Senin, 19 Desember 2016

Berdamai dengan Inspirasi

Oleh: Fadhil Nugroho Adi, S.Hum
Jurnalis, Alumnus Jurusan Sejarah Undip

(*Artikel ini telah dimuat di Jurnal Warta Arsip - Badan Arsip dan Perpustakaan Daerah Jateng edisi kedua)


Ilustrasi: Tempo
A. Pengantar
Sebagai alumni jurusan Sejarah, setiap kali “musim” penulisan proposal skripsi, banyak di antara adik-adik angkatan yang mulai sibuk menanyakan hal yang sama kepada saya, “itu arsipnya di mana mas?” Sedemikian lekatnya arsip dengan kehidupan mahasiswa Sejarah, sampai-sampai ilmu tentang Kearsipan menempati posisi terfavorit untuk “membantu” penulisan sejarah.

Arsip, sebagaimana diatur dalam Pasal 1 Ayat 2 Undang-Undang Nomor 43 Tahun 2009 tentang Kearsipan, adalah  rekaman kegiatan atau peristiwa dalam berbagai bentuk dan media sesuai dengan perkembangan teknologi informasi dan komunikasi yang dibuat dan diterima oleh lembaga negara, pemerintahan daerah, lembaga pendidikan, perusahaan, organisasi politik, organisasi kemasyarakatan, dan perseorangan dalam pelaksanaan kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara.[1]

Dari definisi arsip sebagaimana diatur dalam ayat tersebut, nampak bahwasanya arsip begitu erat kaitannya dengan keberlangsungan sebuah lembaga maupun perorangan. Arsip memiliki kekuatan memotret sebuah memori kolektif pada satu masa. Saking pentingnya, Sir Arthur Doughty pernah berkata, “Dari semua aset negara yang ada, arsip adalah aset yang paling berharga. Arsip merupakan warisan nasional yang perlu dipelihara dan dilestarikan. Tingkat keberadaan suatu bangsa dapat dilihat dari pemeliharaan dan pelestarian terhadap arsipnya.”[2]

Sebuah peristiwa yang terjadi pada masa lalu memiliki keterkaitan dengan peristiwa di masa yang akan datang. Untuk itulah arsip dikelola secara profesional di bawah naungan lembaga kearsipan.

Bagi program studi yang berusaha menyajikan kejadian di masa lampau, arsip memiliki posisi tersendiri di hati mahasiswanya, khususnya mahasiswa jurusan Sejarah. Ini tak lepas dari jargon yang menjadi landasan penulisan sejarah, no document no history.

B. Arsip Sebagai Sumber Inspirasi
Ketika akan mengupas topik-topik khusus dalam sebuah penelitian sejarah, tak jarang para sejarawan pemula mengalami buntu pikir. Pasalnya, sebuah penelitian yang didasarkan pada alur berpikir sejarah, harus melewati fase-fase yang disebut dengan metode sejarah. Terkait fase inilah, arsip menjadi sumber utama yang tak boleh dilewatkan.

Pada fase pertama, peneliti sejarah dihadapkan pada tahapan yang disebut heuristik. Heuristik merupakan pengumpulan bahan-bahan tercetak, tertulis dan lisan yang relevan. Oleh karena sumber sejarah dibagi atas, sumber primer dan sumber sekunder, arsip menempati porsi yang utuh sebagai sumber primer. Sumber primer adalah sumber yang dihasilkan oleh orang yang menjadi saksi dan sezaman dengan peristiwa yang akan dikisahkan.[3]

Dalam fase ini, lembaga kearsipan tidak hanya berfungsi sebagai penyedia data, namun juga sebagai sumber inspirasi. Pengguna dimudahkan dengan ketersediaan daftar arsip yang selanjutnya menjadi pembuka cakrawala berpikir.

Penyusunan daftar arsip yang sistematis sesuai skup spasial dan temporal, memudahkan pengguna menelusuri data-data yang diperlukan, baik berupa tulisan dan gambar. Dari data tersebut peneliti dimudahkan untuk memperoleh topik atau gagasan yang akan dikembangkan.

Selain memberikan inspirasi untuk menemukan gagasan yang belum pernah dijamah oleh peneliti manapun, arsip mampu memberikan inspirasi untuk melakukan penelitian lanjutan dari penelitian yang sudah ada. Sebagai contoh konkret, pada penelitian saya yang mengupas perpaduan kesenian dan politik pada masa Orde Baru, tercatat Badan Pembina Pendidikan Pelaksanaan Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila (BP7) melalui Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila (P4) turut mengemban misi sebagai agen sosialisasi melalui pergelaran seni. Jenis-jenis kesenian tradisional seperti karawitan, santi swaran, wayang (orang, kulit, golek), guyon maton, ndolalak, lagu pop, seni tari, macapat, sandiwara, ketoprak, memiliki kekuatan dalam menyampaikan propaganda pada era Orde Baru.[4]

Berpijak dari contoh kasus tersebut, peneliti pemula yang datang kepada saya untuk meminta rekomendasi tema penelitian, dengan mudah saya arahkan untuk meneruskan penelitian seputar pola pendidikan P4 di BP7. Dalam hal ini penelitian bisa dilanjutkan berdasarkan ketersediaan arsip dari lembaga yang sama yang berada di bawah lembaga kearsipan. Sehingga arsip benar-benar berperan sebagai penyumbang inspirasi peneliti pemula untuk meneruskan penelitian dengan sudut pandang yang berbeda.

Selain penyumbang gagasan bagi para peneliti pemula, pada tahapan yang lebih luas, arsip juga memberikan inspirasi bagi para pengambil kebijakan atau stakeholder untuk menentukan arah kebijakan ke depan. Pada era seperti sekarang yang membutakan generasi muda dari Pancasila –sehingga akhir-akhir ini mengemuka kasus-kasus seperti penyebutan bebek nungging terhadap sila kelima-, kebijakan pemimpin pendahulu yang mengedukasi rakyat seputar pendidikan Pancasila[5] harus menjadi cermin bagi kebijakan di masa yang akan datang. Selain pendidikan, latar belakang bagaimana sebuah peristiwa terjadi dan dinamika yang menyertainya, juga diperoleh dari apa yang diuraikan dalam arsip-arsip suatu lembaga pada masanya.

C. Penutup
Sebuah arsip mampu berperan sebagai inspirator apabila diwadahi dalam lembaga yang tepat. Dalam hal ini, lembaga kearsipan harus jemput bola untuk merawat arsip-arsip statis dari institusi atau perseorangan. Bukan hanya lembaga kearsipan di tingkat nasional, provinsi atau kabupaten/kota, namun lembaga kearsipan di tingkat kecamatan atau bahkan desa juga sama krusialnya. Maka dalam kesempatan ini saya mengapresiasi langkah Badan Arsip dan Perpustakaan Provinsi Jawa Tengah yang telah melakukan bimbingan teknis (bintek) sekretaris desa, sebagai upaya meningkatkan keahlian sekretaris desa dalam mengelola arsip.

Lebih dari itu, lembaga kearsipan harus mengelola arsip-arsip yang diwadahinya dengan baik, tentu dengan memperhatikan kaidah-kaidah perawatan yang telah ditentukan. Penyediaan daftar arsip perlu dilakukan secara tematik agar mempermudah para peneliti pemula dalam memperoleh inspirasi.(***)




[1] UU Nomor 43 Tahun 2009 tentang Kearsipan
[2] Chusnul Hayati, "Pentingnya Dokumentasi dan Arsip Untuk Penulisan Sejarah Persyarikatan Muhammadiyah", dalam http://eprints.ums.ac.id/27019/1/Workshop_Pentingnya_Dokumentasi_dan_Arsip.doc.
[3]Louis Gottschalk, Mengerti Sejarah (Jakarta: UI Press, 1986),  hlm. 35.              
[4] “Laporan Hasil Evaluasi Pelaksanaan Pemasyarakatan dan Pembudayaan P4 Di Daerah Tingkat II Se Jawa Tengah Tahun 1995/1996”, 1996, BP7 Propinsi Daerah Tingkat I Jawa Tengah Tahun 1995/1996, hlm. 25, Kanwil Deppen Prov. Jateng, Arsip Provinsi Jawa Tengah.
[5] “Surat Gubernur Kepala Daerah Tingkat I Jateng perihal Pembudayaan P-4 melalui Bhinekakarya Pancakarsa”, 16 Oktober 1991, Arsip Provinsi Jawa Tengah.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar