Kamis, 27 April 2017

Deretan Iba di Negeri Saya

Malang benar adik-adikku kini. Bersekolah selama lima hari tiada  henti. Dari pagi sampai sore hari, dari wajah masih segar sampai  nanar. Libur dimulai dari Sabtu, dengan dalih agar bisa berlibur  bersama ortu.

Itupun masih belum ditambah dengan les dan kursus yang segudang. Tentu  agar anak-anak jadi orang pintar seperti yang digadang-gadang. Tapi  apa iya mereka bakal jadi pandai, kalau cara belajarnya justru bikin  capai?

Aku sering melihat mereka berhimpitan di dalam bus sementara matahari  makin pupus. Raut mereka jarang menunjukkan rona bahagia. Kalaupun  tertawa, paling sekadar saja. Untuk membunuh jenuh yang seharian  mendera. 

Aku makin kasihan ketika kurikulum mereka bergonta-ganti. Dari yang  lawas, sampai yang katanya kurikulum 2013. Apa bedanya, mana tahu  saya? Tapi melihat di banyak berita, sepertinya model baru itu bikin  berat guru dan siswa. Karena penyesuaiannya saja butuh waktu yang  lama.

Akibatnya buku-buku tak lagi bisa diwariskan. Lembar kerja-lembar  kerja tahun-tahun sebelumnya akhirnya sia-sia. Uang lagi, lagi-lagi  uang. Padahal aku yakin, yang membuat negara ini maju bukan karena  bongkar pasang kurikulum. Pasti sebab anak-anak ingin nama bapa  bundanya harum.

Kamu tahu, beban adik-adikku tidak berhenti sampai di situ. Aku tambah  iba karena sistem ujian berbeda-beda. Tahun ini belum tentu sama di  tahun selanjutnya. Aku jadi pesimis ujian nasional akan disambut  dengan sukacita. "Hantu" itu bakal terus gentayangan sampai bikin  banyak adik-adikku pingsan.

Sesudah ujian, pasti adik-adikku mau lanjut belajar biar punya gelar.  Untuk masuk ke perguruan tinggi negeri, sekarang sulit sekali. Ada  jalur-jalurnya meski aku tahu bukan angkutan kota. Sesudah diterima,  dengar-dengar, masih ada kompromi lagi. Uang kuliah tunggal, katanya.  Yang bakal berat mestilah bapa bundanya. Untungnya sekarang ada banyak  program beasiswa. Tapi untuk yang kekurangan saja, ya. Yang berada dan  mengaku tak punya, semoga Tuhan tidak murka.

Habis skripsi, adik-adikku masih dilema cari kerja. Kadang kriterianya tak masuk akal. Masa yang dicari harus tinggi badan dan berat proporsional? Mau cari pekerja, atau cari model majalah dewasa?

Ups, aku lupa. Ini cerita dari negeri yang sedang berkembang. Yang dari dulu masih belum berubah jadi negara maju. Yang sukses keras malah kriminalitas dan korupsi pejabat teras. Yang hukumnya makin menukik ke kelas jelata dan nego-nego untuk orang kaya. Semoga kondisi di negeriku tidak terjadi di negerimu, ya! 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar