Senin, 09 Juni 2014

RATU KALINYAMAT : SEBUAH LAMBANG KEBESARAN DAN KESETIAAN WANITA




Berbicara mengenai tokoh perempuan, rasanya belum lengkap jika tidak menengok deretan sejarah Indonesia pada masa kedatangan dan persebaran Islam yang berlangsung sekitar abad XV hingga XVI Masehi. Pada masa itu pula, Jepara, telah menjadi saksi dari kebesaran seorang pemimpin wanita, yang memiliki hegemoni kuat dalam politik dan perekonomiannya.

Jepara merupakan daerah yang mempunyai peran penting dalam sejarah. Kegemilangan dalam sejarah tersebut terutama berlangsung pada abad XVI, pada masa pemerintahan Ratu Kalinyamat. Ratu Kalinyamat adalah raja dari Jepara yang memerintah dari tahun 1549 hingga 1579. Beberapa sumber sejarah mengidentifikasi nama sesungguhnya dari Ratu Kalinyamat yakni Retna Kencana, puteri Sultan Trenggono. Babad Demak Jilid II juga mengidentifikasi Ratu Kalinyamat sebagai puteri sulung Sultan Trenggana yang berarti menyanding gelar Ratu Pembayun. Adapun gelar ratu yang disematkan di depan namanya, menunjukkan bahwa di lingkungan istana, Ratu Kalinyamat memiliki kedudukan yang cukup tinggi dan menentukan. Lazimnya gelar itu hanya dipakai oleh orang-orang tertentu, misalnya seorang raja wanita, permaisuri, atau puteri sulung raja. Pernyataan mengenai Ratu Kalinyamat sebagai Ratu Pembayun ini memiliki kesesuaian dengan sumber Portugis. Seorang musafir Portugis yang bernama Fernao Mendez Pinto (1510-1583) menerangkan, ketika ia datang di Banten pada tahun 1544, datanglah utusan Raja Demak, seorang wanita bangsawan tinggi bernama Nyai Pombaya. Besar kemungkinan yang dimaksudkan adalah Ratu Pembayun. Dengan demikian gelar ratu itu diperoleh dari ayahnya, dan bukan berasal dari suaminya yang hanya seorang penguasa daerah setingkat adipati.
Ratu Kalinyamat dikenal sebagai seorang tokoh wanita yang tidak hanya berparas cantik, tetapi juga berkepribadian gagah berani seperti yang dilukiskan sumber Portugis sebagai De Kranige Dame (seorang wanita yang pemberani). Selain itu orang Portugis, De Couto, dalam bukunya juga mengakui kebesaran Ratu Kalinyamat dengan suatu ungkapan Rainba de Jepara, senbora paderosa e rica yang berarti Ratu Jepara,seorang wanita kaya dan berkuasa.
Diperkirakan bahwa selama menjadi penguasa Jepara, Ratu Kalinyamat tidak tinggal di Kalinyamat, akan tetapi di sebuah tempat semacam istana di kota pelabuhan Jepara. Sumber-sumber Belanda awal abad ke-17 menyebutkan bahwa di kota pelabuhan terdapat semacam istana raja (koninghof). Hal ini berarti bahwa Ratu Kalinyamat sebagai tokoh masyarakat bahari memang tinggal di kota pelabuhan, sementara itu daerah Kalinyamat hanya dijadikan sebagai tempat peristirahatan.
Pada masa pemerintahan Ratu Kalinyamat, Jepara menjadi pusat ekonomi yang besar. Hal ini terbukti ketika Jepara memegang peranan penting dalam bidang politik dan pertahanan. Pada masa itu pula, Jepara menjadi bandar perdagangan yang banyak menjaring pedagang dari berbagai suku bangsa. Kebanyakan dari pedagang tersebut ada yang tinggal sementara maupun menetap. Di bidang politik dan pertahanan, pelabuhan Jepara dipercaya sebagai pusat pengiriman ekspedisi-ekpedisi militer untuk turut memperluas kekuasaan ke Bangka dan Kalimantan Selatan yaitu Tanjung Pura dan Lawe. Demikian halnya pada tahun 1550, ketika Raja Johor meminta bantuan armada perang kepada Jepara untuk melakukan perang jihad melawan Portugis di Malaka. Jepara mengirimkan 40 buah kapal dengan kapasitas angkut 1000 orang prajurit bersenjata. Pada tahun 1573 Ratu Kalinyamat sekali lagi diminta oleh Sultan Ali Mukhayat Syah dari Aceh untuk menggempur Portugis di Malaka. Armada yang dikirim sekitar 300 buah kapal, 80 buah kapal masing-masing berbobot 400 ton.

Di sektor perekonomian, di wilayah kekuasaan Ratu Kalinyamat terdapat empat kota pelabuhan sebagai pintu gerbang perdagangan di pantai utara Jawa Tengah bagian timur. Pintu gerbang perdagangan tersebut antara lain Jepara, Juana, Rembang, dan Lasem. Oleh karena itu wajar apabila Ratu Kalinyamat dikenal sebagai orang yang kaya raya. Kekayaannya diperoleh melalui perdagangan internasional, terutama dengan Malaka dan Maluku. Jepara merupakan pensuplai beras yang dihasilkan di daerah hinterland. Selain berperan sebagai pelabuhan transito, pelabuhan Jepara juga menjadi pengekspor gula, madu, kayu, kelapa, kapok, dan palawija. Sumber Portugis menyebutkan pula bahwa pada masa kekuasaan Ratu Kalinyamat, Jepara juga menjalin hubungan dengan para pedagang di Ambon. Beberapa kali para pemimpin pelaut atau pedagang Ambon di Hitu minta bantuan Ratu Jepara untuk melawan orang-orang Portugis. Hal ini merupakan indikasi bahwa Jepara juga mempunyai jaringan perdagangan dengan Ambon. Selain itu, hubungan baik yang terjalin antara Jepara dengan beberapa wilayah di Nusantara seperti Johor, Aceh, Maluku, Banten, dan Cirebon, menegaskan bahwa misi diplomatik yang dibawa Ratu Kalinyamat telah berhasil ditunaikan. Tidaklah berlebihan jika sosoknya dikenal sebagai seorang ratu yang mempelopori hubungan internasional secara damai.

Selain memiliki pengaruh yang kuat dalam bidang politik maupun ekonomi, Ratu Kalinyamat juga digambarkan sebagai sosok wanita yang begitu menyimpan kesetiaan kepada suami. Barangkali masih jelas di benak kita, sebagaimana yang dituturkan dalam Babad Tanah Jawi, Ratu Kalinyamat melakukan mertapa awewuda wonten ing redi Danaraja, kang minangka tapih remanipun kaore (bertapa dengan telanjang di gunung Danaraja, yang dijadikan kain adalah rambutnya yang diurai). Tindakan ini dilakukan untuk mohon keadilan kepada Tuhan dengan cara menyepi di Gunung Danaraja. Ia memiliki sesanti, baru akan mengakhiri pertapaanya apabila Arya Penangsang telah terbunuh. Pernyataan Babad Tanah Jawi tersebut, dikatakan Chusnul Hayati, merupakan suatu kiasan yang memerlukan interpretasi secara kritis. Historiografi tradisional memuat hal-hal yang digambarkna dengan simbol-simbol dan kiasan-kiasan. Dalam bahasa Jawa kata wuda (telanjang) tidak hanya berarti tanpa busana sama sekali, tetapi juga memiliki arti kiasan yaitu tidak memakai barang-barang perhiasan dan pakaian yang bagus. Ratu Kalinyamat tidak menghiraukan lagi untuk mengenakan perhiasan dan pakaian indah seperti layaknya seorang ratu. Pikirannya ketika itu hanya dicurahkan untuk membinasakan Arya Penangsang. Di Gunung Danaraja itu lah Ratu Kalinyamat menyusun strategi untuk melakukan balas dendam kepada Arya Penangsang. Hal ini ia lakukan semata-mata untuk membuktikan kesetiaannya kepada suaminya, Sultan Hadlirin, yang dibunuh oleh Arya Penangsang.



Ratu Kalinyamat diperkirakan meninggal dunia sekitar tahun 1579. Ia dimakamkan di dekat makam Pangeran Kalinyamat di desa Mantingan. Semasa hidupnya, Ratu Kalinyamat membesarkan tiga orang pemuda. Yang pertama adalah adiknya, yaitu Pangeran Timur Rangga Jumena putera bungsu Sultan Trenggana yang kemudian menjadi bupati Madiun. Yang kedua adalah keponakannya, yaitu Arya Pangiri, putra Sunan Prawata yang kemudian menjadi bupati Demak. Sedangkan yang ketiga adalah sepupunya, yaitu Pangeran Arya Jepara putra Ratu Ayu Kirana (adik Sultan Trenggana). Selepas kepemimpinan Ratu Kalinyamat, pelabuhan Jepara perlahan kehilangan otonominya sebagai pelabuhan yang kuat. Kehadiran VOC lambat laun menjadikan pelabuhan Jepara sebagai sumber eksploitasi kekayaan kolonial.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar