Kunstvereeniging Sobokartti dan Demokratisasi Seni Indonesia
Oleh : Fadhil Nugroho Adi
Pemerhati Sejarah Kebudayaan Indonesia
Fakultas Ilmu Budaya Undip Semarang
Ketika saya menyimak pembicaraan
Karsten tentang maket javaanse
schouwburg dengan Mangkunagara VII yang tertulis dalam surat
Karsten kepada Mangkunagara VII tertanggal 15 Oktober 1924, sejenak saya tertegun dengan kearifan lokal
bangsa kita yang mampu berakulturasi, zaman demi zaman. Pada
gilirannya, pola pikir sejarah atau historical
mindedness kita akan menempatkan diri kita pada dekade 1800-an, satu abad
lebih awal sebelum proses diaspora kebudayaan keraton tergambar dengan jelas
melalui perkumpulan seni Sobokartti di Semarang. Lorong-lorong sejarah itu akan
mengantarkan kita pada satu peristiwa yakni apa yang disebut dengan sistem cultuurstelsel yang berjalan dari tahun
1830 hingga 1870-an. Barangkali ungkapan Van Soest memberikan gambaran lebih
jauh kepada kita mengenai kondisi pelaksanaan sistem cultuurstelsel (yang dialihbahasakan menjadi “tanam paksa”) seperti
“pulau Jawa yang indah permai itu
menyajikan suatu pemandangan tentang kesusahan dan kesengsaraan yang tiada
taranya”. (Booth,
Anne, 1988 : 39). Kondisi
tersebut perlahan menyurut seiring dengan dicanangkannya Agrarische Wet pada tahun 1870,
dan ditambah dengan tulisan-tulisan kritis bangsa Eropa yang dengan tegas
menolak pemberlakuan sistem cultuurstelsel
yang dinilai menyengsarakan rakyat bumiputera itu. Masyarakat
Belanda menjadi sadar akan sisi buruk kolonialisme di Hindia Belanda melalui
tulisan anggota parlemen W.R. van Hoevel “Slaven en vrijen onder de Nederlandsche
wet” mengenai kelaparan di
Jawa pada tahun 1845. Lebih berpengaruh lagi adalah tulisan Edward Douwes
Dekker “Max Havelaar” yang menceritakan dengan rinci
penderitaan rakyat akibat penindasan penguasa-penguasa kolonial dan bumiputera.
Selain itu ada pula artikel “Een Eereschuld” yang ditulis Conrad
Theodor van Deventer dan tulisan-tulisan
Pieter Brooshooft (redaktur utama Samarangsche Courant yang kemudian menjadi harian De Locomotief) yang membuka mata
publik tentang nasib buruk bangsa bumiputera di bawah penjajahan Belanda. Ia memperkenalkan stilah “ethische
politiek” pada 1901 dalam pamflet yang ia tulis dalam harian
De Locomotief : “De ethische koers in de koloniale politiek”.
Di tahun 1901 pula, Ratu Wilhelmina
menyerukan dimulainya Ethische Politiek atau
Politik Etis, yang dikenal dengan slogan “irigasi, imigrasi, edukasi”. Politik Etis -yang juga dikenal dengan Politik Balas Budi- pada dasarnya memiliki dua tujuan. Pertama, menyatukan seluruh kepulauan Nusantara dibawah
kekuasaan langsung pemerintah Belanda, dan kedua,
mempersiapkan rakyat Hindia Belanda agar suatu saat mampu menyelenggarakan pemerintahan sendiri namun tetap di bawah kendali
Belanda. Satu hal yang tidak dapat
dilepaskan dari kondisi tersebut adalah munculnya gagasan mengenai Ethische Rihcting, yang memiliki arti bahwa bangsa bumiputera dan bangsa Belanda
harus bersatu karena perasaan saling membutuhkan, dan pandangan bahwa “Timur” dan “Barat” harus saling melengkapi untuk mewujudkan Indonesia yang lebih baik di masa yang
akan datang. Pada saat yang bersamaan, para penggagas Etnische Richting mulai memiliki minat yang tinggi terhadap seni
Nusantara. Dari sanalah kemudian Sobokartti digagas, setelah sebelumnya di
Yogyakarta, dibentuk organisasi Kridha Beksa Wirama
(KBW) yang berdiri pada 17 Agustus 1918. Organisasi ini merupakan suatu bentuk demokratisasi seni keraton yang
pertama di Jawa. Perlu dipahami bahwa pada tahun-tahun tersebut, produk
kebudayaan keraton seperti tari-tarian, wayang, gamelan, hingga pemakaian
busana bukanlah produk budaya yang dapat dinikmati masyarakat luas di luar
tembok keraton. Produk-produk budaya tersebut bahkan diatur dalam peraturan
khusus yang dikeluarkan raja, semenjak Mataram pecah menjadi Surakarta dan
Yogyakarta. Proses demokratisasi seni keraton kemudan meluas, tidak hanya di
wilayah Vorstenlanden saja melainkan
meluas hingga wilayah pesisir pantai utara Jawa, tepatnya di kota Semarang.
Diaspora kebudayaan berlangsung di Semarang, dan hal ini tidaklah mengherankan
sebab Semarang merupakan kota pelabuhan yang penting dalam kegiatan
perdagangan. Di kalangan masyarakat kolonial,
Semarang memang dipandang sebagai pusat bisnis yang penting. Hal ini terbukti
bahwa Semarang pernah dipilih sebagai lokasi koloniale tentoonstelling (pameran kolonial) yang pertama,
diselenggarakan pada tanggal 20 Agustus hingga 22 November 1914. Beberapa
negara turut ambil bagian dalam pameran ini, antara lain Belanda, Jepang,
Singapura, Cina, India, Australia, dan Amerika. Berbagai kota di Hindia Belanda
pun ikut memamerkan produk-produk di sini, dan Semarang menempati posisi
terbanyak dalam pameran itu.
Adalah Volkskunstvereeniging Sobokartti yang didirikan atas prakarsa Mangkunagara VII dan Herman Thomas Karsten pada 9 Desember
1920 di Semarang. Pertemuan pembentukan
Sobokartti dihadiri antara lain burgemeester Semarang D. de Iongh, Bupati Semarang R.M.A.A.
Purbaningrat, Pangeran Kusumayuda dari keraton Surakarta, dan
pimpinan surat kabar “De
Locomotief”. Dalam
pertemuan itu ditetapkan nama Volkskunstvereeniging
”Sobokartti” yang berarti “tempat berkarya”. Di awal pendiriannya, para
anggota perkumpulan seni Sobokartti yang berjumlah ratusan berasal dari
berbagai kalangan di Semarang: Jawa, Belanda, dan Tionghoa. Tujuan dari
didirikannya Sobokartti, sebagaimana yang dicuplik dari Staatsblad van Nederlandsch-Indie 1929 – 50, adalah menampilkan
pertunjukan wayang wong dan tarian Jawa di teater prosenium yang jauh dari
kesan “pertunjukan eksklusif pendapa rumah para bangsawan.”
Pada
awalnya, kegiatan-kegiatan Sobokartti dilakukan di paseban Kabupaten Semarang dan di Stadstuin. Tapi pada 1931 selesai
dibangun gedung teater di Karrenweg (sekarang Jalan Dr. Cipto), yang diberi
nama Volkstheater Sobokartti. Gedung ini adalah rancangan Thomas Karsten yang memadukan konsep seni
pertunjukan Jawa yang biasa dipentaskan di pendapa dengan konsep pementasan
teater Barat. Karsten berpendapat bahwa konsep pendapa memang tidak bisa dipisahkan dari seni
pertunjukan Jawa yang tidak mengenal pemisahan ketat antara
penonton dan pelakon. Sebaliknya, seni pertunjukan Barat justru berusaha menciptakan sebuah
‘dunia” yang sepenuhnya terpisah dari penonton. Karena itu
Karsten berpendapat panggung prosenium bukan tempat yang cocok untuk pementasan
teater Jawa seperti wayang orang. Demikian halnya dengan teater pendapa konvensional di istana dan
rumah bangsawan yang acapkali
mengabaikan kenyamanan bagi penonton. Bagi Karsten yang berpandangan sosialis,
situasi semacam ini sangat sulit ia terima. Oleh sebab itu ia mendesain gedung
teater Jawa yang juga mengalami demokratisasi. Konsep bangunan yang memadukan
pendapa Jawa dan teater Barat itulah yang saat ini masih bisa dijumpai di
gedung Sobokartti, Semarang. Prototipe gedung teater Jawa (javaanse
schouwburg) atau teater rakyat (volkstheater)
ini diharapkan Karsten bisa menjadi acuan dalam mendirikan gedung
pertunjukan di berbagai tempat yang sesuai dengan karakter seni pertunjukan
Jawa, sekaligus mereduksi kesenjangan
sosial yang terjadi di kehidupan kita pada umumnya. Amatlah relevan bila kita
mencoba menerapkan konsep teater Karsten dalam masyarakat kita hari ini. Di
saat realita sosial semakin memburam dan ketika retorika politis tiada henti
menggema di seantero Nusantara, sudah semestinya diperlukan pembangunan berwawasan
budaya di negeri kita. Dan inilah wujud baru demokratisasi seni Indonesia.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar