Oleh:
Fadhil Nugroho Adi, S.Hum
Jurnalis,
Alumnus Jurusan Sejarah Undip
(*Artikel ini telah dimuat di Jurnal Warta Arsip - Badan Arsip dan Perpustakaan Daerah Jateng edisi kedua)
Ilustrasi: Tempo |
A. Pengantar
Sebagai alumni jurusan Sejarah,
setiap kali “musim” penulisan proposal skripsi, banyak di antara adik-adik
angkatan yang mulai sibuk menanyakan hal yang sama kepada saya, “itu arsipnya
di mana mas?” Sedemikian lekatnya arsip dengan kehidupan mahasiswa Sejarah,
sampai-sampai ilmu tentang Kearsipan menempati posisi terfavorit untuk
“membantu” penulisan sejarah.
Arsip,
sebagaimana diatur dalam Pasal 1 Ayat 2 Undang-Undang Nomor 43 Tahun 2009
tentang Kearsipan, adalah rekaman
kegiatan atau peristiwa dalam berbagai bentuk dan media sesuai dengan
perkembangan teknologi informasi dan komunikasi yang dibuat dan diterima oleh lembaga
negara, pemerintahan daerah, lembaga pendidikan, perusahaan, organisasi
politik, organisasi kemasyarakatan, dan perseorangan dalam pelaksanaan
kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara.[1]
Dari
definisi arsip sebagaimana diatur dalam ayat tersebut, nampak bahwasanya arsip
begitu erat kaitannya dengan keberlangsungan sebuah lembaga maupun perorangan. Arsip
memiliki kekuatan memotret sebuah memori kolektif pada satu masa. Saking
pentingnya, Sir Arthur Doughty pernah berkata, “Dari semua aset negara yang ada, arsip adalah aset yang paling berharga.
Arsip merupakan warisan nasional yang perlu dipelihara dan dilestarikan.
Tingkat keberadaan suatu bangsa dapat dilihat dari pemeliharaan dan pelestarian
terhadap arsipnya.”[2]
Sebuah
peristiwa yang terjadi pada masa lalu memiliki keterkaitan dengan peristiwa di
masa yang akan datang. Untuk itulah arsip dikelola secara profesional di bawah
naungan lembaga kearsipan.
Bagi
program studi yang berusaha menyajikan kejadian di masa lampau, arsip memiliki posisi
tersendiri di hati mahasiswanya, khususnya mahasiswa jurusan Sejarah. Ini tak
lepas dari jargon yang menjadi landasan penulisan sejarah, no document no history.
B. Arsip Sebagai Sumber Inspirasi
Ketika
akan mengupas topik-topik khusus dalam sebuah penelitian sejarah, tak jarang
para sejarawan pemula mengalami buntu pikir. Pasalnya, sebuah penelitian yang
didasarkan pada alur berpikir sejarah, harus melewati fase-fase yang disebut
dengan metode sejarah. Terkait fase inilah, arsip menjadi sumber utama yang tak
boleh dilewatkan.
Pada
fase pertama, peneliti sejarah dihadapkan pada tahapan yang disebut heuristik.
Heuristik merupakan pengumpulan bahan-bahan tercetak, tertulis dan lisan yang
relevan. Oleh karena sumber sejarah dibagi atas, sumber primer dan sumber
sekunder, arsip menempati porsi yang utuh sebagai sumber primer. Sumber primer
adalah sumber yang dihasilkan oleh orang yang menjadi saksi dan sezaman dengan
peristiwa yang akan dikisahkan.[3]
Dalam
fase ini, lembaga kearsipan tidak hanya berfungsi sebagai penyedia data, namun
juga sebagai sumber inspirasi. Pengguna dimudahkan dengan ketersediaan daftar
arsip yang selanjutnya menjadi pembuka cakrawala berpikir.
Penyusunan
daftar arsip yang sistematis sesuai skup spasial dan temporal, memudahkan
pengguna menelusuri data-data yang diperlukan, baik berupa tulisan dan gambar.
Dari data tersebut peneliti dimudahkan untuk memperoleh topik atau gagasan yang
akan dikembangkan.
Selain
memberikan inspirasi untuk menemukan gagasan yang belum pernah dijamah oleh
peneliti manapun, arsip mampu memberikan inspirasi untuk melakukan penelitian
lanjutan dari penelitian yang sudah ada. Sebagai contoh konkret, pada
penelitian saya yang mengupas perpaduan kesenian dan politik pada masa Orde
Baru, tercatat Badan Pembina Pendidikan Pelaksanaan Pedoman Penghayatan dan
Pengamalan Pancasila (BP7) melalui Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila
(P4) turut mengemban misi sebagai agen sosialisasi melalui pergelaran seni. Jenis-jenis
kesenian tradisional seperti karawitan, santi
swaran, wayang (orang, kulit, golek), guyon
maton, ndolalak, lagu pop, seni tari, macapat,
sandiwara, ketoprak, memiliki kekuatan dalam menyampaikan propaganda pada era
Orde Baru.[4]
Berpijak
dari contoh kasus tersebut, peneliti pemula yang datang kepada saya untuk
meminta rekomendasi tema penelitian, dengan mudah saya arahkan untuk meneruskan
penelitian seputar pola pendidikan P4 di BP7. Dalam hal ini penelitian bisa
dilanjutkan berdasarkan ketersediaan arsip dari lembaga yang sama yang berada
di bawah lembaga kearsipan. Sehingga arsip benar-benar berperan sebagai
penyumbang inspirasi peneliti pemula untuk meneruskan penelitian dengan sudut
pandang yang berbeda.
Selain
penyumbang gagasan bagi para peneliti pemula, pada tahapan yang lebih luas,
arsip juga memberikan inspirasi bagi para pengambil kebijakan atau stakeholder untuk menentukan arah
kebijakan ke depan. Pada era seperti sekarang yang membutakan generasi muda
dari Pancasila –sehingga akhir-akhir ini mengemuka kasus-kasus seperti
penyebutan bebek nungging terhadap
sila kelima-, kebijakan pemimpin pendahulu yang mengedukasi rakyat seputar
pendidikan Pancasila[5]
harus menjadi cermin bagi kebijakan di masa yang akan datang. Selain
pendidikan, latar belakang bagaimana sebuah peristiwa terjadi dan dinamika yang
menyertainya, juga diperoleh dari apa yang diuraikan dalam arsip-arsip suatu
lembaga pada masanya.
C. Penutup
Sebuah
arsip mampu berperan sebagai inspirator apabila diwadahi dalam lembaga yang
tepat. Dalam hal ini, lembaga kearsipan harus jemput bola untuk merawat
arsip-arsip statis dari institusi atau perseorangan. Bukan hanya lembaga
kearsipan di tingkat nasional, provinsi atau kabupaten/kota, namun lembaga
kearsipan di tingkat kecamatan atau bahkan desa juga sama krusialnya. Maka
dalam kesempatan ini saya mengapresiasi langkah Badan Arsip dan Perpustakaan
Provinsi Jawa Tengah yang telah melakukan bimbingan teknis (bintek) sekretaris
desa, sebagai upaya meningkatkan keahlian sekretaris desa dalam mengelola arsip.
Lebih
dari itu, lembaga kearsipan harus mengelola arsip-arsip yang diwadahinya dengan
baik, tentu dengan memperhatikan kaidah-kaidah perawatan yang telah ditentukan.
Penyediaan daftar arsip perlu dilakukan secara tematik agar mempermudah para
peneliti pemula dalam memperoleh inspirasi.(***)
[1] UU Nomor 43 Tahun 2009 tentang
Kearsipan
[2] Chusnul Hayati, "Pentingnya
Dokumentasi dan Arsip Untuk Penulisan Sejarah Persyarikatan Muhammadiyah",
dalam http://eprints.ums.ac.id/27019/1/Workshop_Pentingnya_Dokumentasi_dan_Arsip.doc.
[4] “Laporan Hasil Evaluasi
Pelaksanaan Pemasyarakatan dan Pembudayaan P4 Di Daerah Tingkat II Se Jawa
Tengah Tahun 1995/1996”, 1996, BP7 Propinsi Daerah Tingkat I Jawa Tengah Tahun
1995/1996, hlm. 25, Kanwil Deppen Prov. Jateng, Arsip Provinsi Jawa Tengah.
[5] “Surat Gubernur Kepala Daerah
Tingkat I Jateng perihal Pembudayaan P-4 melalui Bhinekakarya Pancakarsa”, 16
Oktober 1991, Arsip Provinsi Jawa Tengah.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar