Komisi umum yang terdiri atas Elout, Buyskes, dan Van Der Capellen memimpin dari tahun 1816 hingga 1819. Komisi ini melakukan perubahan dalam :
- Bidang Ekonomi.
Pada intinya, peralihan pemerintahan masih menghadapi masalah antara eksploitasi secara liberal dan eksploitasi secara konservatif. Akan tetapi Komisi Umum tersebut lebih cenderung pada sistem liberal.
Pandangan konservatif bertolakbelakang dengan pandangan liberal. Dalam pandangan konservatif, pengeksploitasian harus dipegang secara langsung oleh pemerintah karena ketidaksiapan masyarakatnya. Sementara itu pandangan liberal menyatakan bahwa pengeksploitasian harus ditangani oleh perusahaan swasta, dan pemerintah hanya berhak mendapatkan pajak dan mengontrol pengeksploitasian saja.
Kebijakan sewa tanah memang dilanjutkan namun mereka menghadapi kesulitan karena tuan tanah belum mampu berkembang, kekurangan tenaga resmi, kekurangan biaya, masih adanya masyarakat yang tak berpendidikan, dan sebagainya. Pemerintah kolonial Belanda bergerak maju untuk menyewakan desa-desa kepada pihak luar, sehingga beban masyarakat menjadi bertambah susah (hal ini disebabkan pengeksploitasian para pachter).
- Bidang Politik
Dalam aspek politik komisi umum masih melanjutkan pengurangan kekuasaan pada birokrasi tradisional (apanage, tributary, curve, lambang-lambang feodalisme, dan sebagainya). Akan tetapi sistem preanger stelsel tidak dihapus karena memilki banyak keuntungan. Selanjutnya mereka mengurangi jumlah para pengawal raja dari 65 orang menjadi 50 orang.
Pada masa kepemimpinan Van Der Capellen yang memerintah sejak tahun 1819 hingga 1826, nampaknya Van Der Capellen cenderung bersikap konservatif karena adanya pengalaman kegagalan sebelumnya. Van Der Capellen pun ketika didapuk sebagai gubernur jenderal menungkapkan gagasan-gagasannya mengenai bagaimana liberalisme berlangsung, hingga iapun menyatakan dirinya sendiri sebagai orang yang anti liberal. Ia menyatakan,
“Kalau saya harus berasumsi, bahwa di Belanda Liberalisme dimengerti sebagai perlindungan terhadap pemilik tanah Eropa dengan merugikan penduduk asli, dan bahwa kepentingan penduduk asli sama sekali diabaikan untuk memberikan kesempatan kepada segelintir spekulator dan avounturir untuk berhasil dalam rancangan mereka, maka saya harus menyatakan diri sebagai seorang yang sangat anti-Liberal” (Vlekke, H.M. Bernard, 2010: 309)
Oleh karena itu tidaklah menghernkan jika perdagangan swasta nampak seperti ancaman (para pedagang Eropa dan Cina ditekan). Priangan pun ditutup untuk perdagangan swasta. Sistem sewa tanah lalu dilarang pada 1823. Penyewaan tanah kepada orang luar –seperti yang telah dijelaskan sebelumnya- sangat bertentangan dengan tradisi. Mengapa? Karena “orang-orang luar” itu harus dibatasi hanya sebatas perdagangan saja. Kegiatan produksi harus ditangani oleh orang-orang pribumi.
Sistem sewa tanah termasuk di dalamnya tenaga kerja atau orang-orang yang justru menyalahgunakan tanah milik masyarakat menyebabkan kemiskinan yang diderita masyarakat setempat. Sistem sewa tanah yang diberlakukan di vorstenlanden (daerah yang berada di pedalaman, berdekatan dengan pusat kerajaan) seperti menyerang masyarakat itu sendiri dan berbahaya karena kontrak yang terlalu panjang yakni selama dua puluh tahun. Hal ini akan membebani para pengganti dan menyebabkan keresahan sosial. Inilah yang dikatakan Ricklefs bahwa hingga tahun 1825, perasaan tidak senang semakin meningkat di Jawa karena belum terelesaikannya beberapa persoalan di antaranya orang-orang Eropa yang masih tetap melakukan campur tangan terhadap urusan-urusan istana pada umumnya, lalu korupsi dan persekongkolan yang semakin merajalela. Belum lagi penduduk pedesaan Jawa dan hukum adat yang dipandang rendah dalam lingkungan perkebunan-perkebunan tebu, kopi, nila, dan lada, yang dikembangkan oleh orang-orang Eropa dan Jawa yang menyewa tanah di Jawa Tengah (Rikclefs, M.C., 2005 : 252)
Pada tahun 1823 seluruh kontrak sewa tanah dihapuskan. Hal ini menyebabkan ketidakpuasan sosial di antara para bangsawan dan para pedagang. Mereka otomatis harus mengembalikan uang yang telah mereka terima dan inilah yang menjadi salah satu faktor penyebab perang Diponegoro. Ya, periode jabatan Van Der Capellen memang dianggap tidak memuaskan oleh pemerintah di Belanda. Utang publik Hindia Belanda meningkat pesat. Produksi tanaman ekspor menyusut. Ia menghabiskan 24 juta gulden selama pemerintahannya. Akan tetapi pengeluaannya ini tak sebanding dengan harga kopi di pasaran yang jatuh secara tiba-tiba an mengakibatkan Batavia kehilangan penghasilan besar. Terakhir, Van Der Capellen yang berniat baik justru mengambil langkah-langkh yang menimbulkan perang besar di Jawa (Vlekke, H.M. Bernard, 2010: 319). Selanjutnya pada 1826 Van Der Capellen digantikan dengan Du Bus De Gesignes.
Du Bus De Gesignes (seorang bangsawan Belgia) memerintah sejak tahun 1825 hingga 1830. Ia memiliki beberapa tugas pokok yakni mengubah negara jajahan menjadi lebih baik. Caranya antara lain dengan:
1. Memantau para tuan tanah, produksi ekspornya, dan masalah-masalah moneter atau keuangan
2. Bagi tuan tanah, diharuskan untuk:
- Menjamin kepemilikan swasta
- Ekstensifikasi areal pertanian atau agrikultural
- Melanjutkan sistem sewa tanah
3. Untuk produksi ekspor:
- Memodernisasi industri gula
- Memperbanyak komoditi ekspor (teh,kopi, gula, dan lain sebagainya)
- Menambah jumlah kain (tenunan)
4. Untuk bidang keuangan:
- Pengukuhan beberapa bank di Jawa
- Memberikan kredit untuk para petani.
Akan tetapi perang Diponegoro membuat pemerintah kolonial Belanda menghadapi masalah keuangan yang serius yakni mengalami defisit. Mereka harus menemukan cara bagaimana untuk memperoleh uang sebanyak dan secepat mungkin.
Literatur:
Ricklefs, M.C. 2005. Sejarah Indonesia Modern 1200-2004. Jakarta: Serambi.
Vlekke, H.M. Bernard. 2010. Nusantara Sejarah Indonesia. Jakarta: PT Gramedia.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar