Senin, 09 Juni 2014

Menyibak Majapahit, Napak Tilas Kejayaan Nusantara




 Sumber gambar : sugionosejarah.wordpress.com



Berbicara tentang Indonesia, negeri yang termahsyur semenjak era pelayaran dan perdagangan pada masa kerajaan-kerajaan kuna di Asia Tenggara ini telah menunjukkan keeksistensiannya sebagai negeri maritim yang memiliki kerajaan-kerajaan kuna dengan armada laut yang kuat. Hal ini terlihat semenjak abad ke-5 dan ke-6 Masehi ketika penduduk Sumatera yang mendiami ujung barat Indonesia turut melibatkan diri dalam perdagangan antara Cina dan India. Begitupun pada abad ke-7 Masehi, pedagang Arab yang datang dari India juga melakukan transaksi perdagangan dengan beberapa wilayah di Nusantara hingga Cina Selatan. Salah satu kerajaan bercorak maritim yang bertahan hingga empat abad adalah Kerajaan Sriwijaya. Kerajaan Sriwijaya yang berdiri sejak abad 7 hingga 11 Masehi merupakan masa keemasan perdagangan dengan corak maritim. Sriwijaya berhasil menguasai jalur perdagangan dan pelayaran internasional, sehingga merupakan salah satu pusat perdagangan terpenting antara Asia Tenggara dan Cina. Sementara itu Jawa sejak abad ke-8 Masehi telah memperlihatkan kemajuan dalam sektor perdagangan. Letak pelabuhan-pelabuhan di Jawa bisa dikatakan sangat strategis karena berada di tengah-tengah antara pulau-pulau penghasil rempah-rempah dan kayu harum, serta Sriwijaya sebagai pusat perdagangan internasional.

            Kerajaan-kerajaan kuna bercorak Hindu-Buddha ternyata hanya mengalami masa kejayaan selama kurang lebih sepuluh abad, terhitung sejak abad V Masehi hingga XV Masehi. Mangkatnya Raja Hayam Wuruk pada tahun 1389 menyebabkan kemerosotan pada kerajaan Majapahit, bersamaan dengan arus kedatangan penyebaran Islam di Pulau Jawa. Putra Raja Brawijaya, Raden Patah, yang memeluk agama Islam kemudian mendirikan pusat kerajaan baru sebagai pengganti Kerajaan Majapahit di pesisir pantai utara Jawa Tengah, yakni Kerajaan Demak. Kerajaan Demak pun semakin memperluas wilayah kekuasaannya khususnya ke daerah pantai (kota-kota pelabuhan) utara Pulau Jawa hingga pulau Sumatera. Kota-kota pelabuhan seperti daerah-daerah timur Demak, Cirebon, dan Palembang telah menjadi penguasaan Demak sejak abad ke-16 Masehi. Sebagai ibukota kerajaan, Demak betul-betul strategis dan menguntungkan baik untuk perdagangan maupun pertanian. Kapal-kapal dagang dari Semarang banyak melalui Demak sebagai jalan pintas untuk berlayar ke Rembang, mengingat posisi Demak yang berada di tepi selat di antara pegunungan Muria dan Jawa yang dapat dilayari.

A. Singhasari sebagai Fajar Majapahit
Keberadaan Kerajaan Singhasari sebagai peletak dasar fondasi kekuatan negara maritim berdiri di Jawa Timur pada abad XIII. Singhasari mampu melakukan ekspansi ke beberapa daerah di kepulauan Nusantara, semisal pulau Sumatera, Semenanjung Malaka, Kalimantan Barat, dan pulau Bali. Kitab Pararaton menyebutkan bahwa Kerajaan Singhasari didirikan oleh Ken Angrok, seorang yang dipercaya sebagai pembunuh yang pintar dan memiliki keunggulan kekuasaan di timur pegunungan Kawi. Tidak mustahil kemudian kerajaan Kediri mampu dikalahkan oleh pemberontakan Angrok pada tahun 1222. Kemenangan Ken Angrok atas Kediri mengantarkannya untuk membangun kerajaan baru Singhasari yang kekuasaannya meliputi Tumapel, Kediri, Kahuripan, dan seluruh  daerah Sungai Brantas dari hulu hingga hilir (pelabuhan Ujung Galuh). Posisi kerajaan Singhasari di hulu Sungai Brantas tak pelak menjadikannya sebagai letak yang strategis, mengingat sungai pada masa itu menjadi prasarana lalu lintas utama untuk transportasi perdagangan, transportasi manusia, bahkan angkutan militer untuk kepentingan perang. Pelabuhan Ujung Galuh yang dimiliki Singhasari merupakan pelabuhan internasional tempat pertemuan dan transaksi produk-produk lokal dengan produk-produk dari luar pulau maupun komoditi dari luar Nusantara seperti Cina dan India. Tidak berlebihan sekiranya Singhasari disebut sebagai kerajaan yang kaya, dan bahwa sebagian dari kekayaan yang dihasilkan oleh arus perdagangan barat-timur di Asia bagian selatan dari Kepulauan Rempah-Rempah ke pelabuhan-pelabuhan Malaya pastilah mengalir ke dalam perbendaharaan istana.
            Kerajaan Singhasari berada pada puncak kejayaan ketika dipimpin oleh Kertanegara, raja kelima dan terakhir Singhasari. Pada masa Kertanegara, Singhasari mampu menjadi basis ekonomi pertanian yang menghasilkan beras, ternak, dan hasil hutan dan diperdagangkan melalui jalur Sungai Brantas, dipasarkan ke pulau-pulau di Nusantara dan negeri-negeri lain melalui pelabuhan laut Ujung Galuh. Secara religi, Kertanegara yang dikenal menganut kepercayaan Siwa-Buddha juga melakukan ekspansi keagamaan ke luar Jawa. Kertanegara mendirikan patung berwujud dirinya dengan prasasti bertuliskan “demi raja dan keluarga istana, dan kesatuan kerajaan”. Patung yang dianggap sebagai bagian dari kekuatan gaib penolak bala untuk menghilangkan akibat jahat dari pembagian Bharada atas negerinya juga didatangkan dari Jawa dan didirikan di kaki pegunungan di jantung Sumatera.
            Keruntuhan Kerajaan Singhasari pada mulanya berawal dari ekspansi politik yang dilakukan Kublai Khan terhadap seluruh negeri-negeri selatan di seberang lautan (Nan-Yang) atau setidaknya menuntut pengakuan atas kekuasaannya dengan mengirimkan duta-duta dari negeri-negeri selatan tersebut untuk menghadap Kaisar Tiongkok. Kondisi yang timbul selanjutnya di dalam kerajaan Singhasari nampak begitu rumit dengan pemberontakan Jayakatwang, raja Kediri, yang melakukan sebua mendadak ke istana Kertanegara pada tahun 1294, justru ketika kekuatan militer utama Singhasari tengah berada di Melayu. Raja Kertanegara dan keluarganya pun terbunuh. Di tahun yang sama, utusan dari Mongol datang dengan tujuan menghukum Kertanegara yang menolak tunduk pada Kaisar Tiongkok, namun Kertanegara telah terbunuh oleh Jayakatwang. Wijaya, menantu Kertanegara berhasil menyelamatkan diri, dan dialah yang akan membuat sejarah baru dan membangun kerajaan baru, melanjutkan kejayaan Singhasari di Nusantara.

B. Imperium Majapahit Dan Kejayaan Nusantara
Setelah Wijaya berhasil meloloskan diri dari pemberontakan Jayakatwang terhadap kerajaan Singhasari ia mendirikan pusat kerajaan Majapahit yang terletak di bagian hilir Kali Brantas, Jawa Timur, pada tahun 1293. Lokasi pusat kerajaan Majapahit meliputi lembah sungai dan dataran delta yang merupakan timbunan lumpur sungai berupa abu vulkanik dari gunung berapi yang tersebar di sekitarnya, sehingga tanah di sekitar Majapahit merupakan tanah dengan tingkat kesuburan tinggi. Majapahit memiliki potensi sumberdaya alam yang menguntungkan, loksi strategis, akses ke laut yang mudah, sehingga kerajaan yang melanjutkan penguasaan wilayah-wilayah ahsil ekspansi Singhasari ini semakin memantapkan dirinya sebagai kerajaan berwawasan Nusantara terbesar di Nusantara selama abad XIV. Majapahit melakukan konsolidasi baik internal maupun eksternal. Konsolidasi internal dilakukan ke wilayah intinya (Jawa Tengah, Jawa Timur, dan Madura) melalui penumpasan berbagai pemberontakan.  Konsolidasi eksternal dilakukan dengan memantapkan pengakuan kekuasaan Majaphit di daerah-daerah melalui peningkatan aktivitas pelayaran dan perdagangan, mengontrol zona perdagangan jaringan Laut Jawa dan Selat Malaka dan menempatkan pejabat Majaphit di daerah “seberang lautan”. Imperium Majapahit telah menjadi kekuatan besar. Ibukota telah berkembang pesat dan tumbuh dari satu desa menjadi kota besar. Majapahit memang telah menjadi penguasa banyak daerah di berbagai pulau di Nusantara. Beberapa sumber sejarah lokal menyebutkan kesaksian atas kebesaran Kerajaan Majapahit, demikian pula dengan jalinan hubungan diplomatik Majapahit dengan negeri-negeri asing di luar Nusantara semisal hubungan Majapahit dengan kekaisaran Cina. Hubungan ini menjadi penting berkaitan dengan para pedagang Cina yang bermukim di kota-kota pelabuhan Majapahit, setidaknya sejak akhir abad XIV.
Secara ekonomis, perdagangan laut yang melibatkan Kerajaan Majapahit memiliki andalan ekspor yaitu beras yang dapat diperdagangkan di pulau-pulau sebelah timur, khususnya kepulauan Maluku, dan ke barat yaitu kota-kota pelabuhan seperti Palembang, Melayu, dan Pasai. Sementara secara militer, Kerajaan Majapahit dikenal memiliki armada maritim yang kuat terlihat dengan dilakukannya empat ekspedisi laut untuk menundukkan kekuasaan di daerah. Ekspedisi militer pertama dilakukan di bawah pemerintahan Tribhuwana Tunggadewi dengan Bali sebagai tujuannya pada tahun 1343. Ekspedisi militer kedua adalah penaklukkan Dompo (Sumbawa) sebelum tahun 1365, lalu penyerbuan ke Palembang tahun 1377. Dikisahkan dalam historiografi tradisonal bahwa Majapahit juga diberitakan menyerang kerajaan Pasai (kira-kira pertengahan abad XIV) dan Singapura (Tumasik) kira-kira pada perempat akhir abad XIV.
Kemunduran Kerajaan Majapahit dimulai ketika kerajaan-kerajaan pantai yang memiliki pelabuhan-pelabuhan internasional menjadi semakin kaya dan jaya. Majapahit juga memiliki ideologi tandingan baru yakni Islam, dan sekaligus melepaskan diri dari kekuasaan pusat Majapahit. Secara internal terjadi pula konflik-konflik perebutan tahta antarkeluarga kerajaan, demikian halnya dengan pemberontakan para kepala daerah yang antara lain disebabkan oleh semakin beratnya besaran pajak dari pemerintah pusat pasca segregasi kota-kota pelabuhan. Kejatuhan Majapahit diidentifikasi berlangsung pada tahun 1478 Masehi (1400 Çaka) berdasar Candra Sengkala “sirna ilang kertaning bhumi”dalam Babad Jawa.
Untuk hubungan Majapahit dengan penguasa negeri seberang, sebut saja kekaisaran Cina, tampaknya cukup baik, terbukti dengan banyak tersebarnya para pedagang Cina yang bermukim di kota-kota pelabuhan Majapahit, setidaknya sejak akhir abad XIV. Hubungan Cina-Jawa yang sempat vakum akibat tragedi “potong kuping” yang dilakukan Kertanegara telah kembali menghangat justru pada masa Raja Hayam Wuruk di Majapahit. Ekspedisi Cheng Ho dan Kekaisaran Ming ke Jawa berlangsung pada masa Hayam Wuruk (1351-1389 Masehi). Catatan dinasti Ming (Ming Shih) menyatakan bahwa Laksamana Cheng Ho, utusan dari dinasti Kaisar Yung Lo, mengunjungi Nusantara dan negeri-negeri lain untuk menuntut pengakuan kemaharajaan Cina. Pengakuan tersebut dibuktikan dengan pengiriman duta besar dari negeri-negeri yang dikunjungi Cheng Ho ke negeri Cina. Dengan armada jung Cina yang sangat besar Cheng Ho mengunjungi Nusantara antara tahun 1405 dan 1415. Ia mengunjungi Majapahit sebanyak 3 kali, yaitu pada tahun 1405, 1408, dan 1415. Majapahit baru mengirim duta ke Cina pada masa pemerintahan raja Hayam Wuruk (akhir abad XIV). Menurut Ma Huan, juru bicara Cheng Ho yang sering mengikuti misi muhibah Cheng Ho, pada tahun 1415 pelabuhan-pelabuhan Majapahit adalah Tuban, Gresik, Surabaya, dan Canggu yang merupakan pelabuhan sungai di dekat ibukota Majapahit. Pelabuhan-pelabuhan tersebut sangat ramai dikunjungi oleh para pedagang, baik pedagang dari “barat” (Timur Tengah), maupun para pedagang Cina yang sebagian beragama Islam.


Referensi :
Qurtuby, Sumanto Al. 2003. Arus Cina-Islam-Jawa : Bongkar Sejarah atas Peranan         Tionghoa dalam Penyebaran Agama Islam di Nusantara Abad XV & XVI.     Yogyakarta: Inspeal Ahimsakarya Press.
Suroyo, A.M. Djuliati, dkk. 2007. Sejarah Maritim Indonesia I : Menelusuri Jiwa
Bahari Bangsa Indonesia Hingga Abad ke-17. Semarang: Penerbit JEDA.  

Vlekke, Bernard H.M. 2010. Nusantara Sejarah Indonesia. Jakarta: Gramedia.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar