Kamis, 16 Februari 2012

Cerpen: SERUAK LINANGAN MALAM


SERUAK LINANGAN MALAM




            Ketika diingat, substansinya sebagai sebuah kenangan menjadi suatu kewajaran jika direnung dan diputar ulang. Ketika dirasakan, substansinya sebagai pemendam perasaan seringkali menjatuhkan buliran bening embun kelopakku. Ketika dibicarakan, substansinya sebagai pengalaman tak pelak menyendatkan bibir dan mengelukan lidah. Tidaklah berlebihan jika memang itu yang terjadi. Tidaklah mengherankan jika itu semua saling bersinergi menggoyahkan nurani. Sebab satu saat terbaik dalam hidupmu tak pernah kembali tuk kali kedua. Sebab saat termanis dalam putaran roda percintaanmu acapkali menjadi nestapa. Sebab saat terindah dalam sumringahmu sering mengguratkan bimbang yang teramat dalam.
            Lantunan gemericik hujan, atmosfir malam yang mendayu, tatapan nanar langit gelap yang menggantung seolah selalu terpampang jelas tiap aku menggenggam kala di awal tahun seperti saat ini. Sementara memori itu berjalan dua tahun silam, namun rasanya baru saja kujalani dua hari lalu. Hela nafas hampirlah setiap detik kuhembuskan dibanding harus menitikkan titik penyesalan. Bukannya jengah disangka lemah atau gelisah dipandang resah, tapi bagiku hidup harus terus melangkah tanpa mengingat itu-itu saja yang menjadikanku lelah.
            Adalah dua tahun lalu, terhitung sejak rembulan menggantung senyumnya di awal masa, di saat itu pula aku menjawab terpaan badai kemunafikan yang sempat mengguyurku di satu masa sebelumnya. Ia hadir. Ia hadir di waktu yang tepat. Ia datang dan membuat tenang. Ia tiba dan menyumbang rasa suka. Ya, betapapun gulanaku saat itu, sorot mata temaramnya selalu ada menyokongku. Betapapun galau jiwa labilku, suara tenangnya selalu membelai lembut remuk dadaku. Segala rasa kuluruhkan di pundaknya. Seluruh air mata terusap olehnya. Kenangan demi kenangan berjalan beriringan. Jujur saja saat itu aku tidak berpikir jika apa yang telah dilalui berhasil membekas jelas hingga detik ini. Bekas yang hanya menimbulkan kedukabahagiaan semata.
            Mengingatnya lagi... Ah, fatamorgana itu terkembang bebas sekarang. Dalam sekejap saja, senyum getir menyapa lekukan bibir. Kalau boleh kuungkap, ia sering sekali menjemputku untuk bergegas bersekolah di pagi sunyi. Sesudahnya, ia mengantarku kembali ke kediamanku dengan segenap rasa tanggung jawabnya. Tak berhenti sampai di situ saja, di malam-malam yang sepi ia juga kerap berdua-duaan denganku. Hey, akupun demikian. Tebayang sekali wajah sakitnya yang ia balut dengan senyuman ketika menyambut kedatanganku di berandanya. Kami senyum-senyuman. Kami malu-malu saat itu. Kuncup yang sempat layu di hidupku tanpa sadar telah berkembang dengan cantiknya setelah tersiram gelora kasih asmara. Semua ini karenanya.
           
            Detik berjalan menghinggapi hari dan mengubahnya menjadi menit. Segera sesudahnya ia bekukan menjadi jam dan mewarnai semuanya dengan gurat-gurat kesenangan. Aku dan dia, Prasidya namanya, seolah masih saja dihinggapi bakal biji cinta monyet ala remaja. Awet adem kalau kata teman. Tanpa bermarah-marahan.
            “Linda... Linda... Pacaran tanpa marahan itu ngga seru ah!”
            “Biarin yaah, yang penting kan he’s always be the first in my deepest love.Wekss!”
            Yah itulah sanggahanku tiap kali sindiran-sindiran itu datang. Seberapa pahitnya cibiran itu tentu tak sebanding dengan rasa sayangku padanya. Sikap jantannya sebagai seorang pria yang dibalut kelembutan sikap dan halusnya pekerti. Tutur sopan dan gestur ramahnya terhadap siapa saja yang berada di dekatnya. Barangkali yang terakhir ini yang acapkali membikin radang sebab mesti menggilas rata gejolak cemburuku padanya.

            Ketika desiran angin membelaiku, seperti itu pula aku mengenal pribadinya. Sejauh itu pulalah alam menyaksikan kami berdua. Alam membawa kami pada satu situasi yang memberi kesejukan dan kedamaian batin. Semusim berlalu , semusim yang lain menjemput kami untuk duduk bersama di tepian hari. Romansa kami tak kunjung pudar, namun justru begitu kuat mengakar.
            Adalah keindahan semesta yang kerap dijadikan momen romantika gadis dan pria yang saling mencinta. Keindahan itu turun sedikit saja. Keindahan itu memercik sejenak lalu. Ia dan kami sudah bukan barang asing lagi. Sudah terlalu akrab di telinga dan di susuran perjalanan kehidupan kami. Ia datang dengan embunnya, dan mengakhirkan dengan basahnya. Gemericiknya selalu membawa nuansa tersendiri yang menjadikan hangat sebagai penebusnya.
            Malam ini, seperti biasa aku menepuh studi di sebuah lembaga kursus yang letaknya sedikit jauh dari rumahku. Hari-hari biasa aku sering mengendarai sepeda motor untuk mencapainya, tapi hari ini aku memilih angkutan umum sebagai sarananya. Tak ada yang terlalu istimewa dengan kursusku malam itu. Hanya saja ada yang membekas dan sulit terlupa ketika gerimis menderas bak air mata dewa dewi di kahyangan sana.  Sontak, fokusku terpilah. Terpecah dalam dua arah. Antara apa yang kutuliskan dengan apa yang aku pendam. Saat itu hujan turun begitu derasnya, dan usai tentorku melangkah keluar kelas, tanpa pikir panjang kubuka situs jejaring sosial lewat komputer yang tersedia di sana. Aku gundah. Aku gelisah. Aku memikirkan “sang penjerat hati”ku yang juga sama-sama berkursus namun di tempat yang berbeda. Aku takut dia terlalu lama terjebak dalam hujan. Aku tak mau ia sakit, sebab itulah saat-saat menjelang gelaran ujian nasional. Seketika gundahku runtuh manakala ia menjawab chatku dan memastikan kondisinya;bahwa ia baik-baik saja. Aku teramat menyayanginya dan terlalu memikirkannya. Hingga aku tak ingin melewatkan begitu saja apapun yang melintasi waktunya tanpa ada balas kasihku kepadanya.
            Keindahan semesta berupa gemercik embun lelangitan tak hanya menyapa kami saat itu saja. Jujur, kuakui, “sang dewa”ku bukan tipe anak yang selalu rajin menunaikan penugasan guru-guruku. Di tengah proses kedewasaannya ia musti berdampingan dengan sosok yang mampu memapahnya. Hey, jangan salah sangka dulu, bukan berarti aku menganggap lebih dewasa. Bukan. Hanya saja aku lebih care terhadap apa-apa yang diberikan atau ditugaskan. Termasuk malam itu. Hujan sempat menjatuhkan titik-titik sejuknya ke bumi Ilahi ini. Kebetulan esok adalah deadline pengerjaan tugas mata pelajaran seni rupa. Punyaku sudah rapi terjajar dengan apik di sudut kamarku. Punyanya? Itulah yang sedikit membuatku geregetan dengannya. Bayangkan, ia masih santai-santai saja tanpa beban padahal esok adalah hari yang menentukan posisinya; naik kelas atau tinggal kelas. Kukirim pesan singkat, kuhajar dia dengan paksaan-paksaanku, dan akhirnya  ia menuruti apa yang kumau. Segera sesudahnya ia menjemputku, kutemani ia ke gerai yang menjual perkakas seni rupa. Saat itu cuaca sangat sejuk. Sedikit becek di sana-sini. Hujan sudah tak nampak lagi. Candaan kami menghangatkan perjalanan kami. Simfoni yang harmoni antara alam dengan hati seolah terjalin selaras malam itu. Tawaku, tawanya juga. Senyumku, senyumnya juga.
            Kecantikan semesta yang tercermin lewat tetesan curahannya juga kembali mengguratkan kisah antara aku dengan “sang arjuna”ku. Kembali, dan lagi-lagi, yang terjadi selalu ketika tugas-tugas menghampiri kami. Malam itu ia memintaku ke rumahnya sebab ada pekerjaan rumah yang ia tak mampu menyelesaikannya sendiri saja. Akupun menyambanginya, dan aku bersalam hangat pula dengan ibu, ayah, dan kakaknya. Ya, kami sudah mengenal satu sama lain dengan baik, jadi tidaklah ada yang perlu dikhawatirkan. Begitu asyiknya kami bersinergi dalam menyelesaikan rentetan tugas makalah ini. Ibundanya yang penuh perhatian itu menyuguhkan kudapan buat teman bekerja kami. Satu hal yang kuingat, ia begitu bersemangat memetik senar-senar gitarnya untuk menemaniku yang lebih asyik berkutat menggoyangkan jari jemariku di atas papan keyboard komputernya. Aku juga menggerutu karena suara dan musik yang ia mainkan tidak sepadan. Fals. Aku juga dibuatnya kesal karena komputer yang sejenak kutinggal tiba-tiba berubah menjadi tampilan jejaring sosial miliknya. Hah! Usil dan nakalnya ia. Tapi .. ya, itu jugalah yang membuatku kangen sekali jika sehari saja tak berjumpa. Kedekatan kami malam itu lagi-lagi ditemani rintik hujan dengan iringan petir bernada sopran. Aku tak begitu mempermasalahkan sebab aku bisa pulang berlari sebab jarak antara rumahku dan rumahnya hanya berkisar sebelas rumah saja. Usai kuselesaikan makalahnya, aku bermaksud undur diri kembali ke kediamanku. Bagiku berlari saja sudah cukup menembus hujan malam itu. Kira-kira berkisar pukul setengah sebelas. Akan tetapi niatku itu justru mengundang reaksi keras darinya dan -terutama- ibundanya. Ia apalagi. Ia bersikeras mengantarkanku pulang, dan ibunya berkukuhhati membawakan kami pelindung klasik saat hujan datang; payung. Tentu supaya kami stay dry di jalanan. Maka jadilah kami malam itu bagai para aktor dan aktris film Bollywood yang kerap beradegan romantis di tengah lebatnya hujan. Senyum manis dari bibirnya adalah penutup jumpaku dengannya malam itu. Senyuman yang selalu meluluhkan segenap lelah dan meluruhkan sejuta amarah.

            Malam ini pun gerimis lagi. Saat akhirnya aku berketetapan hati untuk menyudahi tulisan ini. Aku dan dirinya kini tak lagi menyirami kuncup-kuncup jiwa kami. Aku dan dirinya berjauh-jauhan dalam dua tahun belakangan. Barangkali ia tersungkur di hadapan persona yang lebih memesona. Buliran gerimis tak hanya mengalir dari surgawi, tapi juga nampak di pelupukku. Seruak linangan malam ini ...

Tidak ada komentar:

Posting Komentar