B. Interpretasi 7
Unsur Kebudayaan Universal Terhadap Masyarakat Pantai
Utara Jawa Tengah Hingga Abad XXI
Dalam ilmu antropologi,
kebudayaan diartikan sebagai keseluruhan sistem gagasan, tindakan dan hasil
karya manusia dalam rangka kehidupan masyarakat ang dijadikan milik diri
manusia dengan belajar.[1]
Sementara itu The American Herritage
Dictionary mengartikan kebudayaan sebagai suatu keseluruhan dari pola
perilaku yang dikirimkan melalui kehidupan sosial, serta agama, kelembagaan,
dan semua hasil kerja dan pemikiran manusia dari suatu kelompok manusia. [2]
Koentjaraningrat menambahkan bahwa kebudayaan memiliki tiga wujud, antara lain:
1.
Wujud
kebudayaan sebagai suatu kompleks dari ide-ide, gagasan, nilai-nilai,
norma-norma, peraturan dan sebagainya. Wujud ini adalah wujud ideal dari
kebudayaan, bersifat abstrak, dan hidup dalam alam pikiran warga masyarakat di
mana kebudayaan bersangkutan itu hidup.
2.
Wujud
kebudayaan sebagai suatu kompleks aktivitas serta tindakan berpola dari manusia
dalam masyarakat. Wujud ini biasa disebut sebagai social system dan terdiri
dari aktivitas-aktivitas manusia-manusia yang berinteraksi, berhubungan, serta
bergaul satu dengan yang lain serta bersifat konkret karena terjadi di
sekeliling kita dan bisa diobservasi, difoto, dan didokumentasi.
3.
Wujud
kebudayaan sebagai benda-benda hasil karya manusia. Wujud ini disebut sebagai
kebudayaan fisik, dan tak memerlukan banyak penjelasan. Hal ini disebabkan
benda-benda tersebut merupakan manifestasi dari seluruh total dari hasil fisik
dari aktivitas, perbuatan, dan karya semua manusia dalam masyarakat, sehingga
sifatnya paling konkret.[3]
Sementara itu secara umum,
tidak jauh berbeda dengan Koentjaraningrat, J.J. Hoenigman membagi wujud
kebudayaan menjadi gagasan, aktivitas, dan artefak.[4]
Unsur-unsur kebudayaan yang lebih sering dikenal sebagai unsur kebudayaan
universal meliputi peralatan dan perlengkapan hidup (teknologi), sistem mata
pencaharian hidup, sistem kekerabatan dan organisasi sosial, bahasa, sistem
ilmu dan pengetahuan, kesenian, dan sistem kepercayaan.[5]
Ketujuh unsur kebudayaan universal inilah yang akan dikaji dalam perkembangan
kebudayaan masyarakat maritim, khususnya yang berlokasi di pesisir pantai utara
Jawa Tengah hingga abad XXI.
1.
Peralatan
dan Perlengkapan Hidup (Teknologi)
Kurang lebih hingga tahun 1993, kebutuhan masyarakat
maritim terhadap teknologi seiring sejalan antara teknologi tradisional dengan
teknologi modern. Hal ini terlihat dalam beberapa wujud teknologi yang dapat dikatakan
cukup tradisional, antara lain :
a.
Teknologi
mengambil air
Dalam mengambil air alat yang digunakan antara lain senggot (timba sumur yang terbuat dari
bambu atau kayu) dengan ember dari bahan seng, tali, atau tampar. Sedang untuk
mengambil air di sungai dapat berupa klenthing
(terbuat dari tanah liat, bentuknya mirip kendi tetapi tidak ada mulut
kendinya). Kondisi ini sejalan dengan teknologi modern seperti ember plastik,
selang, pipa pralon agi yang menggunakan air PAM/ledeng, atau dinamo yang menggunakan
tenaga listrik yang dihubungkan dengan sumur.
b.
Teknologi
mengangkat barang
Barang yang diangkat, apabila barang tersebut merupakan
barang kecil berupa butiran dalam jumlah yang banyak dapat digunakan bakul atau
dapat juga memakai pikulan, yaitu dengan dua tempat dan dihubungkan dengan
pemikul yang ditaruh di pundak. Untuk mengangkat barang, semacam kayu
gelondong, digunakan tali yang berfungsi sebagai penarik dan kayu bentuk
silinder yang digunakan untuk roda, selanutnya hanya tinggal mendorong dan
memindahkan kayu yang berfungsi sebagai roda. Untuk mendorong kayu ini dapat
menggunakan kayu yang berfungsi sebagai pengungkit. Kondisi ini sejalan dengan
alat angkut modern seperti becak, truk, atau mobil lainnya.
c. Teknologi transportasi
Teknologi transportasi tradisional yang masih bisa
ditemui antara lain andong atau dokar, gerobak, sepeda, becak, dan lain-lain.
Kondisi ini sejalan dengan alat transportasi modern seperti mobil, bus, dan
lain-lain.
d. Teknologi penerangan
Alat penerangan yang merupakan teknologi tradisional
adalah lampu minyak yang bisa berupa sentir,
teplok, ting, oncor, petromak, dan sebagainya. Kondisi ini sejalan dengan
penerangan listrik modern seperti listrik yang diperoleh dari tenaga air maupun
diesel.
e. Pembuatan sarana transportasi
Pembuatan sarana transportasi yang masih tradisional
adalah pembuatan jalan yang terbuat dari tanah liat dan bisa diberi kerikil
atau batu kapur yang sering disebut kawur dengan cangkul sebagai peratanya.
Kondisi ini sejalan dengan teknologi pembuatan jalan yang lebih modern yakni
dengan pengaspalan yang menggunakan setum, pencampur aspal dan batu kerikil,
dan lain sebagainya.[6]
Selain
itu, berdasar studi kasus yang dilakukan di Dusun Mrican, Desa Kemujan,
Karimunjawa, diperoleh teknologi tangkap ikan yang merupakan hasil kolaborasi
antara teknologi tradisional dengan teknologi modern sebagai berikut.
a.
Teknik Branjang
Teknik branjang merupakan salah satu teknik
penangkapan ikan yang secara garis besar memiliki tingkat efisiensi yang
tinggi. Teknik ini dikhususkan untuk penangkapan ikan teri. Dengan menggunakan kapal khusus teri (kapal
branjang) yang rata-rata
memiliki ukuran yang lebih besar guna menampugn ikan dengan tangkapan yang banyak dan
membutuhkan kapal yang lebih besar. Kapal branjang berukuran panjang sekitar 5 meter
dengan lebar 3 meter dengan
dilengkapi rolling atau katrol yang dipasang menggunakan bambu pada langit-langit kapal. Bambu ini berguna untuk pengangkatan jarring. Kapal branjang memiliki ciri khas tersendiri yakni pada bagian ujung kapal berbentuk runcing agar lebih mudah memecah ombak karena
penangkapan teri biasanya dilakukan di tengah laut dengan perairan yang dalam.
Selain itu kapal juga didesain untuk penggunaan branjang itu sendiri.harga
kapal pun cukup mahal bisa menembus angka ratusan juta rupiah karena untuk
memperolehnya pemilik harus membeli kapal di Jawa Timur.
Branjang
sejatinya adalah jaring dengan sisi-sisi berbentuk persegi. Jaring ini lebarnya
dapat mencapai 4x4 meter dan panjang 3 meter. Tentu saja jarring ini digunakan
untuk menangkap ikan dengan jumlah yang besar. Pengangkatan jarring setelah
terisi ikan dengan jumlah yang banyak menggunakan rolling yaitu alat semacam
katrol untuk mempermudah pengangkatan atau memperingan beban ketika mengangkat
jaring. Sangat efektif untuk menangkap ikan yang notabene hidupnya berkoloni
atau berkelompok seperti teri. Pada saat ini belum ada modifikasi alat branjang
karena masih cukup efisien. Masyarakat Mrican khsusunya para nelayan hampir di
setiap perjalanannya dalam menangkap teri pasti memperoleh hasil sedikit atau
banyak dalam menggunakan teknik branjang ini. Modal yang dikeluarkan pun
sepadan dengan hasil yang didapat karena nelayan hanya harus menyiapakan solar
untuk mesin kapal kira-kira untuk sekali perjalanan menangkap ikan membutuhkan
20 liter solar dan selain itu nelayan hanya cukup membawa lampu petromak atau
genset untuk alat bantu penangkapan ikan.[7]
b.
Teknik Perawai
Teknik perawai atau disebut juga teknik pancing adalah salah satu
metode penangkapan ikan yang sering di pakai oleh para nelayan di daerah Mrican.
Teknik prawe sendiri banyak di minati para nelayan, karena memancing dengan
teknik perawai tidak terlalu sulit dan mudah. Pengertian dari teknik prawe
adalah teknik yang memekai alat jaring, yang di setiap jaring di beri kail yang
disebarkan di tengah laut. Panjang jaring dari perawai 300 m, di sepanjang
jaring di berikan kail untuk mengkaitkan ikan. Jarak kail ke kail 1 meter dan
di setiap kail di berikan umpan. Upan yang sering di pakai para nelayan yaitu
cumi. Biasanya para nelayan memasangkan kail sebanyak 100 kail. Di setiap ujung
jaring diberikan tanda seperti tongkat neon, gunanya untuk memberi tanda dimana
perawai dipasang. Penyebaran perawai dilakukan di tengah laut, kurang lebih 2
Km dari pesisir pantai. Setelah perawai disebarkan para nelayan menunggu kurang
lebih 1 jam, sambil menuggu waktu pengangkatan perawai biasanya para nelayan
memancing ikan dengan alat pancing biasa. Teknik perawai dilakukan pada malam
hari, karena di saat malam hari ikan mulai mencari makan. Biasanya para nelayan
Mrican melakukan spot penangkapan
sebanyak 3 kali dengan lokasi yang berbeda-beda.[8]
c.
Teknik Selam
Teknik
selam merupakan salah satu teknik tangkap ikan yang digunakan oleh nelayan di
dusun Mrican yang mengandalkan kemahiran menyelam dan ketepatan membidik
sasaran. Teknik selam sebenarnya digunakan sebagai selingan saat sedang
paceklik ikan tetapi lama-kelamaan teknik selam digunakan sebagai sumber mata
pencaharian karena penggunaan alat yang sederhana dan tidak menghabiskan banyak
biaya.[9]
d.
Bubu
(Perangkap Ikan)
Bubu
sebenarnya termasuk trap atau alat perangkap ikan yang dipasang secara tetap di
dalam air untuk jangka waktu tertentu yang memudahkan ikan masuk dan
mempersulit ikan keluar. Alat ini biasanya dibuat dari bahan alami seperti
bambu, kayu dan yang modern telah menggunakan kawat atau bahan buatan seperti
jaring/jala. Terdapat beberapa jenis alat tangkap yaitu bubu dasar, bubu
hanyut, sero, bagan dan jermal.
Bubu
ini dibuat dari bahan bambu, rotan dan kawat. Bentuknya bermacam-macam ada yang
silinder, setengah lingkaran, empat persegi panjang, segitiga memanjang, dan sebagainya.
Dalam operasinya ada yang memakai umpan ada yang tidak. Biasanya terdapat 3
bagian bubu dasar yaitu bagian badan atau tubuh bubu. Terbuat dari bambu dan
dilengkapi dengan pemberat untuk menenggelamkan bubu ke dasar perairan.
Bagian
kedua adalah bagian lubang tempat mengeluarkan hasil tangkapan yang terletak
pada bagian sisi bawah bubu. Posisinya terletak di belakang mulut bubu. Sedangkan mulut bubu berfungsi untuk masuknya
ikan, posisinya terletak di depan badan bubu. Semakin ke dalam, semakin kecil
diameter lubangnya.
Ukuran bubu bervariasi menurut besar kecilnya
yang dibuat menurut kebutuhan untuk bubu kecil umumnya berukuran panjang 1 m,
lebar 50-75 cm dan tinggi antara 25-30 cm. Untuk bubu besar dapat mencapai
ukuran 3.5 m panjang 2 m lebar dan 75-100 cm. Dalam operasional penangkapannya
bisa tunggal (umumnya bubu ukuran besar) bisa juga ganda (umumnya untuk bubu
ukuran kecil atau sedang) yang dalam pengoperasiannya dirangkai dengan tali
panjangyang pada jarak tertentu diikatkan bubu tersebut. Tempat pemasangan bubu
dasar biasanya dilakukan di perairan karang atau diantara karang-karang atau
bebatuan. Untuk memudahkan mengetahui tempat-tempat dimana bubu dipasang maka
dilengkapi dengan pelampung melalui tali panjang yang dihubungkan dengan bubu
tersebut. Pengambilan hasil tangkapan dilakukan 2-3 hari setelah bubu dipasang,
kadang bahkan beberapa hari setelah dipasang.[10]
2. Sistem Mata Pencaharian Hidup
Sistem
mata pencaharian yang biasa ditemui dan menjadi ciir khas dari masyarakat
pesisir adalah nelayan. Meskpun demikian, di beberapa wilayah seprti Tegal,
Jepara, Rembang, dan Pati, juga ditemui penduduk dengan bermata pecaharian
sebagai pengusaha, pedagang, pegawai negeri sipil/ABRI, pensiunan, ada pula
yang bergerak dalam jasa angkutan, sebagai buruh industri, buruh bangunan,
petani, dan lain-lain.[11]
Secara
geografis, masyarakat nelayan adalah masyarakat yang hidup, tumbuh, berkembang
di kawasan pesisir, yakni suatu kawasan transisi antara wilayah darat dan laut
Sebagai suatu sistem, masyarakat nelayan terdiri atas kategori-kategori sosial
yang membentuk kesatuan sosial. Mereka juga memiliki sistem nilai dan
simbol-simbol kebudayaan sebagai referensi perilaku mereka sehari-hari. Faktor
kebudayaan ini menjadi pembeda masyarakat nelayan dari kelompok sosial lainnya.
Sebagian besar masyarakat pesisir, baik langsung maupun tidak langsung,
menggantungkan kelangsungan hidupnya dari mengelola potensi sumberdaya
perikanan. Mereka menjadi komponen utama konstruksi masyarakat maritim
Indonesia.[12]
Karena masyarakat nelayan merupakan unsur yang sangat penting dalam struktur
masyarakat pesisir, maka kebudayaan yang mereka miliki mewarnai karakteristik
kebudayaan atau perilaku sosial budaya masyarakat pesisir secara umum.
Karakteristik yang menjadi ciri-ciri sosial budaya masyarakat nelayan antara
lain, memiliki struktur relasi patron-klien yang sangat kuat; etos kerja
tinggi; memanfaatkan kehidupan diri dan adaptasi optimal; kompetitif dan
berorientasi prestasi; apresiatif terhadap keahlian, kekayaan, dan kesukaran
hidup; terbuka dan ekspresif; solidaritas sosial tinggi; sistem pembagian kerja
berbasis seks (laut menjadi ranah laki-laki dan darat adalah ranah kaum
perempuan); dan berperilaku “konsumtif”.[13]
Satu hal yang patut diperhatikan dalam pengembangan masyarakat nelayan adalah
dalam segi pemberdayaannya. Program-program diklat kewirausahaan bagi generasi
muda nelayan atau untuk masyarakat pesisir yang berminat menerjuni sektor usaha
penangkapan, pengolahan, pemasaran/perdagangan ikan, dan jasa-jasa lainnya di
kawasan pesisir, perlu digalakkan dngan harapan dapat mendorong proses kreatif
peserta program untuk mengeksplorasi peluang-peluang usaha baru yang prospektif
berbasis sumberdaya lokal. Penciptaan peluang-peluang usaha ini ditujukan untuk
menampung jumlah tenaga kerja produktif yang terus bertambah di kawasan
pesisir, mengikis kemiskinan, dan meningkatkan pendapatan penduduk. Dengan
demikian, dinamika ekonomi pesisir mampu berkembang sehingga akan berdampak
tehadap peningkatan kualitas sumberdaya manusia dan kesejahteraan sosial
masyarakat pesisir.[14]
3. Sistem kekerabatan dan organisasi sosial
Lembaga (institution) merupakan suatu sistem
norma untuk mencapai suatu tujuan atau kegiatan yang oleh masyarakat dipandang
penting, atau secara formal, sekumpulan kebiasaan dan tata kelakuan yang
berkisar pada suatu kegiatan pokok manusia. Lembaga adalah proses-proses
terstruktur atau tersusun guna melaksanakan berbagai kegiatan tertentu.[15]
Selo Soemardjan dalam buku Setangkai Bunga Sosiologi mengemukakan
posisi penting lembaga dengan merujuk pada pendapat dari Gillin dan Gillin
sebagai berikut,
A social institution is a functional configuration of culture patterns
(including actions, ideas, attitudes, and cultural equipment) which possesses a
certain permanence and which is intended to satisfy felt social needs[16].
Dari penuturan Gillin
dan Gillin tersebut, tidak berlebihan rasanya jika Soerjono Soekanto memberikan
pengertian terdekat dari lembaga sosial sebagai pranata sosial.Hal ini
dikarenakan istilah social institution
lebih merujuk pada unsur-unsur yang mengatur perikelakuan para anggota
masyarakat. Selain itu dari apa yang didefinisikan Gillin dan Gillin mengenai social institution juga memperlihatkan
kekhasan dari suatu masyarakat karena memuat pola-pola kebudayaan seperti
tindakan, gagasan, dan sikap serta peralatan budaya yang memiliki keajegan dan
ditujukan untuk memenuhi kebutuhan sosial.Sejalan dengan Gillin dan Gillin,
Horton dan Hunt juga menegaskan bahwa lembaga adalah suatu sistem hubungan
sosial yang terorganisasi yang mengejawantahkan nilai-nilai serta prosedur umum
tertentu dan memenuhi kebutuhan-kebutuhan dasar masyarakat.Dalam definisi tersebut,
nilai-nilai umum mengacu pada cita-cita dan tujuan bersama; prosedur umum
adalah pola-pola perilaku yang dibakukan dan diikuti; dan sistem hubungan
adalah jaringan peran serta status yang menjadi wahana untuk melaksanakan
perilaku tersebut.[17]Heztler
juga memberikan batasan pranata sosial sebagai salah satu konsep yang kompleks
dan sikap-sikap yang berhubungan dengan pengaturan hubungan antara manusia
tertentu yang tidak dapat dielakkan, yang timbul karena dipenuhinya
kebutuhan-kebutuhan elementer individual, kebutuhan-kebutuhan sosial yang wajib
atau dipenuhinya tujuan-tujuan sosial penting.[18]
Pranata atau lembaga sosial ketika diterapkan di dalam masyarakat
pesisir, dapat dijumpai dalam stratifikasi masyarakat yang diberlakukan pada
masa kolonialisme Belanda. Sebagai contoh, stratifikasi masyarakat Jepara
dibedakan atas :
a. Lapisan bangsawan pesisir,
sebagai penguasa feodal yang memerintah dan berdagang
b. Lapisan pegawai pemerintah
kerajaan yang mengatur kepamongprajaan kerajaan dan kebandaran
c. Lapisan rakyat, biasanya sebagai
pedagang tengahan, pedagang kecil, pekerja kerajinan, nelayan dan tenaga bandar
(tenaga buruh pelabuhan), sedangkan di daerah pelosok sebagai petani
d. Penduduk asing dari berbagai
kebangsaan berada pada perkampungan tersendiri dengan Kepala wijk (perkampungan) yang mereka pilih
sendiri.[19]
Selain pola stratifikasi sosial masyarakat
pesisir (Jepara) pada masa kolonial, organisasi sosial yang juga dikembangkan
hingga tahun 1980-an antara lain PKK, LKMD, dan Karang Taruna, yang banyak
membantu program kepala desa sehingga turut mampu menciptakan lingkungan yang
teratur. Organisasi-organisasi tersebut bergerak di bidang kesenian, olahraga,
kerohanian, dan sebagainya.[20]
Sementara itu di Tegal terdapat organisasi baik yang bernafas politik maupun
keagamaan antara lain organisasi seperti Aisyiah, Al-Hidayat, Fatayat,yang
bergerak di dalam kegiatan-kegiatan sosial, pengajian dan lain-lain. Organisasi
sosial lainnya seperti Rukun Kematian, Ikatan Remaja Masjid, jimpitan dan
sinoman. Organisasi yang bergerak di bidang kesenian atara lain Samroh-Qasidah,
Keroncong, Dangdut/Orkes Melayu, Karawitan, Tari, balo-balo, Kuntulan, Pencak
Silat. Pada waktu-waktu tertentu mereka mengadakan latihan-latihan dan
dipentaskan dalam berbagai acara baik di lingkungan sendiri maupun keluar di
lingkungan masyarakat yang lebih luas.[21]
4. Bahasa
Bahasa
yang dipergunakan di masyarakat pesisir pantai utara Jawa tengah kebanyakan
menggunakan bahasa Jawa dalam berbagai tingkatan. Di dalam pergaulana antarmasyarakat, bahasa
daerah sebagai bahasa komunikatif penduduk mendominasi penggunaan bahasa Indonesia.
Bahasa Indonesia lebih banyak digunakan sebagai bahasa resmi, misalnya rapat
instansi, surat resmi, dan lain-lain. Tingkatan bahasa Jawa yang kerap dipakai
dalam pergaulan sehari-hari antara lain bahasa Jawa ngoko untuk pergaulan dengan grade
yang sama, lalu bahasa Jawa krama untuk
peragulan dengan grade yang lebih tua
atau lebih tinggi di atasnya.[22]
Kebudayaan
masyarakat pesisir dalam hal kebahasaan juga memunculkan banyak karya-karya
sastra kuna yang mewakili penggunaan bahasa Jawa sekaligus menunjukkan
eksistensi budaya Jawa di kalangan masyarakat pesisir pantai utara Jawa Tengah.
Karya sastra kuna tersebut antara lain Serat
Babad Pengging era Kerajaan Demak yang menggunakan huruf Jawa, Serat Wali Sanga, dan lain sebagainya.
Secara umum, bahasa Jawa yang termuat dalam naskah-naskah tersebut menggunakan
bahasa Jawa yang disederhanakan, atau bahasa Jawa yang digunakan dalam
kehidupan sehari-hari oleh rakyat (bukan lingkungan istana). Naskah yang
berbentuk tembang macapat lebih
banyak menggunakan variasi bahasa, baik pada pilihan kata maupun pada struktur
kalimat karena pengaruh bentuknya yang harus mengindahkan guru lagu dan guru wilangan.
Bisa dibilang bahkan tradisi penulisan karya sastra Jawa zaman Kartasura awal
masih sama dengan tardisi penulisan sastra pesisiran, bahasa Jawa pesisiran
yang digunakan dalam naskah-naskah ini hampir sama dengan bahasa Jawa baru atau
bahasa Jawa zaman Kerajaan Surakarta, yang juga menggunakan kata-kata dialek
pesisir (Banten, Cirebon, Tegal, Semarang, Gresik, Surabaya).[23]
5. Sistem Ilmu dan Pengetahuan
Dalam
hal ilmu dan pengetahuan, masyarakat pesisir utara Jawa Tengah nampak telah
memiliki kesadaran akan perlunya pendidikan anak dan kebutuhan amsa depannya,
sehigga hal ini menjadi perhatian khusus bagi para orang tua di lingkungan
masyarakat setempat. Di sisi lain tingkat kemuajuan pendidikan masyarakat juga
dipegaruhi oleh tingkat ekonomi masyarakat setempat serta pemenuhan sarana dan
kesempatan bagi masyarakat. Sebagai contoh, menurut data setempat yang
diperoleh dari Kelurahan Parenggan Kabupaten Pati menunjukkan bahwa penduduk
yang memperoleh kesempatan untuk mengenyam bangku pendidikan sejumlah 2.215
orang. menurut dat tersebut, penduduk yang tidak mendapat kesempatan atau tidak
sekolah jumlahnya relatif sedikit dibandingkan mereka yang tamat sekolah,
Kebanyakan mereka yang tidak sekolah adalah penduduk yang telah berusia lanjut.
Tamatan Sekolah Dasar menduduki jumlah paling besar dibanding tamatan lainnya,
dan hal ini mengindikasikan bahwa pelaksanaan wajib belajar bagi pendidikan
dasar berjalan dengan baik. Tamatan perguruan tinggi tercatat sejumlah 24 orang
atau sekitar 2,43 %. Hal ini menunjukkan kesadaran masyarakat cukup tinggi
terhadap pendidikan tinggi, sehingga tercatat ada 24 cendekiawan dalam satu
kelurahan.[24]
6. Kesenian
Salah
satu kekhasan yang dimiliki daerah pesisir terletak pada motif batik pesisiran
Batik-batik yang dihasilkan dari daerah Pantai Utara seperti Pekalongan maupun
Lasem ditukar tambah dengan barang lain di Batavia. Pada saat itu, kelompok
penting pelanggan untuk batik ini adalah wanita-wanita Indo-Eropa. Pada saat
itu kain batik berbentuk sarung dipakai di rumah bahkan juga sebagai suatu
alternatif rok formal, sebagai ganti kerinduan katun berpola warna dari India.
Pada sekitar tahun 1800 pedagang Cina dan pedagang Arab yang berada di pantai
utara Jawa memborong batik buatan industri rakyat di daerah Pekalongan dan
Lasem. Ramainya perdagangan tersebut lebih semarak lagi dengan robohnya
industri tekstil dari India akibat adanya tekstil buatan mesin.[25]
Gaya
ragam hias batik daerah pesisiran adalah batik dengan berbagai motif yang
dibuat di daerah pesisir utara Pulau Jawa seperti Pekalongan, Batang, Lasem
(Rembang). Beberapa motif batik pesisiran pantai utara Jawa Tengah antara lain,
a. Motif Largemak
Motif ini dominan dengan
sayap-sayap dari burung puyuh. Motif ini memiliki ciri warna latar hijau dengan
hiasan motif setangkai bunga berwarna merah, oranye, biru dan hijau, bagian
tepi kain bermotif untu walang .
Motif isen-isen barupa blarak sak imit,
cecek renteng, dan kembang lombok.
Ragam hias dominan pada kain burung hong dan bunga.
b. Motif Seno
Seno berasal dari kata Jawa Kuna yang berarti anak. Seno
kemungkinan juga diambil dari nama tokoh dunia pewayangan yaitu Onto Seno. Onto Seno disini dilukaiskan dengan kulit yang berwarna gelap. Oleh
karena itu kain batik motif ini memiliki ciri warna gelap seperti latar biru
tua, warna pelengkap biru muda dan hitam. Ragam hias dominan Parang dengan
motif isen-isen berupa belah ketupat dan cecek
renteng. Motif seperti ini biasanya dipakai oleh kalangan ningrat.[26]
7. Kepercayaan
Kepercayaan
yang dianut oleh mayoritas masyarakat pesisir beragama Islam, meski tidak
menutup dianutnya kepercayaan lain seperti Kristen Protestan, Katolik, Budha,
dan Hindu. Kerohanian yang terdapat di pesisir utara Jawa Tengah misalnya
Panggung Pesantren di Tegal. Panggung Pesantren yang mayoritas warga Indonesia
asli atau pribumi yang taat pada tuntunan agama, yaitu Islam, yang diajarkan
oleh nenek moyangnya. Namun demikian bukan berarti warga Panggung Pesantren
melarang agama lain, justru warga yang beragama non Islam dapat menyesuaikan
diri. Warga Panggung Pesantren tidak hanya fanatik dalam melaksanakan sholat
saja namun masih berusaha mempertahankan diri melaksanakan kebiasaan nenek
moyangnya, antara lain :
a.
Rebo Wekasan, dengan mengadakan pengajian di lingkungan pesantren.
b.
Mengadakan selamatan atau tahlilan untuk 1 sampai 7 hari, 40 hari, 100
hari, mendak 1 hingga 3.
c.
Bersih kubur, membaca doa (tahlil di makam)
Selain itu warga Panggung juga masih memelihara
makam mbah panggung, orang yang dianggap sebagai cikal bakal masyarakat
Panggung dan berhasil mengembangkan agama Islam di daerah ini. Pemeliharaan
makam bukan berarti membuka peluang untuk mengajarkan syirik, musyrik maupun
munafik, namun membawa masyarakat yang masih mempercayai adanya kekuatan yang
ditinggalkan oleh mbah Panggung kepada para warganya. Justru kerap orang dari
luar warga Panggung yang mengakui kekuatan tersebut, sehingga tugas juru kunci
disini membawa agar orang yang akan nyekar atau nyepi tidak terlanjur menjadi
syirik atau musyrik dengan meminta berkah dari makam mbah Panggung. Para
peziarah datang tiap hari Rabu Pon, Kamis Wage, Jumat Kliwon, atau hari lain
sesuai keinginannya.[27]
Sementara itu di hampir seluruh masyarakat desa
Tulakan Keling Jepara mengenal upacara tradisi tinggalan nenek moyang mereka
yang disebut Jembul. Tradisi ini
menurut penuturan warga mulai ada sejak zaman Ratu Kalinyamat, salah seorang
raja perempuan yang berkuasa di wilayah tersebut. Tradisi Jembul saat ini
berupa dua tandu usungan, yakni tandu usungan yang disebut dengan Jembul Yoni
dan tandu usungan yang disebut dengan Jembul Lingga. pada tandu usungan jembul
Yoni terdapat aneka makanan seperti jadah, gemblong, jenang, tape dan aneka
jajan pasar lainnya. Di antara makanan yang ditata rapi ini terdapat hiasan
belahan bambu, konon hiasan bambu ini dimaksudkan untuk melambangkan Adipati
Arya Penangsang. Sangat berbeda penamplannya dibanding Jembul Lingga. Jembul
yang satu ini sama sekali tidak dilengkapi dengan hiasan, bahkan di atas jembul
ini cenderung terdapat nasi tumpeng komplit dengan aneka lautnya. Upacara
tradisi Jembul dimulai dari Desa Sonder, desa di mana Ratu Kalinyamat memulai
bertapa untuk melakukan protesnya. Di desa ini, seluruh peserta ritual memulai
prosesinya dengan cara dhahar kembul alias
makan bersama seluruh hasil bumi dan hasil pertanian mereka. Usai makan
bersama, Kepala Desa Tulakang menyerahkan kepada 4 dusun yang ada di desa
Tulakan untuk melanjutkan prosesi ritual di dusun masing-masing.[28]
[1] Koentjaraningrat, op.cit., hlm. 180.
[2] Yan Mujianto, dkk.,
op.cit., hlm. 1.
[3] Koentjaraningrat, op.cit., hlm. 188.
[4] Yan Mujianto, dkk.,
op.cit., hlm. 11.
[5] ibid., hlm. 13-19.
[6] Soetomo WE, dkk., Pola Permukiman Tradisional Daerah Perkotaan
Pantai Utara Jawa Tengah, (Semarang: Pemerintah Propinsi Daerah Tingkat I
Jawa Tengah, 1993), hlm. 94.
[7] Biondi Bintang Prasetyo, dkk., Teknik Tangkap Ikan Nelayan di Dusun Mrican, Desa Kemujan, Karimunjawa (Laporan Penelitian Sosial, Semarang, 2012), hlm. 10.
[8] Biondi Bintang
Prasetyo, dkk., op.cit., hlm. 12.
[9] ibid., hlm. 14.
[10] Biondi Bintang
Prasetyo, dkk., op.cit., hlm. 16.
[11] Soetomo WE, dkk.,
op.cit., hlm. 71.
[12] Kusnadi, Keberadaan Nelayan & Dinamika Ekonomi
Pesisir, (Yogyakarta: Ar-RuzzMedia, 2009), hlm. 27.
[13] Kusnadi, op.cit., hlm. 39.
[14] ibid., hlm. 89.
[16] Selo Soemardjan,
Soelaeman Soemardi, Setangkai Bunga
Sosiologi, (Jakarta: Lembaga Penerbit Fakultas Ekonomu Universitas
Indonesia, 1964), hlm. 67.
[17] Paul B. Horton,
Chester L. Hunt, op.cit., hlm.
245-246.
[18] Idat Abdul Wahid, Pranata Sosial dalam Masyarakat Sunda,
(Jakarta: Pusat Bahasa Depdiknas, 2003), hlm. 9.
[19] Mc. Suprapti, dkk.,
op.cit., hlm. 42.
[20] Soetomo WE., dkk., op.cit., hlm. 108.
[21] ibid., hlm. 31.
[22] ibid., hlm. 106.
[23] Raminah Baribin,
dkk., Inventarisasi Sastra Jawa Pesisir
Sebelum Abad XX, (Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, 1992),
hlm. 71.
[24] Soetomo, WE, dkk., op.cit., hlm. 39
[25] Wahono, dkk., Gaya Raham Hias Batik (Tinjauan Makna dan
Simbol), (Semarang: Museum Ronggowarsito, 2004), hlm. 77.
[26] Wahono, dkk., op.cit., hlm. 92.
[27] Soetomo WE, dkk., op.cit., hlm. 32.
[28] Wahyana Giri MC, Sajen dan Ritual Orang Jawa,
(Yogyakarta: Narasi, 2009), hlm. 64.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar