Senin, 22 Oktober 2012

KEBUDAYAAN MASYARAKAT PANTAI UTARA JAWA - Tinjauan Proses Dinamika Sosial Kultural di Pesisir Pantai Utara Jawa Tengah Abad XV Hingga Abad XXI (Bagian 2)


BAB II
KERAJAAN PESISIR UTARA JAWA HINGGA ABAD XVIII


A. Kekuatan Armada Maritim Kerajaan Kuna Jawa Hingga Abad XV
1.      Kerajaan Singhasari
Keberadaan Kerajaan Singhasari sebagai peletak dasar fondasi kekuatan negara maritim berdiri di Jawa Timur pada abad XIII. Singhasari mampu melakukan ekspansi ke beberapa daerah di kepulauan Nusantara, semisal pulau Sumatera, Semenanjung Malaka, Kalimantan Barat, dan pulau Bali.[1] Kitab Pararaton menyebutkan bahwa Kerajaan Singhasari didirikan oleh Ken Angrok, seorang yang dipercaya sebagai pembunuh yang pintar dan memiliki keunggulan kekuasaan di timur pegunungan Kawi.[2] Tidak mustahil kemudian kerajaan Kediri mampu dikalahkan oleh pemberontakan Angrok pada tahun 1222. Kemenangan Ken Angrok atas Kediri mengantarkannya untuk membangun kerajaan baru Singhasari yang kekuasaannya meliputi Tumapel, Kediri, Kahuripan, dan seluruh  daerah Sungai Brantas dari hulu hingga hilir (pelabuhan Ujung Galuh). Posisi kerajaan Singhasari di hulu Sungai Brantas tak pelak menjadikannya sebagai letak yang strategis, mengingat sungai pada masa itu menjadi prasarana lalu lintas utama untuk transportasi perdagangan, transportasi manusia, bahkan angkutan militer untuk kepentingan perang. Pelabuhan Ujung Galuh yang dimiliki Singhasari merupakan pelabuhan internasional tempat pertemuan dan transaksi produk-produk lokal dengan produk-produk dari luar pulau maupun komoditi dari luar Nusantara seperti Cina dan India.[3] Tidak berlebihan sekiranya Singhasari disebut sebagai kerajaan yang kaya, dan bahwa sebagian dari kekayaan yang dihasilkan oleh arus perdagangan barat-timur di Asia bagian selatan dari Kepulauan Rempah-Rempah ke pelabuhan-pelabuhan Malaya pastilah mengalir ke dalam perbendaharaan istana.[4]
            Kerajaan Singhasari berada pada puncak kejayaan ketika dipimpin oleh Kertanegara, raja kelima dan terakhir Singhasari. Pada masa Kertanegara, Singhasari mampu menjadi basis ekonomi pertanian yang menghasilkan beras, ternak, dan hasil hutan dan diperdagangkan melalui jalur Sungai Brantas, dipasarkan ke pulau-pulau di Nusantara dan negeri-negeri lain melalui pelabuhan laut Ujung Galuh.[5] Secara religi, Kertanegara yang dikenal menganut kepercayaan Siwa-Buddha juga melakukan ekspansi keagamaan ke luar Jawa. Kertanegara mendirikan patung berwujud dirinya dengan prasasti bertuliskan “demi raja dan keluarga istana, dan kesatuan kerajaan”. Patung yang dianggap sebagai bagian dari kekuatan gaib penolak bala untuk menghilangkan akibat jahat dari pembagian Bharada atas negerinya juga didatangkan dari Jawa dan didirikan di kaki pegunungan di jantung Sumatera.[6]
            Keruntuhan Kerajaan Singhasari pada mulanya berawal dari ekspansi politik yang dilakukan Kublai Khan terhadap seluruh negeri-negeri selatan di seberang lautan (Nan-Yang) atau setidaknya menuntut pengakuan atas kekuasaannya dengan mengirimkan duta-duta dari negeri-negeri selatan tersebut untuk menghadap Kaisar Tiongkok. Kondisi yang timbul selanjutnya di dalam kerajaan Singhasari nampak begitu rumit dengan pemberontakan Jayakatwang, raja Kediri, yang melakukan sebua mendadak ke istana Kertanegara pada tahun 1294, justru ketika kekuatan militer utama Singhasari tengah berada di Melayu. Raja Kertanegara dan keluarganya pun terbunuh. Di tahun yang sama, utusan dari Mongol datang dengan tujuan menghukum Kertanegara yang menolak tunduk pada Kaisar Tiongkok, namun Kertanegara telah terbunuh oleh Jayakatwang. Wijaya, menantu Kertanegara berhasil menyelamatkan diri, dan dialah yang akan membuat sejarah baru dan membangun kerajaan baru, melanjutkan kejayaan Singhasari di Nusantara.[7]
2. Kerajaan Majapahit
Setelah Wijaya berhasil meloloskan diri dari pemberontakan Jayakatwang terhadap kerajaan Singhasari ia mendirikan pusat kerajaan Majapahit yang terletak di bagian hilir Kali Brantas, Jawa Timur, pada tahun 1293. Lokasi pusat kerajaan Majapahit meliputi lembah sungai dan dataran delta yang merupakan timbunan lumpur sungai berupa abu vulkanik dari gunung berapi yang tersebar di sekitarnya, sehingga tanah di sekitar Majapahit merupakan tanah dengan tingkat kesuburan tinggi. Majapahit memiliki potensi sumberdaya alam yang menguntungkan, loksi strategis, akses ke laut yang mudah, sehingga kerajaan yang melanjutkan penguasaan wilayah-wilayah ahsil ekspansi Singhasari ini semakin memantapkan dirinya sebagai kerajaan berwawasan Nusantara terbesar di Nusantara selama abad XIV. Majapahit melakukan konsolidasi baik internal maupun eksternal. Konsolidasi internal dilakukan ke wilayah intinya (Jawa Tengah, Jawa Timur, dan Madura) melalui penumpasan berbagai pemberontakan.  Konsolidasi eksternal dilakukan dengan memantapkan pengakuan kekuasaan Majaphit di daerah-daerah melalui peningkatan aktivitas pelayaran dan perdagangan, mengontrol zona perdagangan jaringan Laut Jawa dan Selat Malaka dan menempatkan pejabat Majaphit di daerah “seberang lautan”.[8] Imperium Majapahit telah menjadi kekuatan besar. Ibukota telah berkembang pesat dan tumbuh dari satu desa menjadi kota besar.[9] Majapahit memang telah menjadi penguasa banyak daerah di berbagai pulau di Nusantara. Beberapa sumber sejarah lokal menyebutkan kesaksian atas kebesaran Kerajaan Majapahit, demikian pula dengan jalinan hubungan diplomatik Majapahit dengan negeri-negeri asing di luar Nusantara semisal hubungan Majapahit dengan kekaisaran Cina. Hubungan ini menjadi penting berkaitan dengan para pedagang Cina yang bermukim di kota-kota pelabuhan Majapahit, setidaknya sejak akhir abad XIV.[10]
Secara ekonomis, perdagangan laut yang melibatkan Kerajaan Majapahit memiliki andalan ekspor yaitu beras yang dapat diperdagangkan di pulau-pulau sebelah timur, khususnya kepulauan Maluku, dan ke barat yaitu kota-kota pelabuhan seperti Palembang, Melayu, dan Pasai.[11] Sementara secara militer, Kerajaan Majapahit dikenal memiliki armada maritim yang kuat terlihat dengan dilakukannya empat ekspedisi laut untuk menundukkan kekuasaan di daerah. Ekspedisi militer pertama dilakukan di bawah pemerintahan Tribhuwana Tunggadewi dengan Bali sebagai tujuannya pada tahun 1343. Ekspedisi militer kedua adalah penaklukkan Dompo (Sumbawa) sebelum tahun 1365, lalu penyerbuan ke Palembang tahun 1377. Dikisahkan dalam historiografi tradisonal bahwa Majapahit juga diberitakan menyerang kerajaan Pasai (kira-kira pertengahan abad XIV) dan Singapura (Tumasik) kira-kira pada perempat akhir abad XIV.[12]
Kemunduran Kerajaan Majapahit dimulai ketika kerajaan-kerajaan pantai yang memiliki pelabuhan-pelabuhan internasional menjadi semakin kaya dan jaya. Majapahit juga memiliki ideologi tandingan baru yakni Islam, dan sekaligus melepaskan diri dari kekuasaan pusat Majapahit. Secara internal terjadi pula konflik-konflik perebutan tahta antarkeluarga kerajaan, demikian halnya dengan pemberontakan para kepala daerah yang antara lain disebabkan oleh semakin beratnya besaran pajak dari pemerintah pusat pasca segregasi kota-kota pelabuhan.[13] Kejatuhan Majapahit diidentifikasi berlangsung pada tahun 1478 Masehi (1400 Çaka) berdasar Candra Sengkala “sirna ilang kertaning bhumi”dalam Babad Jawa.

B. Pelayaran dan Perdagangan Kerajaan Islam Jawa Hingga Abad XVIII
            Pasca keruntuhan Kerajaan Majapahit pada tahun 1478 Masehi, di akhir abad XV telah terdapat banyak kota pelabuhan di pesisir Jawa seperti Tuban, Gresik, Panarukan, Demak, Pati, Yuwana, Jepara, dan Kudus. Dari sekian kota-kota pesisir utara Jawa Tengah, baik Jepara maupun Tuban dianggap lebih memegang peranan emporium dari perdagangan antara Barat atau jurusan Malaka dan Timur (jurusan Maluku). Jawa Tengah, yang mengekspor lewat Jepara, bahkan merupakan pemasok terbesar untuk Melaka. Untuk daerah ini dikirim beras lima hingga enam puluh jung (sekitar 15.000 ton) per tahun pada awal abad XVI. Jepara juga merupakan pemasok utama beras untuk Banjarmasin, Maluku, dan kota-kota pelabuhan besar di Jawa Barat (Banten dan Jakarta-Batavia).[14] Sementara itu kedudukan Tuban diperkuat oleh mata pencaharian masyarakat di sekitarnya sebagai pekerja pembuatan kapal di Rembang dan Lasem. Selain itu daerah pedalaman Tuban banyak menghasilkan padi, berbagai jenis kayu, dan tuak. Kapal-kapal di Tuban juga mengambil ikan dan air tawar. Selanjutnya dapat diperoleh pula asam, daging sapi, daging babi, ayam, bermacam-macam buah-buahan, sementara lada dan bahan tenunan diimpor di Tuban. Di sebelah timur Tuban terletak Sedayu, kemudian Gresik dan Surabaya. Dari ketiga kota pelabuhan itu Gresik dikenal sebagai pelabuhan yang terbaik dengan ramainya transaksi perdagangan oleh pedagang dari Gujarat, Kalikut, Bengala, Siam, dan Cina. Perdagangan yang paling ramai ialah kain tebun yang didatangkan dari segala penjuru. Banyak kain diborong oleh pedagang Gresik untuk kemudian dijual di Maluku dan Banda.[15] Pada perkembangan selanjutnya, kerajaan-kerajaan di Jawa seperti Demak, Cirebon, dan Banten nampak dapat mengkonsolidasikan kekuasaan.
1. Kerajaan Demak
Kerajaan Demak berdiri pada tahun 1500 dengan Raden Patah (atau Raden Fattah) sebagai pendirinya. Kisah ini dimuat dalam historiografi tradisional Jawa dengan menunjukkan adanya suatu pola kontinuitas dalam genealogi sehingga peralihan kekuasaan dengan demikian dapat disahkan. Dalam Babad Tanah Jawi disebutkan, atas nasehat Sunan Ampel, Raden Fattah (kala itu masih bernama Raden Hasan) menetap di daerah Glagah Wangi atau hutan Bintara. Di situ ia membuka hutan dan mendirikan masjid serta pesantren. Nama “Fattah” yang disandangnya berarti “membuka” lalu lebih dikenal oleh masyarakat sekitar sebagai seorang ulama terkenal di Bintara, mengajarkan agama Islam kepada penduduk di sekitarnya.[16] Menurut Babad Tanah Jawi pula disebutkan bahwa Sultan Demak memiliki enam keturunan dan dua dari puteranya menjadi Sultan Demak yakni Adipati Unus dan Sultan Trenggana, sementara Sunan Prawata disebutkan menjadi sultan terakhir kerajaan Demak.
Sebagai ibukota kerajaan, Demak terletak pada posisi strategis dan menguntungkan baik untuk perdagangan maupun pertanian. Letak kerajaan Demak diperkirakan berada di tepi selat di antara pegunungan Muria dan Jawa yang dapat dilayari sehingga kapal-kapal dagang dari Semarang dapat mengambil jalan pintas untuk berlayar ke Rembang.[17] Secara politis, Demak juga turut mengambil andil dalam ekspansi ke beberapa wilayah seperti Tuban pada tahun 1527, Wirasari di tahun 1528, Gegelang (Madiun) pada tahun 1529, Medangkung (Medang Kamulan atau Blora) pada tahun 1530, Surabaya di tahun 1531, Pasuruan di tahun 1535, Lamongan, Blitar, dan Wirasaba pada tahun 1541 dan tahun 1542, Gunung Penanggungan pada tahun 1543, Mamenang atau Kediri pada tahun 1549, Sengguruh (Malang) pada tahun 1545, dan Panarukan dan Blambangan pada tahun 1546 sekaligus sebagai peristiwa gugurnya Sultan Trenggana dalam ekspansi ke Panarukan.[18]
Kemerosotan kesultanan Demak diawali dengan meninggalnya Sultan Trenggono pada tahun 1546. Sesudah itu terjadilah kekacauan dan persaingan di antara para calon pengganti raja. Konflik perebutan suksesi kekuasaan antara adik dan putra Sultan Trenggono pun tak terhindarkan lagi. Setelah terbunuhnya Arya Penangsang, Kesultanan Demak yang pernah mengalami masa kejayaan akhirnya mengalami kehancuran. Pusat pemerintahan kemudian dipindahkan ke Pajang dengan Hadiwijaya sebagai Sultan Pajang pertama yang dilantik oleh Sunan Giri.[19] Akibatnya pada akhir abad XVI pelabuhan laut kota Demak menjadi kurang berarti. Kesultanan Demak kemudian digantikan oleh kesultanan Pajang sekitar tahun 1568 yang meliputi sebagian dari wilayah Kesultanan Mataram Islam. Demak kemudian diserahkan kepada Kumpeni pada tahun 1746 sebagai dampak Geger Pacina. Pada masa Kumpeni, Demak dipergunakan untuk pelayaran dan perdagangan antarpulau dengan beras sebagai komoditi unggulannya.[20]
2. Kerajaan Cirebon
            Cirebon adalah satu dari sekian kota pelabuhan di pesisir utara Jawa Barat yang berada di bawah kekuasaan kerajaan Pajajaran yang bercorak Hindu Sunda. Perdagangan laut antara para pedagang Cirebon dan Malaka nampak telah terjalin dengan baik sejak akhir abad ke-14. Hal ini terlihat dari kepala kampung Jawa di Malaka yang bernama Upeh konon berasal dari Cirebon. Bandar Cirebon pada masanya telah tersentuh oleh jaringan pelayaran antarbangsa dengan komoditi ekspor seperti beras, lada, dan berbagai bahan makanan.[21]
            Keberadaan Cirebon dari segi sosial-religi nampak telah berlangsung pada awal abad XVI Masehi. Saat itu baik Demak maupun Cirebon telah memiliki kelompok-kelompok pedagang Islam yang saling berhubungan. Hubungan dalam segi religi makin menunjukkan eksistensinya ketika seorang pelarian dari kepungan bangsa Portugis, Fatahillah atau Syarif Hidayatullah, yang menginjakkan kakinya ke Demak bermaksud menyebarkan agama Islam di wilayah raja Pajajaran dengan tujuan Cirebon. Syarif Hidayatullah yang kemudian bergelar Sunan Gunung Jati selanjutnya ditasbihkan oleh Sultan Demak sebagai Panata Gama Rasul (pemimpin penyiaran agama Islam) di tanah Pasundan. Sesaat setelah kerajaan Demak mengalami kemunduran, Sunan Gunung Jati kemudian mengembangkan Cirebon dan menjadikannya sebagai ibu kota kerajaan dan kota pelabuhan yang merdeka. Sunan Gunung Jati juga mendirikan bangunan dan fasilitas yang menunjang aktivitas perdagangan dan pelayaran. Beliau juga membuka pelabuhan baru yang diberi nama pelabuhan Talang, sehingga makin memantapkan kejayaan kerajaan Cirebon yang ramai oleh kegiatan pelayaran dan perdagangan baik dengan pedagang asing maupun daerah-daerah pedalaman seperti Kuningan, Galuh, Palimanan, Ciamis, Majalengka, dan lain sebagainya.[22]
            Kesultanan Cirebon mengalami kemunduran pada awal abad XVII, bersamaan dengan terjadinya konflik politik militer antara Banten dan Mataram serta Belanda. Dalam hal ini Cirebon mengalami kebimbangan, apakah akan berpihak ke Mataram atau ke VOC, mengingat Cirebon terikat pada perkawinan politik dengan kerajaan Mataram. Kebimbangan tersebut menyebabkan timbulnya kecurigaan VOC atas Cirebon yang dianggap membantu ekspedisi militer Sultan Agung ke Batavia. Pada akhirnya VOC melakukan monopoli secara paksa melalui perjanjian dengan raja-raja Cirebon sehingga menyurutkan aktivitas pelayaran dan perdagangan di Cirebon. Salah satu perjanjian terpenting antara Cirebon dengan VOC adalah perjanjian tahun 1681 yang menyebutkan bahwa Cirebon terikat dengan ketentuan untuk selalu memelihara kepercayaan, menghormati dan menjaga persahabatan yang telah dijalin dengan kompeni.[23]


3. Kerajaan Banten
            Pada awal abad XVI di Jawa Barat terdapat pusat kekuasaan yang berkedudukan di Pakuan atau seperti diberitakan oleh Portugis, Dayo, sebagai ibu kota kerajaan Pajajaran. Hal ini disebut dalam prasasti Sunda Kuno dengan rangka tahun 1355 Çaka atau 1433 Masehi.[24] Sebelum munculnya zaman Islam, Banten sudah menjadi kota yang relatif penting dalam pelayaran dan perdagangan. Keberterimaan Banten terhadap Islam berlangsung pada tahun 1524 (atau 1525) Masehi ketika Nurullah dari Pasai (Sunan Gunung Jati) berlayar dari Demak ke Banten untuk mendakwahkan ajaran-ajaran Islam yang saat itu dipimpin seorang bupati Hindu Sunda. Sistem perdagangan yang tertata telah dimiliki Banten saat itu. Sekitar tahun 1600, pasar besar Banten telah menjadi pusat perdagangan yang melibatkan pedagang besar atau eceran, asing maupun domestik, dan yang diperdagangkan adalah bahan makanan sehari-hari dan barang dagangan dari tempat yang jauh. Penduduk perempuan menjual lada dan bahan makanan, sementara setiap kelompok saudagar asing mempunyai tempat untuk menjual barang-barang mereka. Pasar besar Banten sekaligus merupakan pasar harian untuk bahan makanan seperti beras, sayuran, buah-buahan, gula, ikan dan daging, dan tempat untuk menjual hewan ternak, tekstil, lada, cengkih, pala, senjata, perkakas dan barang-barang logam. Pasar itu diatur oleh Syahbandar yang menyelenggarakan pengadilan secara teratur guna menyelesaikan persengketaan perdagangan.[25]
            Menurut historiografi Banten, Hasanudin dianggap sebagai pendiri Kerajaan Banten. Ia menikahi seorang putri Sultan Trenggana dari Demak yang diperkirakan berlangsung pada tahun 1552. Dari pernikahan ini lahirlah dua orang putera, yang tertua Maulana Yusuf dan yang kedua Pangeran Jepara. Disebut sebagai Pangeran Jepara karena ia sebagai menantu Ratu Kalinyamat yang kemudian menggantikan Ratu Kalinyamat sebagai penguasa Jepara.[26] Ekspansi politik secara giat dilakukan oleh Maulana Yusuf dengan menghancurkan kerajaan Pajajaran yang masih belum Islam. Sepeninggalnya pada tahun 1580, puteranya, Maulana Mohammad, memperluas wilayah kekuasaan disertai dengan penyiaran agama Islam. Maulana Mohammad yang memperoleh dukungan kuat dari para pemimpin agama melakukan ekspansi ke Palembang atas dorongan Pangeran Mas, salah seorang pelarian dari Demak. Ekspansi ini mengalami kegagalan dan Maulana Mohammad gugur di medan pertempuran (1586).[27]
            Banten mengalami puncak kejayaan pada masa pemerintahan Sultan Ageng Tirtayasa (1651-1682). Sebelumnya, kemegahan emporium Banten nampaknya telah kentara dengan kesaksian Van Neck yang menuliskan kisahnya di tahun 1599, ketika menyaksikan makam baru raja yang berdekatan dengan masjid, “jelas merupakan bangunan paling kuat dan agung yang pernah saya saksikan di Banten”.[28] Sultan Ageng Tirtayasa dikenal sebagai sultan yang non-kooperatif karena ketidakberpihakannya pada VOC dan menganggap VOC sebagai ancaman bagi eksistensi Kesultanan Banten. Kejayaan Banten kemudian berakhir seiring dengan konflik intern keluarga keraton dan intervensi Belanda di dalamnya. Hal itu berawal dari ambisi putra Sultan Ageng Tirtayasa, Sultan Haji, yang berambisi menggantikan kedudukan ayahnya. Melalui persekutuan dengan Kumpeni, Sultan Haji akhirnya memenangkan konflik itu setelah pasukan Kumpeni menangkap Tirtayasa pada tahun 1682. Bahkan keraton di Tirtayasa pun dibumihanguskan oleh Kumpeni.[29] Pada perkembangan selanjutnya emporium Banten dihancurkan sendiri oleh VOC setelah sebelumnya mengalami blokade-blokade ekonomi oleh Belanda. Bahkan pada masa pemerintahan Gubernur Jenderal Daendels, keraton Banten sama sekali dihancurkan dan kesultanan Banten dihapuskan.[30]







[1] A.M. Djuliati Suroyo, dkk., op.cit., hlm. 83.
[2] Bernard H.M. Vlekke, Nusantara Sejarah Indonesia, (Jakarta: Gramedia, 2010), hlm. 61.
[3] A.M. Djuliati Suroyo, dkk., op.cit., hlm. 85
[4] Bernard H.M. Vlekke, op.cit., hlm. 63.
[5] A.M. Djuliati Suroyo, dkk., op.cit., hlm. 87
[6] Bernard H.M. Vlekke, op.cit., hlm. 70.
[7] A.M. Djuliati Suroyo, dkk., op.cit., hlm. 89.
[8] A.M. Djuliati Suroyo, op.cit., hlm. 83.
[9] Bernard H.M. Vlekke, dkk., op.cit., hlm. 97.
[10] A.M. Djuliati Suroyo, dkk., op.cit., hlm. 97.
[11] A.M. Djuliati Suroyo, dkk., op.cit., hlm. 101.
[12] ibid., hlm. 102
[13] ibid., hlm. 83.
[14] Anthony Reid, Asia Tenggara Dalam Kurun Niaga 1450-1680 Jilid 1: Tanah di Bawah Angin, (Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 2011), hlm. 28
[15] Sartono Kartodirdjo, Pengantar Sejarah Indonesia Baru 1500-1900 Dari Emporium Sampai Imperium, (Jakarta: Gramedia, 1992), hlm. 19.
[16]Hamid Akasah, Arya Penangsang Perebutan Takhta Kesultanan Demak, (Demak: CV. Cipta Adi Grafika, 2010), hlm. 8.
[17] A.M. Djuliati Suroyo, dkk., op.cit., hlm. 106.
[18] Sartono Kartodirdjo, op.cit., hlm. 32.
[19] Chusnul Hayati, dkk., Ratu Kalinyamat Biografi Tokoh Wanita Abad XVI dari Jepara, (Semarang: Jeda, 2007), hlm. 46.
[20] A.M. Djuliati Suroyo, dkk., op.cit., hlm. 111.
[21] ibid., hlm. 122.
[22] A.M.Djuliati Suroyo, dkk., op.cit., hlm. 124.
[23] ibid., hlm. 125.
[24] Sartono Kartodirdjo, op.cit., hlm. 33.
[25] A.M. Djuliati Suroyo, dkk., op.cit., hlm. 114.
[26] Sartono Kartodirdjo, op.cit., hlm. 34.
[27] ibid., hlm. 35.
[28] Anthony Reid, op.cit., hlm. 80.
[29] A.M. Djuliati Suroyo, dkk., op.cit., hlm. 119
[30] ibid., hlm. 120.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar