Senin, 09 Juni 2014

Kunstvereeniging Sobokartti dan Demokratisasi Seni Indonesia



Kunstvereeniging Sobokartti dan Demokratisasi Seni Indonesia
Oleh : Fadhil Nugroho Adi
Pemerhati Sejarah Kebudayaan Indonesia
Fakultas Ilmu Budaya Undip Semarang



Ketika saya menyimak pembicaraan Karsten tentang maket  javaanse schouwburg dengan Mangkunagara VII yang tertulis dalam surat Karsten kepada Mangkunagara VII tertanggal 15 Oktober 1924, sejenak saya tertegun dengan kearifan lokal bangsa kita yang mampu berakulturasi, zaman demi zaman. Pada gilirannya, pola pikir sejarah atau historical mindedness kita akan menempatkan diri kita pada dekade 1800-an, satu abad lebih awal sebelum proses diaspora kebudayaan keraton tergambar dengan jelas melalui perkumpulan seni Sobokartti di Semarang. Lorong-lorong sejarah itu akan mengantarkan kita pada satu peristiwa yakni apa yang disebut dengan sistem cultuurstelsel yang berjalan dari tahun 1830 hingga 1870-an. Barangkali ungkapan Van Soest memberikan gambaran lebih jauh kepada kita mengenai kondisi pelaksanaan sistem cultuurstelsel (yang dialihbahasakan menjadi “tanam paksa”) seperti “pulau Jawa yang indah permai itu menyajikan suatu pemandangan tentang kesusahan dan kesengsaraan yang tiada taranya”. (Booth, Anne, 1988 : 39). Kondisi tersebut perlahan menyurut seiring dengan dicanangkannya Agrarische Wet pada  tahun 1870, dan ditambah dengan tulisan-tulisan kritis bangsa Eropa yang dengan tegas menolak pemberlakuan sistem cultuurstelsel yang dinilai menyengsarakan rakyat bumiputera itu. Masyarakat Belanda menjadi sadar akan sisi buruk kolonialisme di Hindia Belanda melalui tulisan anggota parlemen W.R. van Hoevel Slaven en vrijen onder de Nederlandsche wet  mengenai kelaparan di Jawa pada tahun 1845. Lebih berpengaruh lagi adalah tulisan Edward Douwes Dekker Max Havelaar yang menceritakan dengan rinci penderitaan rakyat akibat penindasan penguasa-penguasa kolonial dan bumiputera. Selain itu ada pula artikel Een Eereschuldyang ditulis Conrad Theodor van Deventer dan tulisan-tulisan Pieter Brooshooft (redaktur utama Samarangsche Courant yang kemudian menjadi harian De Locomotief) yang membuka mata publik tentang nasib buruk bangsa bumiputera di bawah penjajahan Belanda. Ia memperkenalkan stilah “ethische politiek”  pada 1901 dalam pamflet yang ia tulis dalam harian De Locomotief  : De ethische koers in de koloniale politiek.
Di tahun 1901 pula, Ratu Wilhelmina menyerukan dimulainya Ethische Politiek atau Politik Etis, yang dikenal dengan slogan “irigasi, imigrasi, edukasi”. Politik Etis -yang juga dikenal dengan Politik Balas Budi- pada dasarnya memiliki dua tujuan. Pertama, menyatukan seluruh kepulauan Nusantara dibawah kekuasaan langsung pemerintah Belanda, dan kedua, mempersiapkan rakyat Hindia Belanda agar suatu saat mampu menyelenggarakan pemerintahan sendiri namun tetap di bawah kendali Belanda. Satu hal yang tidak dapat dilepaskan dari kondisi tersebut adalah munculnya gagasan mengenai Ethische Rihcting, yang memiliki arti bahwa bangsa bumiputera dan bangsa Belanda harus bersatu karena perasaan saling membutuhkan, dan pandangan bahwa Timur dan Barat harus saling melengkapi untuk mewujudkan Indonesia yang lebih baik di masa yang akan datang. Pada saat yang bersamaan, para penggagas Etnische Richting mulai memiliki minat yang tinggi terhadap seni Nusantara. Dari sanalah kemudian Sobokartti digagas, setelah sebelumnya di Yogyakarta, dibentuk organisasi Kridha Beksa Wirama (KBW) yang berdiri pada 17 Agustus 1918. Organisasi ini merupakan suatu bentuk demokratisasi seni keraton yang pertama di Jawa. Perlu dipahami bahwa pada tahun-tahun tersebut, produk kebudayaan keraton seperti tari-tarian, wayang, gamelan, hingga pemakaian busana bukanlah produk budaya yang dapat dinikmati masyarakat luas di luar tembok keraton. Produk-produk budaya tersebut bahkan diatur dalam peraturan khusus yang dikeluarkan raja, semenjak Mataram pecah menjadi Surakarta dan Yogyakarta. Proses demokratisasi seni keraton kemudan meluas, tidak hanya di wilayah Vorstenlanden saja melainkan meluas hingga wilayah pesisir pantai utara Jawa, tepatnya di kota Semarang. Diaspora kebudayaan berlangsung di Semarang, dan hal ini tidaklah mengherankan sebab Semarang merupakan kota pelabuhan yang penting dalam kegiatan perdagangan. Di kalangan masyarakat kolonial, Semarang memang dipandang sebagai pusat bisnis yang penting. Hal ini terbukti bahwa Semarang pernah dipilih sebagai lokasi koloniale tentoonstelling (pameran kolonial) yang pertama, diselenggarakan pada tanggal 20 Agustus hingga 22 November 1914. Beberapa negara turut ambil bagian dalam pameran ini, antara lain Belanda, Jepang, Singapura, Cina, India, Australia, dan Amerika. Berbagai kota di Hindia Belanda pun ikut memamerkan produk-produk di sini, dan Semarang menempati posisi terbanyak dalam pameran itu.
Adalah Volkskunstvereeniging Sobokartti yang didirikan atas prakarsa Mangkunagara VII dan Herman Thomas Karsten pada 9 Desember 1920 di Semarang. Pertemuan pembentukan Sobokartti dihadiri antara lain burgemeester Semarang D. de Iongh, Bupati Semarang R.M.A.A. Purbaningrat, Pangeran Kusumayuda dari keraton Surakarta, dan pimpinan surat kabar De Locomotief”. Dalam pertemuan itu ditetapkan nama Volkskunstvereeniging ”Sobokartti” yang berarti “tempat berkarya. Di awal pendiriannya, para anggota perkumpulan seni Sobokartti yang berjumlah ratusan berasal dari berbagai kalangan di Semarang: Jawa, Belanda, dan Tionghoa. Tujuan dari didirikannya Sobokartti, sebagaimana yang dicuplik dari Staatsblad van Nederlandsch-Indie 1929 – 50, adalah menampilkan pertunjukan wayang wong dan tarian Jawa di teater prosenium yang jauh dari kesan “pertunjukan eksklusif pendapa rumah para bangsawan.” 

Pada awalnya, kegiatan-kegiatan Sobokartti dilakukan di paseban Kabupaten Semarang dan di Stadstuin. Tapi pada 1931 selesai dibangun gedung teater di Karrenweg (sekarang Jalan Dr. Cipto), yang diberi nama Volkstheater Sobokartti. Gedung ini adalah rancangan Thomas Karsten yang memadukan konsep seni pertunjukan Jawa yang biasa dipentaskan di pendapa dengan konsep pementasan teater Barat. Karsten berpendapat bahwa konsep pendapa memang tidak bisa dipisahkan dari seni pertunjukan Jawa yang tidak mengenal pemisahan ketat antara penonton dan pelakon. Sebaliknya, seni pertunjukan Barat justru berusaha menciptakan sebuah ‘dunia” yang sepenuhnya terpisah dari penonton. Karena itu Karsten berpendapat panggung prosenium bukan tempat yang cocok untuk pementasan teater Jawa seperti wayang orang. Demikian halnya dengan teater pendapa konvensional di istana dan rumah bangsawan yang acapkali mengabaikan kenyamanan bagi penonton. Bagi Karsten yang berpandangan sosialis, situasi semacam ini sangat sulit ia terima. Oleh sebab itu ia mendesain gedung teater Jawa yang juga mengalami demokratisasi. Konsep bangunan yang memadukan pendapa Jawa dan teater Barat itulah yang saat ini masih bisa dijumpai di gedung Sobokartti, Semarang. Prototipe gedung teater Jawa (javaanse schouwburg) atau teater rakyat (volkstheater) ini diharapkan Karsten bisa menjadi acuan dalam mendirikan gedung pertunjukan di berbagai tempat yang sesuai dengan karakter seni pertunjukan Jawa, sekaligus mereduksi kesenjangan sosial yang terjadi di kehidupan kita pada umumnya. Amatlah relevan bila kita mencoba menerapkan konsep teater Karsten dalam masyarakat kita hari ini. Di saat realita sosial semakin memburam dan ketika retorika politis tiada henti menggema di seantero Nusantara, sudah semestinya diperlukan pembangunan berwawasan budaya di negeri kita. Dan inilah wujud baru demokratisasi seni Indonesia.




Tidak ada komentar:

Posting Komentar