diserang dan diduduki. Kondisi rakyat dari daerah-daerah tersebut  memudahkan pula untuk menggabungkan diri pada barisan Mangkubumi. Pada tahun 1746 sudah ada sekitar tiga belas ribu anak buah, diantaranya 2.500 pasukan berkuda. Akhir tahun 1749 membawa perubahan pada jalannya perang. Paku Buwana I sudah mendekati ajalnya karena tidak mau disembuhkan dari penyakitnya yang parah. Mendengar berita tentang sakitnya Sunan maka Mangkubumi memproklamasikan diri sebagai raja Mataram. Maksudnya ialah untuk mendahului keponakannya yang baru berusia 16 tahun. Lokasi keraton ditetapkan di sebelah barat Kotagede, di desa Bering, yaitu Yogyakarta sekarang.  

17.  Perpecahan dan Kemunduran Kerajaan Cirebon
Sepeninggal Panembahan Girilaya berdasarkan kehendak terakhir, Cirebon diperintah oleh dua orang kakak0beradik, Martawijaya atau Panembahan Sepuh dan Kartwairya atau Panembahan Anom. Panembahan Sepuh meninggal pada tahun 1697 dan timbullah perebutan kedudukan di antara kedua puteranya. Perselisihan tersebut dapat diselesaikan dengan pergeseran kedudukan VOC. Pada awal abad XVIII terus menerus timbul keresahan dan pergolakan oleh karena setiap kali seorang raja meninggal pecahlah lagi pertikaian sekitar kedudukan seperti pada tahun 1702. Pergolakan meledak lagi pada tahun 1715 dan 1733 dan kemudian menghapus sistem pergeseran dengan peraturan pergantian oleh putera laki-laki pada tahun 1752. Dan untuk meredakan ketegangan dipergunakan pemakaian gelar Sultan sejak 1729. Untuk mencegah pertumpahan darah maka pada 1768 kompeni mengurangi jumlah raja dan dikembalikan menjadi dua pada 1773. Persengketaan dan perpecahan sekitar pergantian tahta hanya memperkuat kedudukan VOC, sedang para raja semakin dikurangi kekuasaan dan hak miliknya. Jelas mereka sudah kehilangan suvereinitasnya.

18.  Madura
Setelah pemberontakan di bawah orang Melayu, Ince Kandur, dapat dipadamkan oleh Couper, pada akhirnya Perang Trunajaya, Madura kembali masuk lingkungan kekuasaan Mataram untuk kemudian diserahkan VOC. Cakraningrat lantas diangkat menjadi penguasa atas Arosbaya pada 1680 dan bergelar sebagai Pangeran Sampang yang meliputi Pamekasan, Sumenep dan kepulauan seanteronya. Susuhunan Mataram dan VOC dapat mempertahankan kedudukannya dengan nama Yudanegara. Dia memerintah dengan adil dan bijaksana. Akan tetapi dengan adanya politik adu domba oleh VOC maka permasalahan sekitar pergantian di daerah itu menjadi sumber ketegangan yang sewaktu-waktu pada meledak. Pada tahun 1686 partai Suderma  mengajukan tuntutan dan pada 1689 terlibat dalam gerakan Kapten Jonker dalm melarikan diri untuk memimpin gerakannya di Madura. Tujuannya untuk mengusir penguasa Sumenep dari kedudukannya namun perjuangannya gagal.
Madura Timur lantas mengalami pergolakan terus menerus dan pada 1702 Suderma berhasil melarikan diri dari Batavia lagi. Madura Barat juga tidak luput dari pergolakan. Ambisi Cakraningrat III untuk melebarkan sayap kekuasannya ke Madura Timur sekitar tahun 1717-1718 dan kemudian menunjuk Suradiningrat sebagai pengganti komandan kapal Oegsgeest dengan gelar Cakraningrat IV. Dalam perang Cina memiliki pengaruh besar akibat politik pecah belahnya.
Untuk memperkuat barisannya dia menerima bala bantuan pasukan Bali. Perjuangan Cakraningrat kemudian mencapai titik puncak sejak akhir tahun 1744. Cakraningrat yang terus bertahan di daerahnya sendiri akhirnya terdesak yaitu di Sampang, menyelamatkan diri ke Banjarmasin dan mencoba kontak dengan Inggris di Bengkulu. Oleh Sultan Banjarmasin ia diserahkan kepada VOC dan dibuang ke Tanjung Harapan sedang kedua putranya diselong ke Sailan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar