Berbicara mengenai tokoh perempuan, rasanya belum lengkap
jika tidak menengok deretan sejarah Indonesia pada masa kedatangan dan
persebaran Islam yang berlangsung sekitar abad XV hingga XVI Masehi. Pada masa
itu pula, Jepara, telah menjadi saksi dari kebesaran seorang pemimpin wanita,
yang memiliki hegemoni kuat dalam politik dan perekonomiannya.
Jepara merupakan daerah yang mempunyai peran penting
dalam sejarah. Kegemilangan dalam sejarah
tersebut terutama berlangsung pada abad XVI, pada
masa pemerintahan Ratu Kalinyamat. Ratu Kalinyamat adalah raja dari Jepara yang
memerintah dari tahun 1549 hingga 1579. Beberapa
sumber sejarah mengidentifikasi nama sesungguhnya dari Ratu Kalinyamat yakni Retna
Kencana, puteri Sultan Trenggono. Babad
Demak Jilid II juga mengidentifikasi Ratu Kalinyamat sebagai puteri sulung
Sultan Trenggana yang berarti menyanding gelar Ratu Pembayun. Adapun gelar ratu
yang disematkan di depan namanya, menunjukkan bahwa di lingkungan istana, Ratu
Kalinyamat memiliki kedudukan yang cukup tinggi dan menentukan. Lazimnya gelar
itu hanya dipakai oleh orang-orang tertentu, misalnya seorang raja wanita, permaisuri,
atau puteri sulung raja. Pernyataan mengenai Ratu Kalinyamat sebagai Ratu
Pembayun ini memiliki kesesuaian dengan sumber Portugis. Seorang musafir
Portugis yang bernama Fernao Mendez Pinto (1510-1583) menerangkan, ketika ia
datang di Banten pada tahun 1544, datanglah utusan Raja Demak, seorang wanita
bangsawan tinggi bernama Nyai Pombaya. Besar kemungkinan yang dimaksudkan
adalah Ratu Pembayun. Dengan demikian gelar ratu itu diperoleh dari ayahnya,
dan bukan berasal dari suaminya yang hanya seorang penguasa daerah setingkat
adipati.
Ratu Kalinyamat dikenal sebagai
seorang tokoh wanita yang tidak hanya
berparas cantik, tetapi juga berkepribadian
gagah berani seperti yang dilukiskan sumber Portugis sebagai De Kranige Dame (seorang wanita yang
pemberani). Selain itu orang
Portugis, De Couto, dalam bukunya juga mengakui
kebesaran Ratu Kalinyamat
dengan suatu ungkapan Rainba de Jepara, senbora paderosa e rica
yang berarti “Ratu Jepara,seorang
wanita kaya dan berkuasa”.
Diperkirakan bahwa selama menjadi penguasa Jepara, Ratu Kalinyamat tidak
tinggal di Kalinyamat, akan tetapi di sebuah tempat semacam istana di kota
pelabuhan Jepara. Sumber-sumber Belanda awal abad ke-17 menyebutkan bahwa di
kota pelabuhan terdapat semacam istana raja (koninghof). Hal ini berarti bahwa Ratu Kalinyamat sebagai tokoh
masyarakat bahari memang tinggal di kota pelabuhan, sementara itu
daerah Kalinyamat hanya dijadikan sebagai tempat peristirahatan.
Pada masa pemerintahan Ratu
Kalinyamat, Jepara menjadi pusat ekonomi yang
besar. Hal ini terbukti ketika Jepara memegang peranan
penting dalam bidang politik dan pertahanan. Pada masa itu pula, Jepara menjadi bandar perdagangan yang banyak menjaring pedagang dari
berbagai suku
bangsa. Kebanyakan dari pedagang tersebut ada yang
tinggal sementara maupun menetap. Di bidang politik dan pertahanan, pelabuhan
Jepara dipercaya sebagai pusat pengiriman
ekspedisi-ekpedisi militer untuk turut
memperluas kekuasaan ke Bangka dan Kalimantan
Selatan yaitu Tanjung Pura dan Lawe. Demikian
halnya pada tahun 1550, ketika Raja Johor meminta bantuan armada perang
kepada Jepara untuk melakukan
perang jihad melawan Portugis di Malaka. Jepara mengirimkan 40 buah kapal
dengan kapasitas angkut 1000 orang prajurit bersenjata. Pada tahun 1573 Ratu
Kalinyamat sekali lagi diminta oleh Sultan Ali Mukhayat Syah dari Aceh untuk menggempur
Portugis di Malaka. Armada yang dikirim
sekitar 300 buah kapal, 80 buah kapal masing-masing
berbobot 400 ton.
Di sektor
perekonomian, di wilayah kekuasaan Ratu Kalinyamat terdapat empat kota
pelabuhan sebagai pintu gerbang perdagangan di pantai utara Jawa Tengah bagian
timur. Pintu gerbang perdagangan tersebut antara lain Jepara, Juana, Rembang,
dan Lasem. Oleh karena itu wajar apabila Ratu Kalinyamat dikenal sebagai orang
yang kaya raya. Kekayaannya diperoleh melalui perdagangan internasional,
terutama dengan Malaka dan Maluku. Jepara merupakan pensuplai beras yang
dihasilkan di daerah hinterland.
Selain berperan sebagai pelabuhan transito, pelabuhan Jepara juga menjadi
pengekspor gula, madu, kayu, kelapa, kapok, dan palawija. Sumber Portugis menyebutkan pula bahwa pada masa kekuasaan Ratu Kalinyamat,
Jepara juga menjalin hubungan dengan para pedagang di Ambon. Beberapa kali para
pemimpin pelaut atau pedagang Ambon di Hitu minta bantuan Ratu Jepara untuk
melawan orang-orang Portugis. Hal ini merupakan indikasi bahwa Jepara juga
mempunyai jaringan perdagangan dengan Ambon. Selain itu, hubungan baik yang
terjalin antara Jepara dengan beberapa wilayah di Nusantara seperti Johor,
Aceh, Maluku, Banten, dan Cirebon, menegaskan bahwa misi diplomatik yang dibawa
Ratu Kalinyamat telah berhasil ditunaikan. Tidaklah berlebihan jika sosoknya
dikenal sebagai seorang ratu yang mempelopori hubungan internasional secara damai.
Selain memiliki pengaruh yang
kuat dalam bidang politik maupun ekonomi, Ratu Kalinyamat juga digambarkan
sebagai sosok wanita yang begitu menyimpan kesetiaan kepada suami. Barangkali
masih jelas di benak kita, sebagaimana yang dituturkan dalam Babad Tanah Jawi,
Ratu Kalinyamat melakukan mertapa awewuda
wonten ing redi Danaraja, kang minangka tapih remanipun kaore (bertapa
dengan telanjang di gunung Danaraja, yang dijadikan kain adalah rambutnya yang
diurai). Tindakan ini dilakukan untuk mohon keadilan kepada Tuhan dengan cara
menyepi di Gunung Danaraja. Ia memiliki sesanti, baru akan mengakhiri pertapaanya
apabila Arya Penangsang telah terbunuh. Pernyataan Babad Tanah Jawi tersebut,
dikatakan Chusnul Hayati, merupakan suatu kiasan yang memerlukan interpretasi secara
kritis. Historiografi tradisional memuat hal-hal yang digambarkna dengan
simbol-simbol dan kiasan-kiasan. Dalam bahasa Jawa kata wuda (telanjang) tidak hanya berarti tanpa busana sama sekali,
tetapi juga memiliki arti kiasan yaitu tidak memakai barang-barang perhiasan
dan pakaian yang bagus. Ratu Kalinyamat tidak menghiraukan lagi untuk
mengenakan perhiasan dan pakaian indah seperti layaknya seorang ratu. Pikirannya
ketika itu hanya dicurahkan untuk membinasakan Arya Penangsang. Di Gunung
Danaraja itu lah Ratu Kalinyamat menyusun strategi untuk melakukan balas dendam
kepada Arya Penangsang. Hal ini ia lakukan semata-mata untuk membuktikan
kesetiaannya kepada suaminya, Sultan Hadlirin, yang dibunuh oleh Arya
Penangsang.
Ratu Kalinyamat diperkirakan
meninggal dunia sekitar tahun 1579. Ia dimakamkan di dekat makam Pangeran
Kalinyamat di desa Mantingan. Semasa hidupnya, Ratu Kalinyamat membesarkan tiga
orang pemuda. Yang pertama adalah adiknya, yaitu Pangeran Timur Rangga Jumena
putera bungsu Sultan Trenggana yang kemudian menjadi bupati Madiun. Yang kedua
adalah keponakannya, yaitu Arya Pangiri, putra Sunan Prawata yang kemudian
menjadi bupati Demak. Sedangkan yang ketiga adalah sepupunya, yaitu Pangeran
Arya Jepara putra Ratu Ayu Kirana (adik Sultan Trenggana). Selepas kepemimpinan
Ratu Kalinyamat, pelabuhan Jepara perlahan kehilangan otonominya sebagai
pelabuhan yang kuat. Kehadiran VOC lambat laun menjadikan pelabuhan Jepara
sebagai sumber eksploitasi kekayaan kolonial.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar