Sumber gambar : sugionosejarah.wordpress.com
Berbicara tentang Indonesia, negeri yang termahsyur semenjak
era pelayaran dan perdagangan pada masa kerajaan-kerajaan kuna di Asia Tenggara
ini telah menunjukkan keeksistensiannya sebagai negeri maritim yang memiliki kerajaan-kerajaan
kuna dengan armada laut yang kuat. Hal ini terlihat semenjak abad ke-5 dan ke-6
Masehi ketika penduduk Sumatera yang mendiami ujung barat Indonesia turut
melibatkan diri dalam perdagangan antara Cina dan India. Begitupun pada abad
ke-7 Masehi, pedagang Arab yang datang dari India juga melakukan transaksi
perdagangan dengan beberapa wilayah di Nusantara hingga Cina Selatan. Salah
satu kerajaan bercorak maritim yang bertahan hingga empat abad adalah Kerajaan
Sriwijaya. Kerajaan Sriwijaya yang berdiri sejak abad 7 hingga 11 Masehi
merupakan masa keemasan perdagangan dengan corak maritim. Sriwijaya berhasil
menguasai jalur perdagangan dan pelayaran internasional, sehingga merupakan
salah satu pusat perdagangan terpenting antara Asia Tenggara dan Cina.
Sementara itu Jawa sejak abad ke-8 Masehi telah memperlihatkan kemajuan dalam
sektor perdagangan. Letak pelabuhan-pelabuhan di Jawa bisa dikatakan sangat
strategis karena berada di tengah-tengah antara pulau-pulau penghasil
rempah-rempah dan kayu harum, serta Sriwijaya sebagai pusat perdagangan
internasional.
Kerajaan-kerajaan
kuna bercorak Hindu-Buddha ternyata hanya mengalami masa kejayaan selama kurang
lebih sepuluh abad, terhitung sejak abad V Masehi hingga XV Masehi. Mangkatnya
Raja Hayam Wuruk pada tahun 1389 menyebabkan kemerosotan pada kerajaan
Majapahit, bersamaan dengan arus kedatangan penyebaran Islam di Pulau Jawa.
Putra Raja Brawijaya, Raden Patah, yang memeluk agama Islam kemudian mendirikan
pusat kerajaan baru sebagai pengganti Kerajaan Majapahit di pesisir pantai
utara Jawa Tengah, yakni Kerajaan Demak. Kerajaan Demak pun semakin memperluas
wilayah kekuasaannya khususnya ke daerah pantai (kota-kota pelabuhan) utara
Pulau Jawa hingga pulau Sumatera. Kota-kota pelabuhan seperti daerah-daerah
timur Demak, Cirebon, dan Palembang telah menjadi penguasaan Demak sejak abad
ke-16 Masehi. Sebagai ibukota kerajaan, Demak betul-betul strategis dan
menguntungkan baik untuk perdagangan maupun pertanian. Kapal-kapal dagang dari
Semarang banyak melalui Demak sebagai jalan pintas untuk berlayar ke Rembang,
mengingat posisi Demak yang berada di tepi selat di antara pegunungan Muria dan
Jawa yang dapat dilayari.
A.
Singhasari sebagai Fajar Majapahit
Keberadaan Kerajaan Singhasari sebagai
peletak dasar fondasi kekuatan negara maritim berdiri di Jawa Timur pada abad
XIII. Singhasari mampu melakukan ekspansi ke beberapa daerah di kepulauan
Nusantara, semisal pulau Sumatera, Semenanjung Malaka, Kalimantan Barat, dan
pulau Bali. Kitab Pararaton menyebutkan bahwa Kerajaan Singhasari didirikan
oleh Ken Angrok, seorang yang dipercaya sebagai pembunuh yang pintar dan
memiliki keunggulan kekuasaan di timur pegunungan Kawi. Tidak mustahil kemudian
kerajaan Kediri mampu dikalahkan oleh pemberontakan Angrok pada tahun 1222.
Kemenangan Ken Angrok atas Kediri mengantarkannya untuk membangun kerajaan baru
Singhasari yang kekuasaannya meliputi Tumapel, Kediri, Kahuripan, dan
seluruh daerah Sungai Brantas dari hulu
hingga hilir (pelabuhan Ujung Galuh). Posisi kerajaan Singhasari di hulu Sungai
Brantas tak pelak menjadikannya sebagai letak yang strategis, mengingat sungai
pada masa itu menjadi prasarana lalu lintas utama untuk transportasi
perdagangan, transportasi manusia, bahkan angkutan militer untuk kepentingan
perang. Pelabuhan Ujung Galuh yang dimiliki Singhasari merupakan pelabuhan
internasional tempat pertemuan dan transaksi produk-produk lokal dengan
produk-produk dari luar pulau maupun komoditi dari luar Nusantara seperti Cina
dan India. Tidak berlebihan sekiranya Singhasari disebut sebagai kerajaan yang
kaya, dan bahwa sebagian dari kekayaan yang dihasilkan oleh arus perdagangan
barat-timur di Asia bagian selatan dari Kepulauan Rempah-Rempah ke
pelabuhan-pelabuhan Malaya pastilah mengalir ke dalam perbendaharaan istana.
Kerajaan
Singhasari berada pada puncak kejayaan ketika dipimpin oleh Kertanegara, raja
kelima dan terakhir Singhasari. Pada masa Kertanegara, Singhasari mampu menjadi
basis ekonomi pertanian yang menghasilkan beras, ternak, dan hasil hutan dan
diperdagangkan melalui jalur Sungai Brantas, dipasarkan ke pulau-pulau di
Nusantara dan negeri-negeri lain melalui pelabuhan laut Ujung Galuh. Secara
religi, Kertanegara yang dikenal menganut kepercayaan Siwa-Buddha juga
melakukan ekspansi keagamaan ke luar Jawa. Kertanegara mendirikan patung
berwujud dirinya dengan prasasti bertuliskan “demi raja dan keluarga istana,
dan kesatuan kerajaan”. Patung yang dianggap sebagai bagian dari kekuatan gaib
penolak bala untuk menghilangkan akibat jahat dari pembagian Bharada atas
negerinya juga didatangkan dari Jawa dan didirikan di kaki pegunungan di
jantung Sumatera.
Keruntuhan
Kerajaan Singhasari pada mulanya berawal dari ekspansi politik yang dilakukan
Kublai Khan terhadap seluruh negeri-negeri selatan di seberang lautan (Nan-Yang)
atau setidaknya menuntut pengakuan atas kekuasaannya dengan mengirimkan
duta-duta dari negeri-negeri selatan tersebut untuk menghadap Kaisar Tiongkok.
Kondisi yang timbul selanjutnya di dalam kerajaan Singhasari nampak begitu
rumit dengan pemberontakan Jayakatwang, raja Kediri, yang melakukan sebua
mendadak ke istana Kertanegara pada tahun 1294, justru ketika kekuatan militer
utama Singhasari tengah berada di Melayu. Raja Kertanegara dan keluarganya pun
terbunuh. Di tahun yang sama, utusan dari Mongol datang dengan tujuan menghukum
Kertanegara yang menolak tunduk pada Kaisar Tiongkok, namun Kertanegara telah
terbunuh oleh Jayakatwang. Wijaya, menantu Kertanegara berhasil menyelamatkan
diri, dan dialah yang akan membuat sejarah baru dan membangun kerajaan baru,
melanjutkan kejayaan Singhasari di Nusantara.
B.
Imperium Majapahit Dan Kejayaan Nusantara
Setelah Wijaya
berhasil meloloskan diri dari pemberontakan Jayakatwang terhadap kerajaan
Singhasari ia mendirikan pusat kerajaan Majapahit yang terletak di bagian hilir
Kali Brantas, Jawa Timur, pada tahun 1293. Lokasi pusat kerajaan Majapahit
meliputi lembah sungai dan dataran delta yang merupakan timbunan lumpur sungai
berupa abu vulkanik dari gunung berapi yang tersebar di sekitarnya, sehingga
tanah di sekitar Majapahit merupakan tanah dengan tingkat kesuburan tinggi.
Majapahit memiliki potensi sumberdaya alam yang menguntungkan, loksi strategis,
akses ke laut yang mudah, sehingga kerajaan yang melanjutkan penguasaan
wilayah-wilayah ahsil ekspansi Singhasari ini semakin memantapkan dirinya
sebagai kerajaan berwawasan Nusantara terbesar di Nusantara selama abad XIV.
Majapahit melakukan konsolidasi baik internal maupun eksternal. Konsolidasi
internal dilakukan ke wilayah intinya (Jawa Tengah, Jawa Timur, dan Madura)
melalui penumpasan berbagai pemberontakan.
Konsolidasi eksternal dilakukan dengan memantapkan pengakuan kekuasaan
Majaphit di daerah-daerah melalui peningkatan aktivitas pelayaran dan
perdagangan, mengontrol zona perdagangan jaringan Laut Jawa dan Selat Malaka
dan menempatkan pejabat Majaphit di daerah “seberang lautan”. Imperium
Majapahit telah menjadi kekuatan besar. Ibukota telah berkembang pesat dan
tumbuh dari satu desa menjadi kota besar. Majapahit memang telah menjadi
penguasa banyak daerah di berbagai pulau di Nusantara. Beberapa sumber sejarah
lokal menyebutkan kesaksian atas kebesaran Kerajaan Majapahit, demikian pula
dengan jalinan hubungan diplomatik Majapahit dengan negeri-negeri asing di luar
Nusantara semisal hubungan Majapahit dengan kekaisaran Cina. Hubungan ini
menjadi penting berkaitan dengan para pedagang Cina yang bermukim di kota-kota
pelabuhan Majapahit, setidaknya sejak akhir abad XIV.
Secara
ekonomis, perdagangan laut yang melibatkan Kerajaan Majapahit memiliki andalan
ekspor yaitu beras yang dapat diperdagangkan di pulau-pulau sebelah timur,
khususnya kepulauan Maluku, dan ke barat yaitu kota-kota pelabuhan seperti
Palembang, Melayu, dan Pasai. Sementara secara militer, Kerajaan Majapahit
dikenal memiliki armada maritim yang kuat terlihat dengan dilakukannya empat
ekspedisi laut untuk menundukkan kekuasaan di daerah. Ekspedisi militer pertama
dilakukan di bawah pemerintahan Tribhuwana Tunggadewi dengan Bali sebagai
tujuannya pada tahun 1343. Ekspedisi militer kedua adalah penaklukkan Dompo
(Sumbawa) sebelum tahun 1365, lalu penyerbuan ke Palembang tahun 1377.
Dikisahkan dalam historiografi tradisonal bahwa Majapahit juga diberitakan
menyerang kerajaan Pasai (kira-kira pertengahan abad XIV) dan Singapura
(Tumasik) kira-kira pada perempat akhir abad XIV.
Kemunduran
Kerajaan Majapahit dimulai ketika kerajaan-kerajaan pantai yang memiliki
pelabuhan-pelabuhan internasional menjadi semakin kaya dan jaya. Majapahit juga
memiliki ideologi tandingan baru yakni Islam, dan sekaligus melepaskan diri
dari kekuasaan pusat Majapahit. Secara internal terjadi pula konflik-konflik
perebutan tahta antarkeluarga kerajaan, demikian halnya dengan pemberontakan
para kepala daerah yang antara lain disebabkan oleh semakin beratnya besaran
pajak dari pemerintah pusat pasca segregasi kota-kota pelabuhan. Kejatuhan
Majapahit diidentifikasi berlangsung pada tahun 1478 Masehi (1400 Çaka)
berdasar Candra Sengkala “sirna ilang
kertaning bhumi”dalam Babad Jawa.
Untuk hubungan Majapahit dengan penguasa
negeri seberang, sebut saja kekaisaran Cina, tampaknya cukup baik, terbukti dengan
banyak tersebarnya para pedagang Cina yang bermukim di kota-kota pelabuhan
Majapahit, setidaknya sejak akhir abad XIV. Hubungan Cina-Jawa yang sempat vakum
akibat tragedi “potong kuping” yang dilakukan Kertanegara telah kembali menghangat justru pada masa Raja Hayam Wuruk
di Majapahit. Ekspedisi Cheng Ho dan Kekaisaran Ming ke Jawa berlangsung pada
masa Hayam Wuruk (1351-1389 Masehi). Catatan
dinasti Ming (Ming Shih) menyatakan bahwa
Laksamana Cheng Ho, utusan dari dinasti Kaisar Yung Lo, mengunjungi Nusantara
dan negeri-negeri lain untuk menuntut pengakuan kemaharajaan Cina. Pengakuan tersebut
dibuktikan dengan pengiriman duta besar dari negeri-negeri yang dikunjungi
Cheng Ho ke negeri Cina. Dengan armada jung Cina yang sangat besar Cheng Ho
mengunjungi Nusantara antara tahun 1405 dan 1415. Ia mengunjungi Majapahit
sebanyak 3 kali, yaitu pada tahun 1405, 1408, dan 1415. Majapahit baru mengirim
duta ke Cina pada masa pemerintahan raja Hayam Wuruk (akhir abad XIV). Menurut
Ma Huan, juru bicara Cheng Ho yang sering mengikuti misi muhibah Cheng Ho, pada
tahun 1415 pelabuhan-pelabuhan Majapahit adalah Tuban, Gresik, Surabaya, dan
Canggu yang merupakan pelabuhan sungai di dekat ibukota Majapahit.
Pelabuhan-pelabuhan tersebut sangat ramai dikunjungi oleh para pedagang, baik
pedagang dari “barat” (Timur Tengah), maupun para pedagang Cina yang sebagian
beragama Islam.
Referensi :
Qurtuby, Sumanto Al. 2003. Arus Cina-Islam-Jawa : Bongkar Sejarah atas
Peranan Tionghoa dalam Penyebaran
Agama Islam di Nusantara Abad XV & XVI. Yogyakarta: Inspeal Ahimsakarya Press.
Suroyo, A.M. Djuliati, dkk. 2007. Sejarah
Maritim Indonesia I : Menelusuri Jiwa
Bahari Bangsa Indonesia Hingga Abad ke-17. Semarang: Penerbit JEDA.
Vlekke, Bernard H.M. 2010. Nusantara Sejarah
Indonesia. Jakarta:
Gramedia.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar