Dia berlari menuju satu hati ke hati yang lainnya. Untuk berapa lama ia singgah, ia tak terlampau mempersoalkannya. Yang terutama, ada damai yang berserak barang sepersekian detik. Sebuah damai yang luput dalam kungkung lintas warsa.
Alam yang menaunginya hidup, seperti mengerti bagaimana dia harus berlari. Meski kadang hidup kurang memihaknya, namun toh nyatanya dia masih mampu menopang getir di atas kedua kakinya.
Jalan ini sudah dilewatinya berkali-kali. Orang boleh menyebutnya gila. Orang boleh memanggilnya sinting. Apalah daya satir-satir itu kalau dia sudah membulat tekad?
Jalan ini pernah mengantarkannya pada jurang yang dalam. Jalan ini juga yang mengantarkannya pada puncak paling curam. Tapi jalan ini mengerti harus kemana dia berjalan untuk menembus bayang yang menyenangkan.
Kadang dia harus terbangun dalam angan yang kosong. Tanpa sanak. Tanpa ibu.
Kadang dia harus membelah kerasnya ego untuk melunakkan asa yang kosong akan belaian ayah ataupun ibu. Dia sedang mencoba melawan takdirnya sendiri.
bersambung
Tidak ada komentar:
Posting Komentar