(Alumni Jurusan Sejarah Undip, 45 Besar Duta Museum Jawa Tengah 2014)
Museum Jawa Tengah Ranggawarsita |
Museum : Sebuah Selayang Pandang
Pada dasarnya, museum merupakan sebuah badan
atau lembaga yang bertujuan untuk bersifat tetap, tidak mencari keuntungan
dalam melayani masyarakat, terbuka untuk umum, benda-benda koleksi yang
diperoleh dapat dirawat, diawetkan, direkomendasikan, dan dipamerkan untuk
kepentingan studi, pendidikan, dan kesenangan dari materi-materi yang menjadi
saksi manusia dan alam (Rumusan ICOM, 1974).
Dari rumusan tersebut dapat ditelaah lebih
dalam bahwa museum berfungsi strategis dalam mengumpulkan, melestarikan, dan
menyajikan koleksi kepada masyarakat umum untuk meningkatkan ilmu pengetahuan
dan pendidikan, serta sebagai salah satu bentuk hiburan.
Di
Indonesia, museum mulai diwujudkan pada masa pemerintahan kolonial Belanda. Saat
itu pemerintah kolonial mendirikan Bataviaasch
Genotschaap van Kunsten en Wetenschappen (1770) dan dikembangkan dengan Stichting Oud Batavia atau Museum Oud Batavia (1930-an). Ketika
Inggris masuk ke Indonesia, pada tahun 1811 hingga 1815, terdapat satu badan
bernama Batavian Society of Arts and
Sciences yang juga memiliki fungsi seperti museum pada umumnya. Hingga
kemudian Indonesia terbebas dari belenggu penjajahan, terbentuklah sebuah
lembaga resmi negara dalam mengkoordinasi permuseuman dengan nama Lembaga
Kebudayaan Indonesia. Dari sinilah muncul Museum Pusat dan Perpustakaan (yang
kemudian menjadi Museum Nasional dan Perpustakaan Nasional) dan Museum Jakarta.
Salah satu koleksi etnografis di Museum Ranggawarsita |
Museum dan Tantangannya
Saat ini, banyak museum di
Indonesia, terutama yang berada dalam pengelolaan pemerintah, bisa dikatakan
masih berwujud “museum konvensional”. Tidak jarang ditemui museum-museum
semacam ini tampil dengan sajian yang seadanya, kurang menarik minat pengunjung,
terkesan menyeramkan dengan isi barang-barang kuno, dan anggapan-anggapan lain
yang kurang mampu menyedot animo masyarakat luas. Sementara di lain sisi,
museum yang dikelola pihak swasta jutsru mampu tumbuh dan berkembang secara
maksimal. Sebut saja museum batik di Surakarta, museum lukisan Affandi, dan
museum-museum lain yang digagas dan diadaptasi secara baik oleh pihak
non-pemerintah. Museum ini punya harga karcis yang setinggi langit, tapi
pengunjung tidak merasa kecewa dengan tampilan di dalamnya. Istilah Jawanya, sumbut.
Oleh sebab itu perlu
dikaji ulang bagaimana tata pameran dalam sebuah museum yang benar dan tepat
sasaran. Kita tahu bahwa ada banyak faktor yang menarik masyarakat untuk
berkunjung ke museum, antara lain gaya hidup, kelas sosial, dan kecenderungan
sosial mereka. Dan faktor-faktor inilah yang mesti diperhatikan oleh setiap
museum, demi memenuhi tujuan museum itu sendiri.
Sebagai contoh, saya
mencoba memperbandingkan kondisi museum pemerintah kita dengan museum yang juga
dikelola pemerintah, namun tentu bukan di Indonesia. Museum Nasional di
Singapura, punya banyak cara untuk memanjakan pengunjungnya. Dalam gelaran Trip to Historical Site for ASEAN Unity
yang lalu, saya cukup terperangah ketika memperoleh souvenir yang begitu lux dari delegasi Singapura. Beliau
adalah direktur Museum Nasional Singapura. Kami diberinya tas tangan berisi
majalah berkala yang khusus menyajikan informasi seputar koleksi museum
tersebut dan kipas tangan cantik bergambarkan ilustrasi Museum Nasional Singapura.
The National Museum, Singapore |
Majalah ini tampil dengan
kertas yang sama lux-nya, dan mengakomodasi berbagai tulisan tentang
benda-benda koleksi sejarah dari negara lain di Asia Tenggara. Bagi saya, ini
menarik sekali. Tak hanya wawasan setiap pengunjung yang bertambah dengan hadirnya
majalah berkala ini, namun tujuan museum sebagai media
pendidikan juga menjadi tercapai. Untuk hal ini, saya sebetulnya telah mengapresiasi museum
Ronggowarsito yang rajin menerbitkan buku-buku tentang koleksi benda sejarah
baik yang berbahan logam, batu, kain (batik), koleksi etnografi, maupun serat-serat yang dialihtransliterasikan
oleh para pakar yang mumpuni di bidangnya. Sayangnya, buku ini kurang
terdistribusikan dengan baik di kalangan pelajar ataupun masyarakat umum.
Sehingga masyarakat hanya bisa menemuinya di perpustakaan museum. Andai saja
buku ini terdistribusi di kalangan masyarakat luas (semisal di perpustakaan
sekolah dan perguruan tinggi), pasti akan memunculkan rasa keingintahuan yang
tinggi untuk menyaksikan secara langsung peninggalan nenek moyang Nusantara
yang luhur pekertinya.
Sementara di Indonesia, ada satu museum yang
cukup membuat saya terkesima, yang dikelola oleh pihak swasta. House of Sampoerna namanya. Museum yang
berlokasi di Surabaya ini menyajikan pemandangan yang elegan, dengan aroma
tembakau dan cengkeh yang berpadu. Porsi tata pameran semuanya serba ideal.
Contoh-contoh tembakau sampai produk-produk dari masa ke masa yang dihasilkan
oleh pabrik rokok terbesar se-Asia itu dijajarkan secara apik nan artistik.
Tata pencahayaan juga menjadi daya dukung yang tidak boleh dilupakan. Ada
atmosfir yang memesona dan menenteramkan. Saya rasa inipun semestinya diadopsi
oleh museum-museum yang dinaungi pemerintah agar pengunjung merasa nyaman,
dibuai tenteram, disinggahi damai, dan pada akhirnya, segenap tujuan dapat
tersampaikan.
Berikutnya mengenai
pelestarian warisan budaya yang diemban museum itu sendiri. Dalam keanekaragaman warisan budaya, kita mengenal adanya warisan
budaya berupa warisan budaya benda (Tangible
cultural heritage) maupun warisan budaya tak benda (Intangible cultural heritage). Keduanya membentuk sinergi yang
sangat baik bagi kemajuan suatu bangsa. Oleh sebab itu, hendaknya, museum tidak hanya menampilkan warisan budaya
benda semata. Namun museum juga harus menjadi wadah pelestarian budaya tak
benda yang efektif dan mampu dirangkul semua kalangan. Saya memberikan
apresiasi yang tinggi kepada Museum Jawa Tengah Ronggowarsito yang berulangkali
menampilkan pagelaran wayang kulit. Tak hanya eselon atas, namun masyarakat
luas pun mampu dirangkul melalui pagelaran itu. Sehingga nantinya akan terwujud
pengembangan peran museum dalam pelestarian warisan budaya baik benda maupun
tak benda.
Selain itu, keberadaan
tata pameran di dalam museum juga menjadi daya tarik masyarakat untuk mau
berkunjung. Kalau selama ini masih banyak ditemui tata pameran yang kurang eye catching, maka sudah semestinya
hal-hal semacam ini diperbaiki, tentu tanpa mengubah bentuk benda cagar budaya.
Di Museum Ronggowarsito, saya masih ingat, ketika saya masih kecil, ada mesin
yang ketika dimasuki koin, dapat mengeluarkan suara berisi cerita-cerita
rakyat. Ada juga diorama yang mengisahkan perjuangan merebut kemerdekaan, namun
sayang, lorong di bagian itu masih saja gelap. Bagi saya, kedua unsur itu
sangat menarik apabila saat ini direvitaliasi. Apalagi jika dikembangkan dengan
sistem layar sentuh yang bisa menyajikan informasi seputar museum sampai
cerita-cerita rakyat yang dahulu sempat saya nikmati.
Lalu untuk ruang penyimpanan benda-benda sejarah berbahan emas. Sejak saya
kecil sampai sekarang, baru satu kali saya berhasil menjelajah ruangan
tersebut, yakni ketika saya tergabung sebagai peserta dalam workshop permuseuman tahun 2011.
Sebetulnya sangat disayangkan ketika ruangan itu dikunci untuk waktu yang lama
dan hanya dibuka pada saat ada rombongan. Saya menggagas agar petugas keamanan
museum ditempatkan secara bergantian di dekat ruangan itu, tentu agar hal-hal
yang tidak diinginkan tidak terjadi di sana. Upaya penempatan CCTV sudah sangat
baik, namun manusia tempatnya alpa. Maka akan sangat efektif apabila museum
melengkapi dirinya dengan petugas keamanan yang berjaga.
Terakhir, saya menggagas agar museum punya
rubrik khusus di surat kabar-surat kabar lokal. Dengan adanya rubrik khusus,
maka museum akan menyajikan aneka koleksinya di sana secara berkala. Foto-foto
disertai keterangan yang menarik, akan membuka mata masyarakat luas bahwa
peninggalan sejarah punya peran penting dalam setiap pergerakan zaman.
Apresiasi tinggi juga sekali lagi saya haturkan kepada Museum Ronggowarsito
yang telah berulangkali menggelar pameran di luar museum, bahkan “berani”
tampil di salah satu pusat perbelanjaan di Semarang. Website dan Twitter Museum
Ronggowarsito juga harus selalu merekatkan netizen
dengan warisan budaya yang adiluhung. Sehingga tidak dipungkiri, keinginan
masyarakat umum untuk berkunjung, akan semakin membubung.
Sudah
seharusnyalah museum berbenah diri. Sudah semestinya museum memantaskan diri.
Agar tidak menjadi tempat penyimpanan barang-barang kuno saja, namun mampu
menjadi tempat yang edukatif, informatif, dan menghibur. Semoga.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar