Senin, 05 Mei 2014

SEMARANG HINGGA AWAL ABAD XX : BANGKITNYA KOTA DARI HEGEMONI BAHARI




SEMARANG HINGGA AWAL ABAD XX :
BANGKITNYA KOTA DARI HEGEMONI BAHARI
Oleh : Fadhil Nugroho Adi (Mahasiswa Sejarah 2010)

Keberadaan pelabuhan Semarang ternyata sudah diketahui sejak zaman Hindu, bahkan pada masa itu Semarang meupakan bandar utama dari kerajaan Mataram Kuna (732-824) dengan pusat pemerintahan berada di Medang, Jawa Tengah. Pelabuhan Semarang saat itu berlokasi di kaki bukit Candi, dengan pelabuhan Bergota sebagai pelabuhan yang terkenal kala itu. Bagi kerajaan Mataram Kuna, pelabuhan Bergota memiliki arti penting terutama dalam pengembangan ekonomi kerajaan, bahkan kemunduran Mataram Kuna juga disebabkan oleh tidak berfungsinya pelabuhan Bergota karena pengendapan lumpur yang semakin mendangkalkan perairan pelabuhan, terutama yang dibawa oleh aliran sungai terbesar pada waktu itu yakni Kaligarang. Perkembangan kota Semarang sebagai kota pelabuhan selanjutnya terkait erat dengan perkembangan perdagangan di pantai utara Jawa. Sekitar tahun 1412 di Semarang telah terbentuk komunitas Cina yang bermukim di daerah Gedung Batu atau Simongan dan di tepi Sungai Semarang. Daerah ini dipilih sebagai tempat bermukim komunitas Cina karena daerah ini merupakan daerah yang paling baik dan sangat strategis. Daerah Simongan berupa teluk yang terletak di antara muara kali Semarang dan bandar Semarang. Seiring dengan perkembangan Semarang sebagai kota pelabuhan, pada tanggal 5 Oktober 1705 disusun suatu perjanjian antara Susuhunan Paku Buwono I dengan VOC (Verenigde Oost Indische Compagnie) di Kartasura yang menentukan status hukum kota Semarang dalam pemerintahan VOC adalah sebagai kota kedua setelah Batavia. Perjanjian ini kemudian membawa dampak pada pertumbuhan ekonomi di daerah sekitar Semarang, ditandai dengan banyak didirikannya onderneming-onderneming, pabrik-pabrik gula dan perdagangan lainnya yang menarik minat para pedagang untuk mencari penghidupan di Semarang yang dari berbagai etnis dan daerah. Selanjutnya pada abad XVIII tepatnya pada tahun 1743, ketika Belanda memindahkan pelabuhan dari Mangkang ke Boom Lama, aktivitas perdagangan yang melalui Sungai Semarang semakin ramai karena lokasi Boom Lama dekat dengan pasar Pedamaran yang menjadi pusat perdagangan saat itu. Maka kemudian berkembanglah dusun-dusun sebagai tempat menetap para pedagang yang saat ini sering dikenal dengan sebutan Kampung Darat (Ndarat) dan Kampung Ngilir. Pada abad inilah diketahui juga bahwa Semarang merupakan kota bandar, demikian halnya dengan sisi sebelah timur Semarang yakni kota Torrabaya atau Terboyo yang dapat dicapai dengan menggunakan perahu menyusuri pantai timur Semarang. Hubungan antaretnis di Semarag pada kurun waktu antara 1708 hingga 1741 tergolong sebagai simbiose kehidupan beberapa etnis yang unik. Masyarakat Jawa dan etnis Melayu lainnya yang mayoritas berada pada tingkat ekonomi kelas bawah sebagai pekerja, pedagang kecil, dan nelayan. Komunitas Cina kelas atas yang sudah lama memainkan peran ekonomi di Semarang, sedangkan masyarakat Cina kelas bawah sebagai pekerja dan hadirnya VOC, yang merupakan etnis Eropa yang mendominasi perdagangan dan mulai memegang kendali pemerintahan.
            Pada abad XIX, ketika kegiatan perdagangan semakin ramai dan semakin memerlukan sarana dan prasarana yang memadai, dibangunlah dermaga oleh pemerintah kolonial. Langkah awal dalam pembangunan dermaga yang baru adalah penyusunan perencanaan pembangunan kanal baru pada tahun 1854. Pelaksanaan pembangunannya pada tahun 1873 dan selesai pada tahun 1875. Tujuan dari pembangunan kanal baru sepanjang 1180 meter dan lebar 23 meter tersebut adalah untuk memotong aliran sungai Semarang yang terlalu panjang. Francois Valentijn dalam tulisannya tahun 1825 menyatakan,
Semarang adalah salah satu pelabuhan terbesar di Pulau Jawa yang didiami oleh pedagang-pedagang kaya. Di sana banyak orang dan kebanyakan dari mereka pandai berdagang. Tempat perdagangan adalah sebuah tempat di mana hampir segala macam barang diperdagangkan dan merupakan sebuah tempat yang luas dan sangat padat. “Kasteel” tua telah dirubuhkan pada tahun 1824 dan digantikan oleh benteng modern yang bernama “Prins Van Oranye” atau “Poncol”.
            Pembangunan yang digalakkan pemerintah Hindia Belanda pada fase Pasca Benteng Kota (1824-1866) memperlihatkan keseriusan upaya pemerintah Hindia Belanda untuk mengembangkan kota Semarang. Di era ini bisa tergambarkan bahwa kota Semarang yang secara geografis memiliki pantai, dataran rendah dan dataran tinggi terus tumbuh dan berkembang hingga era pra-kemerdekaan. Dirintisnya jalur transportasi kereta api pertama, yakni jalur Semarang-Tanggung sepanjang 25 km yang perletakan batu pertamanya dilakukan oleh gubernur jenderal Baron Sloet van de Beele pada tanggal 17 Juni 1864 menjadi satu contoh bahwa Semarang adalah kota pilihan yang amat diperhitungkan dari berbagai aspek, termasuk pada perkembangan ekonomi. Hal ini terlihat dari beberapa distrik penghasil kopi di wilayah Resodensi Semarang pada paruh kedua abad XIX, semisal Grogol, Kradenan, Selokaton, Singen Lor, Singen Kulon, Semarang, Tengaran, Cangkiran, Limbangan, Ungaran, Ambarawa, Salatiga, Grobogan, Wirasari, Purwodadi, dan Kaliwungu. Pada tahun 1842 Menteri Daerah Jajahan J.C. Van Baud telah memikirkan pengembangan pengangkutan produk-produk dari wilayah vorstenlanden ke Semarang dan sebaliknya. Pada tahun 1861 kemudian diajukanlah permohonan oleh pihak swasta negeri Belanda, Poolman, untuk memperoleh konsesi guna pembangunan dan eksploitasi jalur kereta api dari Semarang ke Surakarta dan Yogyakarta. Ditetapkanlah keputusan tertanggal 28 Maret 1862 yang menjadi dasar pengoperasian jalur Semarang-vorstenlanden. Hingga tahun 1893, Semarang memiliki tiga stasiun yakni Stasiun Tawang yang melayani jalur Semarang-vorstenlanden, stasiun Jurnatan melayani jalur Semarang-Juana, dan stasiun Poncol untuk jalur Semarang-Cirebon. Untuk transportasi laut, banyak kapal dari luar negeri baik kapal uap maupun kaoal layar yang berlabuh di Semarang. Mereka berasal dari berbagai negeri yaitu Inggris, Belanda, Hindia Belanda, Jerman, Denmark, Jepang, Austria, Swedia, Norwegia, dan Perancis. Peningkatan jumlah kapal yang mengunjungi pelabuhan Semarang pada awal abad XX dapat dilihat pada tabel berikut.
Tahun
Jumlah Kapal
Berat Netto dalam m3
1904
804
3.379.279
1910
1023
5.923.190
1915
1078
6.938.589
1920
1181
8.076.311
1925
1661
12.552.175
1930
2070
17.215.884
Tabel 1.1
Jumlah Kapal dan Berat Netto isi Kapal dalam m3

Di kalangan masyarakat kolonial, Semarang memang dipandang sebagai pusat bisnis yang penting. Hal ini terbukti bahwa Semarang pernah dipilih sebagai lokasi koloniale tentoonstelling (pameran kolonial) yang pertama, diselenggarakan pada tanggal 20 Agustus hingga 22 November 1914. Beberapa negara turut ambil bagian dalam pameran ini, antara lain Belanda, Jepang, Singapura, Cina, India, Australia, dan Amerika. Berbagai kota di Hindia Belanda pun ikut memamerkan produk-produk di sini, dan Semarang menempati posisi terbanyak dalam pameran itu.
            Pada awal abad XX juga kerap dilakukan perekrutan buruh industri di daerah-daerah di sekitar Semarang. Para pengusaha Eropa menyukai sistem perekrutan ini, karena cara itu dapat menyediakan tenaga kerja yang terpercaya di bawah pengawasan seorang mandor. Stratifikasi sosial (Eropa, Timur Asing, “Inlander”) telah menempatkan kaum pekerja bumiputera pada posisi pekerjaan dan upah yang rendah. Bahkan menurut data Semarang-Joana Stoomtram-Maatschappij dan Semarang-Cheribon Stoomtram-Maatschappij menunjukkan bahwa jumlah ambtenaar bumiputera pada perusahaan kereta api tersebut kurang dari 50% jumlah ambtenaar Eropa, dan orang bumiputera yang berjumlah jauh lebih banyak daripada jumlah orang Eropa hanya menempati posisi pekerjaan sebagai pegawai rendahan dengan gaji atau upah yang rendah pula. Situasi semacam ini nampak kontras dengan kondisi perkampungan di Semarang yang menunjukkan bahwa perumahan penduduk bumiputera di kampung-kampung tidak memenuhi persyaratan kesehatan. Rumah mereka dibuat dari bambu dengan lantai tanah, tanpa ventilasi, tanpa penerangan, letaknya tidak teratur, WC terletak di atas saluran kecil serta dangkal, dan sumur berada di dekatnya. Tidak mustahil buruknya kondisi perumahan dan perkampungan rakyat bumiputera mengakibatkan perluasan wabah pes di kampung-kampung dalam kota Semarang pada dekade kedua abad XX. Pada bulan Oktober 1916 hingga Desember 1917 terdapat 31 orang terjangkit penyakit pes; tahun 1917 penduduk bumiputera Semarang juga terserang penyakit cholera, typhus, malaria dan disentri dengan korban meninggal cukup banyak; tahun 1918, setiap hari ada sekitar 40 hingga 60 orang bumiputera meninggal karena penyakit malaria dan influenza. Nampaknya kekumuhan rumah dan lingkungan di perkampungan di kota Semarang pada saat itu dapat dipahami dengan mengingat kondisi kemiskinan finansial dan sistem budaya. Secara finansial, adalah sulit bagi golongan ekonomi lemah untuk membangun atau menyewa perumahan sehat. Kondisi ini juga ditunjang oleh sistem budaya atau sistem berpikir tentang “rumah” di kalangan golongan ekonomi lemah yang notabene kurang atau justru tak berpendidikan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar