Minggu, 18 Maret 2012

Cerbung : Selaksa Jiwa di Tepian Alpa

PART I




Adalah suatu kebahagiaan ketika kita menemukan haluan untuk melabuhkan segenap rasa kasih juga sayang. Demikian agungnya perasaan itu hingga terkadang sulit dinafikkan sekedar hanya dengan kata dan retorika. Kesucian yang senantiasa ingin disertakan dalam hubungan, tak jarang ternoda oleh benih-benih khianat manusia. Amarah kadang masih tersisa, yang dibalut dengan nada penuh cemburu.
Kembang gelora yang membara di awal bersemi belum tentu menjadi jaminan abadi. Senyum tawa lambat laun mengantar menuju nestapa. Ini jika kecintaan hanya didasarkan pada rasa ingin memiliki tanpa merasai. Nihil. Pengharapan untuk terus bersama tak pelak berserak bersama serpihan atom di jagat surya. Sulit membenamkan puitisme jiwa jika memang masa depan belum tergelar bersama “sang sandingan”. Hingga titik nadir bergeser dari kulminasinya, bila rasa disadari masih saja bergeming, akankah impian mewujud dalam kisah nyata?
Terhitung sejak raga melangkah ke dalam hamparan alam, ia sulit membedakan mana yang benar dan mana yang salah. Ketika semuanya terrasa semu dan mencampakkannya dalam gulita. Ia sendiri bingung. Limbung. Linglung. Tak ada arah, tak ada tujuan. Semuanya dihembus puing-puing kekokohannya sebagai seorang Adam. Udara memang cerah, nafaspun masih bersih, tapi hatinya entah berlalu kemana. Tersakiti akibat patah hati bukanlah fatamorgana yang mudah dihilangkan dalam sekerdipan mata. Ibarat rusuk yang kian melemah, sempoyongan pulalah arah tapaknya. Yang ada di depannya kini dirasa buram, menghambar tanpa kemurnian. Palsu.
Malam bahkan menjadi dua kali lebih dingin dari biasanya. Gemintang baginya hanyalah pernik tak bertuan, rembulan baginya adalah jambangan berdebu nan usang, dan gelap baginya berarti suatu keyakinan. Keyakinan yang belum menemukan utas ujungnya. Keyakinan yang masih bertumpu pada kerapuhan, bukan ketegaran.
Ia. Galang. Galang Artha Nugraha.
Semestinya ia mampu bangkit dari keterpurukan yang kian menjadi. Seharusnya ia mampu melawan gertakan kerapuhan nurani. Seharusnya ia mampu. Tapi entah apa yang ada dalam selimut hatinya kini, hingga sulit melangkah dengan kelembutan yang ia miliki. Patah hati memanglah menyayat sukma. Namun pribadi yang kuat haruslah mengesampingkan itu semua. Peduli apa? Persetan.
Bukan air mata yang melinang, sebab dulu telah ia lakukan. Dimana saat itu ia merasa lemah sebagai seorang lelaki. Bukan emosi yang menghantam, sebab ia mampu meredamnya. Tapi pelampiasan lain yang justru ia lebih suka kerjakan. Beberapa hari kretek filter dihisapnya tanpa kenal lelah. Terus dan terus. Tiap kali teringat nama sang gadis, makin giat pula aktivitas yang melumpuhkan kerja jantung itu. Tapi sekali lagi: peduli apa? Toh saat ini tak banyak perhatian yang melimpah padanya. Cinta baginya bangkai berbisa. Brengsek. Wejangan yang ia terima dari karibnya pun hanya masuk kuping kiri, keluar kuping kanan. Berlalu tanpa mengendap dulu.
Malam ini. Malam ini ia berlalu lagi. Motor besarnya barangkali satu-satunya perangkat tak bernyawa yang mampu menemaninya kemanapun ia berjalan. Diiringi rasa kosong dan asa yang hampa, Galang nampak mengelak-kelokkan sepeda bermesinnya, melewati kampung demi kampung, melalui jalan-jalan yang tak kalah sunyi dengan relung jiwanya, dan mengakhirkannya di depan waduk besar. Polder. Langkahnya menuju tepian polder terlihat tenang, santai, tak ada sedikitpun perubahan. Tangannya merogoh kantong celana jeans belel borjuis. Satu pak rokok, sebatang korek. Sepersekian detik saja batang berasap itu mendarat tepat di dalam mulutnya. Sekali lagi: peduli apa? Persetan ! Tatapannya dilempar ke sisi penjuru polder. Tak banyak yang didapati selain muda-mudi yang dijangkiti rasa suka. Tatapannya menyiratkan kekosongan. Tatapannya sendiri susah mencari pendirian. Belum lagi akal pikirnya. Entah sehat atau gila, ia enggan menghiraukannya. Begitulah. Diam, dan diam. Cuma kepulan asap yang bersorak ria menyambut malam yang menggantung. Tiap kali memoar masa lalu itu kembali mengetuk alam pikirnya, secepat mungkin ia sontakkan kepalanya. Berharap semuanya hilang disapu kebiadaban. Berharap semuanya meluntur dan mengalir, menghilir dalam arena kepastian. Dalam tatapan serba ambigu, ia sentakkan tangan ke kepalanya, pelan ia jambak rambut hitamnya. Hawa dingin nampaknya tak mempengaruhi iringan serunai panas yang mengalun di dalam dirinya. Keringat sedikit menetes dari sela rambut yang ia singkap. Dalam hatinya berujar, “Tuhan, kembalikan aku dan satukan hatiku . Hindarkanlah keceraiberaian ini, hanya karena gadis yang tak berhati. Kumohon ..” Dan setitik embun kelopaknya menyembul di ujung mata.

*

Angin yang menandaskan pergantian detik menghembus terlampau kencang. Sebab hidup yang harus selalu berjalan tampaknya enggan memberikan permakluman. Apalah arti sebuah cinta jika dalam kebakaan dunia senantiasa diisi oleh suluran problema yang tak kunjung reda? Kompleks tempat bernaung Galang bukanlah kompleks sembarangan. Bukan perkampungan yang hanya dibatasi sepersekian senti batu bata dan jalan sempit sekenanya. Ini kompleks tersohor. Kompleks yang mampu memberi kehangatan bagi setiap insani yang menjamah bagiannya. Tapi ternyata tidak semudah itu memuji puja. Di balik kedamaian itu masih saja terselip khianat dan dusta.
Tetangga. Manusia sebelah rumah itu semestinya menjadi saudara akrab terdekat. Namun apa mau dikata. Tetangga Galang barangkali sudah terlampau putus syaraf kesadarannya. Kata-kata bohong disimpul menjadi rangkaian yang amat manis. Fitnahan demi fitnahan terhadap Galang dan keluarganya masih saja terus mengucur hingga menimbulkan ketaknyamanan di diri mereka. Aksi berbisa ini bukan tanpa sebab. Keluarga Galang selama ini tenar karena posisinya yang bertengger di awang-awang. Tajir. Kaya. Sugih. Kontan bagi manusia yang lemah imannya pasti menyimpan iri dengki terhadap keluarga satu itu. Dan pelaku kali ini tetangga Galang sendiri.
Praktis. Kecamuk dalam diri Galang pastilah selalu berontak. Terlebih di masa mudanya kini, dimana masa emosi menjadi menu sehari-hari. Tapi Galang bukanlah tipe pemuda yang gemar membuat onar. Seluruh masalahnya ia cukup simpan rapi. Meski di dalam batinnya selalu saja digertak angkara yang menggila. “Kuatkan aku, Tuhanku ...”, desah Galang selepas membuang nafas panjang.

Kembali hari mengganti rembulan dengan dini sekaligus matahari. Serasa malas beranjak dari peraduan, Galang meraih ponsel yang tersanding semalaman. Dikuceknya mata sipitnya, dan dihidupkannya ponsel yang sedari malam ia matikan. Kacamata berlabel Chopard juga ia ambil dari nakas di samping kanannya. Tidak ada satupun pesan yang masuk, ujar batinnya. Sedikit menguap, ia beranjak. Kamar yang terletak di lantai dua itu memang minimalis. Kamar yang hanya ditempatinya sendiri, sekaligus satu-satunya kamar yang bertengger disitu. Pukul 05.00 WIB. Begitu kata jarum jam yang menggantung di dinding kamar. Mengayun langkah pelan, Galang menuruni satu demi satu anak tangga. Baru tersadar olehnya jika pagi ini pelajaran tambahan di sekolah telah menanti. Geografi.
“Sarapan dulu, nang..” demikian sapa lembut mama Galang, sesaat setelah Galang berseragam dan memanasi kendaraan.
“Iya, ma. Sedikit aja lah..” sahut Galang sembari membalik piring yang sedaritadi tertelungkup.
Jiwa yang kosong, tatapan yang entah kemana arahnya menjadi pengiring suasana makan pagi kala itu. Masih saja terbawa galau dan risau. Tak ada yang mengerti tentangnya kini. Sebab tak ada yang berubah secara fisik. Ia tetap menjadi lelaki yang baik budi. Ia masih saja sering bersendatawa bersama kawan-kawannya. Tapi hati? Siapa yang tahu. Jauh disana terletak kegeraman dan kedukaan yang siap menenggelamkannya kapan saja.
“Satu pesan diterima” kedip ponsel Galang tiba-tiba.
“Laang, pagi ini berangkat bareng yaa? Makasii” tulis seseorang di seberang sana. Seseorang yang tentu saja sudah menjadi karib.
“Iya, gi ..” balasnya.
Nugie. Ah, Nugie. Jauh Galang menatap rona di ujung pagi. Kembali dirasainya beban hidup yang tengah ia hadapi. Tak banyak teman yang mampu menjadi sandarannya. Tak banyak teman yang mampu memaklumkannya. Dan di tengah kekacauan serba kalut itulah, Galang mengenal Nugie. Karib yang selalu ada di sampingnya tatkala kesusahan dan kesenangan silih bergantian.
Rapi. Wangi. Sesaat ia setater motor besarnya. Berbelok ke arah kanan, arah dimana Nugie menantinya.

.......................
(goes 2 PART II)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar