SEMARANG HINGGA AWAL ABAD XX :
BANGKITNYA KOTA DARI HEGEMONI
BAHARI
Oleh : Fadhil Nugroho Adi
(Mahasiswa Sejarah 2010)
Keberadaan pelabuhan Semarang
ternyata sudah diketahui sejak zaman Hindu, bahkan pada masa itu Semarang
meupakan bandar utama dari kerajaan Mataram Kuna (732-824) dengan pusat
pemerintahan berada di Medang, Jawa Tengah. Pelabuhan Semarang saat itu
berlokasi di kaki bukit Candi, dengan pelabuhan Bergota sebagai pelabuhan yang
terkenal kala itu. Bagi kerajaan Mataram Kuna, pelabuhan Bergota memiliki arti
penting terutama dalam pengembangan ekonomi kerajaan, bahkan kemunduran Mataram
Kuna juga disebabkan oleh tidak berfungsinya pelabuhan Bergota karena
pengendapan lumpur yang semakin mendangkalkan perairan pelabuhan, terutama yang
dibawa oleh aliran sungai terbesar pada waktu itu yakni Kaligarang. Perkembangan
kota Semarang sebagai kota pelabuhan selanjutnya terkait erat dengan
perkembangan perdagangan di pantai utara Jawa. Sekitar tahun 1412 di Semarang
telah terbentuk komunitas Cina yang bermukim di daerah Gedung Batu atau
Simongan dan di tepi Sungai Semarang. Daerah ini dipilih sebagai tempat
bermukim komunitas Cina karena daerah ini merupakan daerah yang paling baik dan
sangat strategis. Daerah Simongan berupa teluk yang terletak di antara muara
kali Semarang dan bandar Semarang. Seiring dengan perkembangan Semarang sebagai
kota pelabuhan, pada tanggal 5 Oktober 1705 disusun suatu perjanjian antara
Susuhunan Paku Buwono I dengan VOC (Verenigde
Oost Indische Compagnie) di Kartasura yang menentukan status hukum kota
Semarang dalam pemerintahan VOC adalah sebagai kota kedua setelah Batavia.
Perjanjian ini kemudian membawa dampak pada pertumbuhan ekonomi di daerah
sekitar Semarang, ditandai dengan banyak didirikannya onderneming-onderneming, pabrik-pabrik gula dan perdagangan lainnya
yang menarik minat para pedagang untuk mencari penghidupan di Semarang yang
dari berbagai etnis dan daerah. Selanjutnya pada abad XVIII tepatnya pada tahun
1743, ketika Belanda memindahkan pelabuhan dari Mangkang ke Boom Lama,
aktivitas perdagangan yang melalui Sungai Semarang semakin ramai karena lokasi
Boom Lama dekat dengan pasar Pedamaran yang menjadi pusat perdagangan saat itu.
Maka kemudian berkembanglah dusun-dusun sebagai tempat menetap para pedagang
yang saat ini sering dikenal dengan sebutan Kampung Darat (Ndarat) dan Kampung Ngilir.
Pada abad inilah diketahui juga bahwa Semarang merupakan kota bandar, demikian
halnya dengan sisi sebelah timur Semarang yakni kota Torrabaya atau Terboyo
yang dapat dicapai dengan menggunakan perahu menyusuri pantai timur Semarang.
Hubungan antaretnis di Semarag pada kurun waktu antara 1708 hingga 1741
tergolong sebagai simbiose kehidupan beberapa etnis yang unik. Masyarakat Jawa
dan etnis Melayu lainnya yang mayoritas berada pada tingkat ekonomi kelas bawah
sebagai pekerja, pedagang kecil, dan nelayan. Komunitas Cina kelas atas yang
sudah lama memainkan peran ekonomi di Semarang, sedangkan masyarakat Cina kelas
bawah sebagai pekerja dan hadirnya VOC, yang merupakan etnis Eropa yang
mendominasi perdagangan dan mulai memegang kendali pemerintahan.
Pada abad
XIX, ketika kegiatan perdagangan semakin ramai dan semakin memerlukan sarana
dan prasarana yang memadai, dibangunlah dermaga oleh pemerintah kolonial.
Langkah awal dalam pembangunan dermaga yang baru adalah penyusunan perencanaan
pembangunan kanal baru pada tahun 1854. Pelaksanaan pembangunannya pada tahun
1873 dan selesai pada tahun 1875. Tujuan dari pembangunan kanal baru sepanjang
1180 meter dan lebar 23 meter tersebut adalah untuk memotong aliran sungai
Semarang yang terlalu panjang. Francois Valentijn dalam tulisannya tahun 1825
menyatakan,
Semarang adalah salah satu
pelabuhan terbesar di Pulau Jawa yang didiami oleh pedagang-pedagang kaya. Di
sana banyak orang dan kebanyakan dari mereka pandai berdagang. Tempat
perdagangan adalah sebuah tempat di mana hampir segala macam barang
diperdagangkan dan merupakan sebuah tempat yang luas dan sangat padat. “Kasteel” tua telah dirubuhkan pada tahun
1824 dan digantikan oleh benteng modern yang bernama “Prins Van Oranye” atau “Poncol”.
Pembangunan
yang digalakkan pemerintah Hindia Belanda pada fase Pasca Benteng Kota
(1824-1866) memperlihatkan keseriusan upaya pemerintah Hindia Belanda untuk
mengembangkan kota Semarang. Di era ini bisa tergambarkan bahwa kota Semarang
yang secara geografis memiliki pantai, dataran rendah dan dataran tinggi terus
tumbuh dan berkembang hingga era pra-kemerdekaan. Dirintisnya jalur
transportasi kereta api pertama, yakni jalur Semarang-Tanggung sepanjang 25 km
yang perletakan batu pertamanya dilakukan oleh gubernur jenderal Baron Sloet
van de Beele pada tanggal 17 Juni 1864 menjadi satu contoh bahwa Semarang
adalah kota pilihan yang amat diperhitungkan dari berbagai aspek, termasuk pada
perkembangan ekonomi. Hal ini terlihat dari beberapa distrik penghasil kopi di
wilayah Resodensi Semarang pada paruh kedua abad XIX, semisal Grogol, Kradenan,
Selokaton, Singen Lor, Singen Kulon, Semarang, Tengaran, Cangkiran, Limbangan,
Ungaran, Ambarawa, Salatiga, Grobogan, Wirasari, Purwodadi, dan Kaliwungu. Pada
tahun 1842 Menteri Daerah Jajahan J.C. Van Baud telah memikirkan pengembangan
pengangkutan produk-produk dari wilayah vorstenlanden
ke Semarang dan sebaliknya. Pada tahun 1861 kemudian diajukanlah permohonan
oleh pihak swasta negeri Belanda, Poolman, untuk memperoleh konsesi guna pembangunan
dan eksploitasi jalur kereta api dari Semarang ke Surakarta dan Yogyakarta.
Ditetapkanlah keputusan tertanggal 28 Maret 1862 yang menjadi dasar
pengoperasian jalur Semarang-vorstenlanden.
Hingga tahun 1893, Semarang memiliki tiga stasiun yakni Stasiun Tawang yang
melayani jalur Semarang-vorstenlanden,
stasiun Jurnatan melayani jalur Semarang-Juana, dan stasiun Poncol untuk jalur
Semarang-Cirebon. Untuk transportasi laut, banyak kapal dari luar negeri baik
kapal uap maupun kaoal layar yang berlabuh di Semarang. Mereka berasal dari
berbagai negeri yaitu Inggris, Belanda, Hindia Belanda, Jerman, Denmark,
Jepang, Austria, Swedia, Norwegia, dan Perancis. Peningkatan jumlah kapal yang
mengunjungi pelabuhan Semarang pada awal abad XX dapat dilihat pada tabel berikut.
Tahun
|
Jumlah Kapal
|
Berat Netto dalam m3
|
1904
|
804
|
3.379.279
|
1910
|
1023
|
5.923.190
|
1915
|
1078
|
6.938.589
|
1920
|
1181
|
8.076.311
|
1925
|
1661
|
12.552.175
|
1930
|
2070
|
17.215.884
|
Tabel 1.1
Jumlah Kapal dan Berat Netto isi
Kapal dalam m3
Di kalangan masyarakat kolonial,
Semarang memang dipandang sebagai pusat bisnis yang penting. Hal ini terbukti
bahwa Semarang pernah dipilih sebagai lokasi koloniale tentoonstelling (pameran kolonial) yang pertama,
diselenggarakan pada tanggal 20 Agustus hingga 22 November 1914. Beberapa
negara turut ambil bagian dalam pameran ini, antara lain Belanda, Jepang,
Singapura, Cina, India, Australia, dan Amerika. Berbagai kota di Hindia Belanda
pun ikut memamerkan produk-produk di sini, dan Semarang menempati posisi
terbanyak dalam pameran itu.
Pada awal
abad XX juga kerap dilakukan perekrutan buruh industri di daerah-daerah di
sekitar Semarang. Para pengusaha Eropa menyukai sistem perekrutan ini, karena
cara itu dapat menyediakan tenaga kerja yang terpercaya di bawah pengawasan
seorang mandor. Stratifikasi sosial (Eropa, Timur Asing, “Inlander”) telah
menempatkan kaum pekerja bumiputera pada posisi pekerjaan dan upah yang rendah.
Bahkan menurut data Semarang-Joana
Stoomtram-Maatschappij dan Semarang-Cheribon
Stoomtram-Maatschappij menunjukkan bahwa jumlah ambtenaar bumiputera pada perusahaan kereta api tersebut kurang
dari 50% jumlah ambtenaar Eropa, dan
orang bumiputera yang berjumlah jauh lebih banyak daripada jumlah orang Eropa
hanya menempati posisi pekerjaan sebagai pegawai rendahan dengan gaji atau upah
yang rendah pula. Situasi semacam ini nampak kontras dengan kondisi
perkampungan di Semarang yang menunjukkan bahwa perumahan penduduk bumiputera
di kampung-kampung tidak memenuhi persyaratan kesehatan. Rumah mereka dibuat
dari bambu dengan lantai tanah, tanpa ventilasi, tanpa penerangan, letaknya
tidak teratur, WC terletak di atas saluran kecil serta dangkal, dan sumur
berada di dekatnya. Tidak mustahil buruknya kondisi perumahan dan perkampungan
rakyat bumiputera mengakibatkan perluasan wabah pes di kampung-kampung dalam
kota Semarang pada dekade kedua abad XX. Pada bulan Oktober 1916 hingga
Desember 1917 terdapat 31 orang terjangkit penyakit pes; tahun 1917 penduduk
bumiputera Semarang juga terserang penyakit cholera, typhus, malaria dan
disentri dengan korban meninggal cukup banyak; tahun 1918, setiap hari ada
sekitar 40 hingga 60 orang bumiputera meninggal karena penyakit malaria dan
influenza. Nampaknya kekumuhan rumah dan lingkungan di perkampungan di kota
Semarang pada saat itu dapat dipahami dengan mengingat kondisi kemiskinan
finansial dan sistem budaya. Secara finansial, adalah sulit bagi golongan
ekonomi lemah untuk membangun atau menyewa perumahan sehat. Kondisi ini juga
ditunjang oleh sistem budaya atau sistem berpikir tentang “rumah” di kalangan
golongan ekonomi lemah yang notabene kurang atau justru tak berpendidikan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar