BAB II
KERAJAAN PESISIR UTARA JAWA
HINGGA ABAD XVIII
A. Kekuatan Armada Maritim Kerajaan Kuna Jawa Hingga Abad
XV
1. Kerajaan Singhasari
Keberadaan Kerajaan Singhasari sebagai peletak dasar
fondasi kekuatan negara maritim berdiri di Jawa Timur pada abad XIII.
Singhasari mampu melakukan ekspansi ke beberapa daerah di kepulauan Nusantara,
semisal pulau Sumatera, Semenanjung Malaka, Kalimantan Barat, dan pulau Bali.[1]
Kitab Pararaton menyebutkan bahwa Kerajaan Singhasari didirikan oleh Ken
Angrok, seorang yang dipercaya sebagai pembunuh yang pintar dan memiliki
keunggulan kekuasaan di timur pegunungan Kawi.[2]
Tidak mustahil kemudian kerajaan Kediri mampu dikalahkan oleh pemberontakan
Angrok pada tahun 1222. Kemenangan Ken Angrok atas Kediri mengantarkannya untuk
membangun kerajaan baru Singhasari yang kekuasaannya meliputi Tumapel, Kediri,
Kahuripan, dan seluruh daerah Sungai Brantas
dari hulu hingga hilir (pelabuhan Ujung Galuh). Posisi kerajaan Singhasari di
hulu Sungai Brantas tak pelak menjadikannya sebagai letak yang strategis,
mengingat sungai pada masa itu menjadi prasarana lalu lintas utama untuk
transportasi perdagangan, transportasi manusia, bahkan angkutan militer untuk
kepentingan perang. Pelabuhan Ujung Galuh yang dimiliki Singhasari merupakan
pelabuhan internasional tempat pertemuan dan transaksi produk-produk lokal
dengan produk-produk dari luar pulau maupun komoditi dari luar Nusantara
seperti Cina dan India.[3]
Tidak berlebihan sekiranya Singhasari disebut sebagai kerajaan yang kaya, dan
bahwa sebagian dari kekayaan yang dihasilkan oleh arus perdagangan barat-timur
di Asia bagian selatan dari Kepulauan Rempah-Rempah ke pelabuhan-pelabuhan
Malaya pastilah mengalir ke dalam perbendaharaan istana.[4]
Kerajaan
Singhasari berada pada puncak kejayaan ketika dipimpin oleh Kertanegara, raja
kelima dan terakhir Singhasari. Pada masa Kertanegara, Singhasari mampu menjadi
basis ekonomi pertanian yang menghasilkan beras, ternak, dan hasil hutan dan
diperdagangkan melalui jalur Sungai Brantas, dipasarkan ke pulau-pulau di
Nusantara dan negeri-negeri lain melalui pelabuhan laut Ujung Galuh.[5]
Secara religi, Kertanegara yang dikenal menganut kepercayaan Siwa-Buddha juga
melakukan ekspansi keagamaan ke luar Jawa. Kertanegara mendirikan patung
berwujud dirinya dengan prasasti bertuliskan “demi raja dan keluarga istana,
dan kesatuan kerajaan”. Patung yang dianggap sebagai bagian dari kekuatan gaib
penolak bala untuk menghilangkan akibat jahat dari pembagian Bharada atas
negerinya juga didatangkan dari Jawa dan didirikan di kaki pegunungan di
jantung Sumatera.[6]
Keruntuhan
Kerajaan Singhasari pada mulanya berawal dari ekspansi politik yang dilakukan
Kublai Khan terhadap seluruh negeri-negeri selatan di seberang lautan
(Nan-Yang) atau setidaknya menuntut pengakuan atas kekuasaannya dengan
mengirimkan duta-duta dari negeri-negeri selatan tersebut untuk menghadap
Kaisar Tiongkok. Kondisi yang timbul selanjutnya di dalam kerajaan Singhasari
nampak begitu rumit dengan pemberontakan Jayakatwang, raja Kediri, yang
melakukan sebua mendadak ke istana Kertanegara pada tahun 1294, justru ketika
kekuatan militer utama Singhasari tengah berada di Melayu. Raja Kertanegara dan
keluarganya pun terbunuh. Di tahun yang sama, utusan dari Mongol datang dengan
tujuan menghukum Kertanegara yang menolak tunduk pada Kaisar Tiongkok, namun
Kertanegara telah terbunuh oleh Jayakatwang. Wijaya, menantu Kertanegara
berhasil menyelamatkan diri, dan dialah yang akan membuat sejarah baru dan
membangun kerajaan baru, melanjutkan kejayaan Singhasari di Nusantara.[7]
2.
Kerajaan Majapahit
Setelah Wijaya berhasil
meloloskan diri dari pemberontakan Jayakatwang terhadap kerajaan Singhasari ia
mendirikan pusat kerajaan Majapahit yang terletak di bagian hilir Kali Brantas,
Jawa Timur, pada tahun 1293. Lokasi pusat kerajaan Majapahit meliputi lembah
sungai dan dataran delta yang merupakan timbunan lumpur sungai berupa abu
vulkanik dari gunung berapi yang tersebar di sekitarnya, sehingga tanah di
sekitar Majapahit merupakan tanah dengan tingkat kesuburan tinggi. Majapahit
memiliki potensi sumberdaya alam yang menguntungkan, loksi strategis, akses ke
laut yang mudah, sehingga kerajaan yang melanjutkan penguasaan wilayah-wilayah
ahsil ekspansi Singhasari ini semakin memantapkan dirinya sebagai kerajaan
berwawasan Nusantara terbesar di Nusantara selama abad XIV. Majapahit melakukan
konsolidasi baik internal maupun eksternal. Konsolidasi internal dilakukan ke
wilayah intinya (Jawa Tengah, Jawa Timur, dan Madura) melalui penumpasan
berbagai pemberontakan. Konsolidasi
eksternal dilakukan dengan memantapkan pengakuan kekuasaan Majaphit di
daerah-daerah melalui peningkatan aktivitas pelayaran dan perdagangan,
mengontrol zona perdagangan jaringan Laut Jawa dan Selat Malaka dan menempatkan
pejabat Majaphit di daerah “seberang lautan”.[8]
Imperium Majapahit telah menjadi kekuatan besar. Ibukota telah berkembang pesat
dan tumbuh dari satu desa menjadi kota besar.[9]
Majapahit memang telah menjadi penguasa banyak daerah di berbagai pulau di
Nusantara. Beberapa sumber sejarah lokal menyebutkan kesaksian atas kebesaran
Kerajaan Majapahit, demikian pula dengan jalinan hubungan diplomatik Majapahit
dengan negeri-negeri asing di luar Nusantara semisal hubungan Majapahit dengan
kekaisaran Cina. Hubungan ini menjadi penting berkaitan dengan para pedagang
Cina yang bermukim di kota-kota pelabuhan Majapahit, setidaknya sejak akhir
abad XIV.[10]
Secara ekonomis, perdagangan
laut yang melibatkan Kerajaan Majapahit memiliki andalan ekspor yaitu beras
yang dapat diperdagangkan di pulau-pulau sebelah timur, khususnya kepulauan
Maluku, dan ke barat yaitu kota-kota pelabuhan seperti Palembang, Melayu, dan
Pasai.[11]
Sementara secara militer, Kerajaan Majapahit dikenal memiliki armada maritim
yang kuat terlihat dengan dilakukannya empat ekspedisi laut untuk menundukkan
kekuasaan di daerah. Ekspedisi militer pertama dilakukan di bawah pemerintahan
Tribhuwana Tunggadewi dengan Bali sebagai tujuannya pada tahun 1343. Ekspedisi
militer kedua adalah penaklukkan Dompo (Sumbawa) sebelum tahun 1365, lalu
penyerbuan ke Palembang tahun 1377. Dikisahkan dalam historiografi tradisonal
bahwa Majapahit juga diberitakan menyerang kerajaan Pasai (kira-kira
pertengahan abad XIV) dan Singapura (Tumasik) kira-kira pada perempat akhir
abad XIV.[12]
Kemunduran Kerajaan
Majapahit dimulai ketika kerajaan-kerajaan pantai yang memiliki
pelabuhan-pelabuhan internasional menjadi semakin kaya dan jaya. Majapahit juga
memiliki ideologi tandingan baru yakni Islam, dan sekaligus melepaskan diri
dari kekuasaan pusat Majapahit. Secara internal terjadi pula konflik-konflik
perebutan tahta antarkeluarga kerajaan, demikian halnya dengan pemberontakan
para kepala daerah yang antara lain disebabkan oleh semakin beratnya besaran
pajak dari pemerintah pusat pasca segregasi kota-kota pelabuhan.[13]
Kejatuhan Majapahit diidentifikasi berlangsung pada tahun 1478 Masehi (1400
Çaka) berdasar Candra Sengkala “sirna
ilang kertaning bhumi”dalam Babad Jawa.
B.
Pelayaran dan Perdagangan Kerajaan Islam Jawa Hingga Abad XVIII
Pasca keruntuhan Kerajaan
Majapahit pada tahun 1478 Masehi, di akhir abad XV telah terdapat banyak kota
pelabuhan di pesisir Jawa seperti Tuban, Gresik, Panarukan, Demak, Pati,
Yuwana, Jepara, dan Kudus. Dari sekian kota-kota pesisir utara Jawa Tengah,
baik Jepara maupun Tuban dianggap lebih memegang peranan emporium dari
perdagangan antara Barat atau jurusan Malaka dan Timur (jurusan Maluku). Jawa
Tengah, yang mengekspor lewat Jepara, bahkan merupakan pemasok terbesar untuk
Melaka. Untuk daerah ini dikirim beras lima hingga enam puluh jung (sekitar
15.000 ton) per tahun pada awal abad XVI. Jepara juga merupakan pemasok utama
beras untuk Banjarmasin, Maluku, dan kota-kota pelabuhan besar di Jawa Barat
(Banten dan Jakarta-Batavia).[14]
Sementara itu kedudukan Tuban diperkuat oleh mata pencaharian masyarakat di
sekitarnya sebagai pekerja pembuatan kapal di Rembang dan Lasem. Selain itu
daerah pedalaman Tuban banyak menghasilkan padi, berbagai jenis kayu, dan tuak.
Kapal-kapal di Tuban juga mengambil ikan dan air tawar. Selanjutnya dapat
diperoleh pula asam, daging sapi, daging babi, ayam, bermacam-macam
buah-buahan, sementara lada dan bahan tenunan diimpor di Tuban. Di sebelah
timur Tuban terletak Sedayu, kemudian Gresik dan Surabaya. Dari ketiga kota
pelabuhan itu Gresik dikenal sebagai pelabuhan yang terbaik dengan ramainya
transaksi perdagangan oleh pedagang dari Gujarat, Kalikut, Bengala, Siam, dan
Cina. Perdagangan yang paling ramai ialah kain tebun yang didatangkan dari
segala penjuru. Banyak kain diborong oleh pedagang Gresik untuk kemudian dijual
di Maluku dan Banda.[15]
Pada perkembangan selanjutnya, kerajaan-kerajaan di Jawa seperti Demak,
Cirebon, dan Banten nampak dapat mengkonsolidasikan kekuasaan.
1.
Kerajaan Demak
Kerajaan Demak berdiri pada
tahun 1500 dengan Raden Patah (atau Raden Fattah) sebagai pendirinya. Kisah ini
dimuat dalam historiografi tradisional Jawa dengan menunjukkan adanya suatu
pola kontinuitas dalam genealogi sehingga peralihan kekuasaan dengan demikian
dapat disahkan. Dalam Babad Tanah Jawi
disebutkan, atas nasehat Sunan Ampel, Raden Fattah (kala itu masih bernama
Raden Hasan) menetap di daerah Glagah Wangi atau hutan Bintara. Di situ ia
membuka hutan dan mendirikan masjid serta pesantren. Nama “Fattah” yang disandangnya
berarti “membuka” lalu lebih dikenal oleh masyarakat sekitar sebagai seorang
ulama terkenal di Bintara, mengajarkan agama Islam kepada penduduk di
sekitarnya.[16]
Menurut Babad Tanah Jawi pula
disebutkan bahwa Sultan Demak memiliki enam keturunan dan dua dari puteranya
menjadi Sultan Demak yakni Adipati Unus dan Sultan Trenggana, sementara Sunan
Prawata disebutkan menjadi sultan terakhir kerajaan Demak.
Sebagai ibukota kerajaan,
Demak terletak pada posisi strategis dan menguntungkan baik untuk perdagangan
maupun pertanian. Letak kerajaan Demak diperkirakan berada di tepi selat di
antara pegunungan Muria dan Jawa yang dapat dilayari sehingga kapal-kapal
dagang dari Semarang dapat mengambil jalan pintas untuk berlayar ke Rembang.[17]
Secara politis, Demak juga turut mengambil andil dalam ekspansi ke beberapa
wilayah seperti Tuban pada tahun 1527, Wirasari di tahun 1528, Gegelang
(Madiun) pada tahun 1529, Medangkung (Medang Kamulan atau Blora) pada tahun
1530, Surabaya di tahun 1531, Pasuruan di tahun 1535, Lamongan, Blitar, dan
Wirasaba pada tahun 1541 dan tahun 1542, Gunung Penanggungan pada tahun 1543,
Mamenang atau Kediri pada tahun 1549, Sengguruh (Malang) pada tahun 1545, dan
Panarukan dan Blambangan pada tahun 1546 sekaligus sebagai peristiwa gugurnya
Sultan Trenggana dalam ekspansi ke Panarukan.[18]
Kemerosotan kesultanan Demak
diawali dengan meninggalnya Sultan Trenggono pada tahun 1546. Sesudah itu
terjadilah kekacauan dan persaingan di antara para calon pengganti raja.
Konflik perebutan suksesi kekuasaan antara adik dan putra Sultan Trenggono pun
tak terhindarkan lagi. Setelah terbunuhnya Arya Penangsang, Kesultanan Demak
yang pernah mengalami masa kejayaan akhirnya mengalami kehancuran. Pusat
pemerintahan kemudian dipindahkan ke Pajang dengan Hadiwijaya sebagai Sultan
Pajang pertama yang dilantik oleh Sunan Giri.[19]
Akibatnya pada akhir abad XVI pelabuhan laut kota Demak menjadi kurang berarti.
Kesultanan Demak kemudian digantikan oleh kesultanan Pajang sekitar tahun 1568
yang meliputi sebagian dari wilayah Kesultanan Mataram Islam. Demak kemudian
diserahkan kepada Kumpeni pada tahun 1746 sebagai dampak Geger Pacina. Pada masa Kumpeni, Demak dipergunakan untuk pelayaran
dan perdagangan antarpulau dengan beras sebagai komoditi unggulannya.[20]
2.
Kerajaan Cirebon
Cirebon adalah satu dari
sekian kota pelabuhan di pesisir utara Jawa Barat yang berada di bawah
kekuasaan kerajaan Pajajaran yang bercorak Hindu Sunda. Perdagangan laut antara
para pedagang Cirebon dan Malaka nampak telah terjalin dengan baik sejak akhir
abad ke-14. Hal ini terlihat dari kepala kampung Jawa di Malaka yang bernama
Upeh konon berasal dari Cirebon. Bandar Cirebon pada masanya telah tersentuh
oleh jaringan pelayaran antarbangsa dengan komoditi ekspor seperti beras, lada,
dan berbagai bahan makanan.[21]
Keberadaan
Cirebon dari segi sosial-religi nampak telah berlangsung pada awal abad XVI
Masehi. Saat itu baik Demak maupun Cirebon telah memiliki kelompok-kelompok
pedagang Islam yang saling berhubungan. Hubungan dalam segi religi makin
menunjukkan eksistensinya ketika seorang pelarian dari kepungan bangsa
Portugis, Fatahillah atau Syarif Hidayatullah, yang menginjakkan kakinya ke
Demak bermaksud menyebarkan agama Islam di wilayah raja Pajajaran dengan tujuan
Cirebon. Syarif Hidayatullah yang kemudian bergelar Sunan Gunung Jati
selanjutnya ditasbihkan oleh Sultan Demak sebagai Panata Gama Rasul (pemimpin
penyiaran agama Islam) di tanah Pasundan. Sesaat setelah kerajaan Demak
mengalami kemunduran, Sunan Gunung Jati kemudian mengembangkan Cirebon dan
menjadikannya sebagai ibu kota kerajaan dan kota pelabuhan yang merdeka. Sunan
Gunung Jati juga mendirikan bangunan dan fasilitas yang menunjang aktivitas
perdagangan dan pelayaran. Beliau juga membuka pelabuhan baru yang diberi nama
pelabuhan Talang, sehingga makin memantapkan kejayaan kerajaan Cirebon yang
ramai oleh kegiatan pelayaran dan perdagangan baik dengan pedagang asing maupun
daerah-daerah pedalaman seperti Kuningan, Galuh, Palimanan, Ciamis, Majalengka,
dan lain sebagainya.[22]
Kesultanan
Cirebon mengalami kemunduran pada awal abad XVII, bersamaan dengan terjadinya
konflik politik militer antara Banten dan Mataram serta Belanda. Dalam hal ini
Cirebon mengalami kebimbangan, apakah akan berpihak ke Mataram atau ke VOC,
mengingat Cirebon terikat pada perkawinan politik dengan kerajaan Mataram.
Kebimbangan tersebut menyebabkan timbulnya kecurigaan VOC atas Cirebon yang
dianggap membantu ekspedisi militer Sultan Agung ke Batavia. Pada akhirnya VOC
melakukan monopoli secara paksa melalui perjanjian dengan raja-raja Cirebon
sehingga menyurutkan aktivitas pelayaran dan perdagangan di Cirebon. Salah satu
perjanjian terpenting antara Cirebon dengan VOC adalah perjanjian tahun 1681
yang menyebutkan bahwa Cirebon terikat dengan ketentuan untuk selalu memelihara
kepercayaan, menghormati dan menjaga persahabatan yang telah dijalin dengan
kompeni.[23]
3.
Kerajaan Banten
Pada
awal abad XVI di Jawa Barat terdapat pusat kekuasaan yang berkedudukan di
Pakuan atau seperti diberitakan oleh Portugis, Dayo, sebagai ibu kota kerajaan
Pajajaran. Hal ini disebut dalam prasasti Sunda Kuno dengan rangka tahun 1355
Çaka atau 1433 Masehi.[24]
Sebelum munculnya zaman Islam, Banten sudah menjadi kota yang relatif penting
dalam pelayaran dan perdagangan. Keberterimaan Banten terhadap Islam
berlangsung pada tahun 1524 (atau 1525) Masehi ketika Nurullah dari Pasai
(Sunan Gunung Jati) berlayar dari Demak ke Banten untuk mendakwahkan ajaran-ajaran
Islam yang saat itu dipimpin seorang bupati Hindu Sunda. Sistem perdagangan
yang tertata telah dimiliki Banten saat itu. Sekitar tahun 1600, pasar besar
Banten telah menjadi pusat perdagangan yang melibatkan pedagang besar atau
eceran, asing maupun domestik, dan yang diperdagangkan adalah bahan makanan
sehari-hari dan barang dagangan dari tempat yang jauh. Penduduk perempuan
menjual lada dan bahan makanan, sementara setiap kelompok saudagar asing
mempunyai tempat untuk menjual barang-barang mereka. Pasar besar Banten
sekaligus merupakan pasar harian untuk bahan makanan seperti beras, sayuran,
buah-buahan, gula, ikan dan daging, dan tempat untuk menjual hewan ternak,
tekstil, lada, cengkih, pala, senjata, perkakas dan barang-barang logam. Pasar
itu diatur oleh Syahbandar yang menyelenggarakan pengadilan secara teratur guna
menyelesaikan persengketaan perdagangan.[25]
Menurut
historiografi Banten, Hasanudin dianggap sebagai pendiri Kerajaan Banten. Ia
menikahi seorang putri Sultan Trenggana dari Demak yang diperkirakan
berlangsung pada tahun 1552. Dari pernikahan ini lahirlah dua orang putera,
yang tertua Maulana Yusuf dan yang kedua Pangeran Jepara. Disebut sebagai
Pangeran Jepara karena ia sebagai menantu Ratu Kalinyamat yang kemudian
menggantikan Ratu Kalinyamat sebagai penguasa Jepara.[26]
Ekspansi politik secara giat dilakukan oleh Maulana Yusuf dengan menghancurkan
kerajaan Pajajaran yang masih belum Islam. Sepeninggalnya pada tahun 1580,
puteranya, Maulana Mohammad, memperluas wilayah kekuasaan disertai dengan
penyiaran agama Islam. Maulana Mohammad yang memperoleh dukungan kuat dari para
pemimpin agama melakukan ekspansi ke Palembang atas dorongan Pangeran Mas,
salah seorang pelarian dari Demak. Ekspansi ini mengalami kegagalan dan Maulana
Mohammad gugur di medan pertempuran (1586).[27]
Banten
mengalami puncak kejayaan pada masa pemerintahan Sultan Ageng Tirtayasa
(1651-1682). Sebelumnya, kemegahan emporium Banten nampaknya telah kentara
dengan kesaksian Van Neck yang menuliskan kisahnya di tahun 1599, ketika
menyaksikan makam baru raja yang berdekatan dengan masjid, “jelas merupakan
bangunan paling kuat dan agung yang pernah saya saksikan di Banten”.[28]
Sultan Ageng Tirtayasa dikenal sebagai sultan yang non-kooperatif karena ketidakberpihakannya pada VOC dan menganggap
VOC sebagai ancaman bagi eksistensi Kesultanan Banten. Kejayaan Banten kemudian
berakhir seiring dengan konflik intern keluarga keraton dan intervensi Belanda
di dalamnya. Hal itu berawal dari ambisi putra Sultan Ageng Tirtayasa, Sultan
Haji, yang berambisi menggantikan kedudukan ayahnya. Melalui persekutuan dengan
Kumpeni, Sultan Haji akhirnya memenangkan konflik itu setelah pasukan Kumpeni
menangkap Tirtayasa pada tahun 1682. Bahkan keraton di Tirtayasa pun
dibumihanguskan oleh Kumpeni.[29]
Pada perkembangan selanjutnya emporium Banten dihancurkan sendiri oleh VOC
setelah sebelumnya mengalami blokade-blokade ekonomi oleh Belanda. Bahkan pada
masa pemerintahan Gubernur Jenderal Daendels, keraton Banten sama sekali
dihancurkan dan kesultanan Banten dihapuskan.[30]
[1] A.M. Djuliati Suroyo, dkk., op.cit., hlm. 83.
[2] Bernard H.M. Vlekke, Nusantara Sejarah Indonesia, (Jakarta: Gramedia, 2010), hlm. 61.
[3] A.M. Djuliati Suroyo, dkk., op.cit., hlm. 85
[4] Bernard H.M. Vlekke, op.cit., hlm. 63.
[5] A.M. Djuliati Suroyo, dkk., op.cit., hlm. 87
[7] A.M. Djuliati Suroyo, dkk., op.cit., hlm. 89.
[8] A.M. Djuliati Suroyo, op.cit., hlm. 83.
[9] Bernard H.M. Vlekke, dkk., op.cit., hlm. 97.
[10] A.M. Djuliati Suroyo, dkk., op.cit., hlm. 97.
[11] A.M. Djuliati Suroyo, dkk., op.cit., hlm. 101.
[12] ibid.,
hlm. 102
[13] ibid.,
hlm. 83.
[14] Anthony Reid, Asia Tenggara Dalam Kurun Niaga 1450-1680 Jilid 1: Tanah di Bawah Angin,
(Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 2011), hlm. 28
[15] Sartono Kartodirdjo, Pengantar Sejarah Indonesia Baru 1500-1900 Dari Emporium Sampai
Imperium, (Jakarta: Gramedia, 1992), hlm. 19.
[16]Hamid Akasah, Arya Penangsang Perebutan Takhta Kesultanan Demak, (Demak: CV.
Cipta Adi Grafika, 2010), hlm. 8.
[17] A.M. Djuliati Suroyo, dkk., op.cit., hlm. 106.
[18] Sartono Kartodirdjo, op.cit., hlm. 32.
[19] Chusnul Hayati, dkk., Ratu Kalinyamat Biografi Tokoh Wanita Abad XVI dari Jepara,
(Semarang: Jeda, 2007), hlm. 46.
[20] A.M. Djuliati Suroyo, dkk., op.cit., hlm. 111.
[21] ibid.,
hlm. 122.
[22] A.M.Djuliati Suroyo, dkk., op.cit., hlm. 124.
[23] ibid.,
hlm. 125.
[24] Sartono Kartodirdjo, op.cit., hlm. 33.
[25] A.M. Djuliati Suroyo, dkk., op.cit., hlm. 114.
[27] ibid.,
hlm. 35.
[28] Anthony Reid, op.cit., hlm. 80.
[29] A.M. Djuliati Suroyo, dkk., op.cit., hlm. 119
[30] ibid.,
hlm. 120.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar